Kontroversi Proyek Food Estate di Kalimantan (Bagian 3)
https://www.naviri.org/2024/11/kontroversi-proyek-food-estate-di_01286237427.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Proyek Food Estate di Kalimantan - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Akankah kegagalan yang sama terulang lagi?
Atas temuan yang terjadi di Kalimantan, Pantau Gambut mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan proyek food estate. Apalagi sejauh ini, pendekatan pangan lewat perkebunan monokultur yang luas itu tidak pernah berhasil.
"Sepanjang pelaksanaan awal periode awal dan akhir pemerintahan Jokowi semestinya menjadi catatan bagi pemerintah," kata manajer kampanye dan advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana.
Namun pemerintahan Prabowo Subianto, yang akan mulai berjalan pada Minggu (20/10), menjadikan program lumbung pangan sejenis ini sebagai prioritas. Wahyu mengatakan kegagalan yang sama berpotensi akan terulang.
Kubu Prabowo tampaknya telah menyadari soal sulitnya pengembangan food estate di Kalimantan. Namun proyek semacam ini tetap akan dilanjutkan. Pada akhir September lalu, anggota dewan pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Drajad Wibowo menyinggung soal “tanahnya yang tidak terlalu subur” dan “kurang cocok untuk beberapa hal”. Oleh sebab itu, program food estate akan dikembangkan di Merauke.
“Yang sudah dipilih akan tetap diteruskan, tapi kami menyadari tidak bisa mengandalkan Kalimantan,” tutur Drajad ketika berbicara dalam UOB Economic Outlook di Jakarta, Kamis (26/09).
“Karena itu, sekarang kita coba kembangkan di Merauke karena Merauke tanahnya flat (datar), luas, tapi infrastrukturnya masih kurang,” sambung Drajad.
Program cetak sawah di Merauke sendiri telah menuai penolakan dari masyarakat adat yang tak mau ruang hidupnya dirampas dan terdampak deforestasi. Alih-alih memperluas proyek lumbung pangan ke daerah lain, pemerintah semestinya fokus merehabilitasi lahan food estate yang terbengkalai.
Wahyu Perdana dari Pantau Gambut mengingatkan bahwa lahan gambut yang rusak dan terbengkalai adalah sumber bencana: rentan karhutla saat kemarau dan rentan banjir saat musim hujan.
"Saya berharap pemerintahan yang baru ini melakukan evaluasi dan tidak lagi bergantung pada pendekatan pangan skala luas seperti ini," kata Wahyu. "Kalau proyek semacam ini dipaksakan juga di Papua, kami khawatir ini hanya akan memindahkan bencana yang sudah terjadi di Kalimantan ke Papua."
Bagaimana respons pemerintah?
Melalui hak jawab pada 20 Oktober 2024 atau dua hari setelah artikel ini pertama kali terbit, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa program pengembangan Food Estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024, yang dilaksanakan di beberapa lokasi termasuk di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau.
“Program ini melibatkan dua kegiatan utama, yaitu intensifikasi lahan (peningkatan produktivitas pada lahan eksisting) dan ekstensifikasi lahan (perluasan areal tanam baru dengan optimalisasi lahan rawa bekas Proyek Lahan Gambut/eks-PLG),” sebut surat dari Kementerian Pertanian yang ditandatangani Direktur Perlindungan dan Penyediaan Lahan, Dr Atekan.
Kementerian Pertanian menyatakan pemanfaatan rawa maupun lahan suboptimal lainnya untuk pertanian merupakan keniscayaan karena lahan produktif yang terus menyusut sementara kebutuhan pangan meningkat.
“Tapi perlu dipahami, pengelolaan lahan sawah di rawa pasang surut dengan karakteristik pH tanah yang cenderung masam, sering tergenang air, serta memiliki Indeks Pertanaman dan produktivitas rendah memerlukan tata kelola air makro dan mikro yang sangat kompleks. Lebih jauh, diperlukan waktu dan proses yang bertahap untuk dapat mengoptimalkan lahan tersebut.
“Kementerian Pertanian bekerja sama dengan pemda setempat telah berkomitmen untuk mendampingi petani hingga mencapai produktivitas terbaiknya,” sebut Kementan.
Hal ini bertolak belakang dengan keterangan sejumlah petani yang diwawancarai bahwa mereka sudah berulang kali gagal menanam padi memakai bibit padi varietas unggul yang diberi pemerintah. Mereka akhirnya menggunakan bibit lokal tanpa didampingi pemerintah.
Kementerian Pertanian menyatakan pengembangan Food Estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang menjadi tanggung jawab Kementan dimulai pada pertengahan tahun 2020 melalui intensifikasi lahan sawah yang sudah ada seluas 30.000 hektare area. Hingga 2022, menurut Kementan, luas pengembangan meningkat menjadi 62.455 hektare area di kedua kabupaten tersebut.
Adapun mengenai lokasi Food Estate di Kabupaten Kapuas, Kementan menyampaikan lokasi di wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan melalui Keputusan Bupati Kapuas Nomor 537/Distan Tahun 2022.
“SK Bupati tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang menjamin bahwa tidak ada alih fungsi lahan Food Estate atau tumpang tinding status lahan seperti yang diberitakan,” sebut keterangan Kementan.
“Lahan Food Estate di Kabupaten Kapuas telah dipetakan secara spasial, dilengkapi dengan data tekstual dan numerik, dan sudah diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kapuas,” tambah keterangan Kementan.
Mengenai pemaparan seorang petani bernama Sanal di di Desa Tajepan, Kabupaten Kapuas, tim Direktorat Perlindungan dan Penyediaan Lahan Kementerian Pertanian menyatakan telah melakukan verifikasi langsung ke lokasi pada 19 Oktober 2024.
“Di lahan sawah milik Bapak Sanal yang merupakan lahan sawah pasang surut, ditemukan standing crop (tanaman padi) yang masih berdiri, bahkan telah ada yang dipanen,” sebut keterangan Kementan.
“Terkait dengan pernyataan Lokasi Food Estate telah berubah menjadi kebun sawit adalah tidak benar, namun terdapat areal pohon sawit di sekitar areal sawah Pak Sanal yang berada di luar areal Food Estate yang telah ditetapkan (lahan bersebelahan),” papar Kementan.
Artikel ini telah diperbarui untuk menambahkan hak jawab Kementerian Pertanian pada 20 Oktober 2024 atau dua hari setelah artikel ini pertama kali terbit.