Pengakuan Anak-anak 'Algojo' Pembantaian 1965-1966 di Bali (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pengakuan Anak-anak 'Algojo' Pembantaian 1965-1966 di Bali - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sulinggih kurang setuju apabila ayahnya disebut sebagai algojo atau tukang jagal. Dia dapat memahami jika ayahnya disebut sebagai anggota tameng. Dan dia mengaku sebutan itu tak membuatnya terbebani.

Menurutnya, ayahnya dipaksa untuk menjalankan instruksi Angkatan Darat untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya. Situasi dan kondisi saat itulah yang disebutnya membuat sang bapak menjalankan peran seperti itu. Lagipula, sambungnya, situasinya tidak sehitam-putih seperti yang dibayangkan.

Sulinggih lantas bercerita bahwa adik bapaknya dibantai oleh tameng lantaran menjadi simpatisan PKI di Desa Batu Agung, Jembrana. Mengetahui adiknya dibantai, Sabah sempat marah. Sabah sempat mencari siapa aktor di belakang terbunuhnya sang adik. Dia memang berhasil membekuk tukang jagalya.

Di hadapan Sabah, sang algojo meminta maaf berulang kali, seraya memberikan jawaban: "Saya cuma menjalankan perintah."

Sabah kemudian membatalkan rencananya untuk menembak sang pelaku pembantai adiknya.

'Bapak saya korban, dia dibunuh kalau menolak perintah'

Tukang jagal terkenal saat pembasmian PKI pada 1965-1966 di Jembrana, Bali, bernama Nawawi. Menurut anak Nawawi, bapaknya mengaku telah membantai setidaknya 100 orang yang dicap PKI di Kota Negara dan sekitarnya.

Namun sang anak mengatakan julukan algojo yang disematkan kepada bapaknya tidaklah tepat. “Itu kan orang lain yang memberi julukan tukang jagal,“ kata salah seorang anak Nawawi, Nur Hariri alias Akong.

“Sebetulnya bapak saya itu memang takut membunuh,” klaimnya. Tapi, sambungnya, ketika negara dalam keadaan gawat, bapaknya ‘dipaksa’ untuk bertindak untuk membunuh orang-orang yang dicap anggota PKI.

“Boleh dikata bapak saya itu ditodong senjata untuk laksanakan eksekusi,” klaim pria kelahiran 1962 ini.

“Kalau tidak [mau melaksanakan], tak ‘dor’ kamu,” kata Hariri menirukan pengakuan langsung dari bapaknya.

Hariri menjadi tahu sepak terjangnya pada bulan-bulan penuh gejolak itu lantaran berulang kali diceritakan. Media mewawancarai Nur Hariri di rumahnya di Desa Loloan Timur, Kamis, 5 September 2024 lalu. Dia mengenakan kopiah putih, kemeja putih dan bersarung. Rokok terus mengepul dan terus menemaninya selama wawancara.

Desa Loloan Timur merupakan kawasan yang dihuni mayoritas Muslim. Sebagian besar penghuninya berasal dari Sulawesi Selatan, Madura hingga Jawa. Sebagian besar mereka sudah puluhan tahun beranak pinak di sana. Di sanalah para pegiat Ansor melakukan rapat-rapat untuk mengganyang simpatisan dan anggota PKI pada masa-masa itu.

Nawawi, kata Hariri, memiliki pedang panjang dan pegangannya terbuat dari tanduk kerbau. Hariri melebarkan lengannya untuk menggambarkan kira-kira berapa panjangnya. “Satu kali [tebasan], putus [leher korban],” kata Hariri.

Setiap menghabisi korban, menurut Hariri, bapaknya menjilat darah korban. “Supaya tidak panas, supaya tidak inget-ingetan.”

Di mana saja bapaknya saat itu beroperasi melakukan pembantaian? Hariri menjawab: “Di sini [Loloan Barat] dibabat dulu. Kemudian pindah-pindah.“ Mayat-mayat korban kemudian dikubur di sumur-sumur milik warga di Desa Tegalbadeng, ujarnya.

Hariri tak begitu tahu persis apakah bapaknya dulu aktif di Ansor atau kelompok milisi PNI alias tameng. Reputasi bapaknya sebagai algojo sudah dikenal seantero Kota Negara. Sehingga, sebagian tetangganya yang rumahnya dijarah meminta perlindungannya. “Bapak saya ditakuti di sini,” akunya.

Di masa Orde Baru, reputasinya itu berlanjut. Dia beberapa terlibat sebagai barisan pembela Partai Golkar. “Makanya banyak pejabat dekat dengan bapak saya.”

Seingat Hariri, bapaknya tidak pernah menyesali apa yang diperbuatnya selama masa pembantaian orang-orang PKI pada 1965-1966.

Bukankah tindakannya keji, membunuh orang-orang yang belum tentu bersalah? “Karena tidak mengenal pengadilan [waktu itu]. Belum tahu tentang hukum. Ya, biasa saja,“ Akong lagi-lagi menutup kalimatnya dengan tergelak.

Namun dia cepat-cepat menambahkan. Kalau bapaknya tidak melaksanakan pembunuhan, nyawanya akan terancam. “Itulah yang terjadi pada 1965,“ kata Hariri, menekankan.

Kini, setelah 59 tahun kemudian, Hariri menganggap semua itu sudah menjadi masa lalu. Sudah berjarak, begitulah. Lagi pula, para algojonya sudah banyak yang meninggal. Sangat mungkin para keturunannya tidak memahami secara persis apa yang terjadi saat itu. “Sehingga tidak ada lagi dendam.”

Tentu saja situasi ‘tidak ada dendam’ itu mesti terus dipelihara, katanya. “Caranya, ya, membangun kepercayaan. Yang dulu [kejadian kekerasan], ya dululah. Ke depannya kita berpikir yang baru. Jangan mengorek-ngorek lagi masa lalu,” ujar Hariri. Dia lalu menyebutkan istilah silaturahmi.

Dia lalu bercerita ada satu kejadian ketika anak korban yang dulu dibunuh bapaknya, mengungkitnya kembali. “Saya tidak tahu. Saya masih kecil,” akunya saat yang bersangkutan mengungkit masalah itu kepadanya.

Percakapan itu kemudian tak berlanjut. Barangkali yang bersangkutan menyadari hal itu tak pantas dibicarakan di hadapannya. Mungkin juga lantaran mereka sudah sama-sama beranjak tua.

Namun di sisi lain, sambungnya, yang bersangkutan sampai sekarang bersahabat dengan adik bapaknya. Hariri kembali menekankan bahwa ayahnya termasuk korban. Sang bapak dipaksa Angkatan Darat untuk menjalankan operasi ‘pembasmian PKI sampai ke akar-akarnya’.

“Kami keberatan kalau korban hanya di pihak sana. Kita juga korban penekanan [aparat militer]. Kita sama-sama korban. Kalau bapak saya tidak melaksanakan perintah itu, kami tidak punya orang tua lagi,” Nur Hariri lagi-lagi tergelak.

Jadi, kekerasan 1965 itu tanggung jawab negara dan bukan tanggung jawab pribadi? “Negara terlibat! Senjata api [yang diberikan kepada milisi antikomunis] itu dari mana?” katanya lantang. “Kalau bapak saya tak laksanakan [pembantaian], di’dor’ dia.” 

Related

News 2563968936391840729

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item