Peneliti AI Indonesia yang Magang di Google hingga Apple (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Peneliti AI Indonesia yang Magang di Google hingga Apple - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Soal Privilege dan Cara Belajar

Athiya Deviyani memang saat ini bukan mahasiswa yang berkuliah karena beasiswa. Namun, dia sadar betul ada cara lain untuk melihat privilege atau hak istimewa.

“Menyadari bahwa kamu punya privilege itu lebih ‘utama’ dari bersyukur. Kita bersyukur dilahirkan dengan privilege, tapi menurutku itu saja tidak cukup. Kita harus tahu bagaimana caranya bridge the gap between (menjembatani antara) orang-orang yang kurang punya privilege and where I am now (dan di mana posisiku sekarang),” katanya.

Sebagai contoh, Tia beberapa kali mengajar di sejumlah event. Salah satunya, mengajar machine learning di program Bangkit Academy yang dihelat Gojek, Google, Tokopedia, dan Traveloka tahun 2021 lalu.

Melalui program itu, wanita 22 tahun tersebut dapat membagikan ilmunya kepada mahasiswa-mahasiswa yang ‘tidak seberuntung’ dirinya yang bisa berkuliah di luar negeri. Tia pun mengaku ada kepuasan batin yang dirasakan saat ia membantu orang lain dengan mengajar.

“Kalau kita ngajarin 1 orang, orang itu mungkin ngajarin ke beberapa orang lainnya. Jadi impact-nya tuh eksponensial. Kadang aku enggak taruh (pengalaman mengajar) di CV, tapi misalnya ada muridku dulu DM aku di LinkedIn, ‘Hai kak aku dapat kerja di sini, makasih, ya’ Itu beneran bikin aku bahagia dan yang tahu tuh cuma aku sama orang itu saja. It is a soul thing yang bikin it’s just make me feel happy in a genuine way,” ujar Tia.

Sebagai lulusan terbaik, Tia punya beberapa prinsip yang selalu dipegang saat belajar. Pertama, kalau ada materi yang tidak dimengerti, lebih baik langsung tanya ke dosen saat itu juga daripada disimpan terus. Sebab, jika ditunda maka akan ada lebih banyak lagi hal yang lebih sulit nantinya.

Tia mengatakan, prinsip lain yang tak kalah penting adalah jangan membandingkan diri kita dengan orang lain. Di tahun pertama, ia mengaku nilainya tak sebaik teman-teman karena belum bisa coding. Namun, Tia tak mau melihat ke atas, sebab hanya akan membuatnya tambah stres.

“Jadi daripada membandingkan diri, aku coba belajar dari orang yang lebih dari kita, gimana mereka bisa lebih dari kita. Kita bisa mikirnya gimana bisa selevel mereka, bukan cuma yang ‘Ah ya udahlah emang seharusnya begitu’. Itu sangat enggak kondusif. Untuk kondusif itu kita jadi temenlah orang-orang yang pinter itu, gimana mereka belajar.

“Dan emang bener, kan, kita enggak bisa relate ke semua orang, emang privilege-nya beda-beda. Cuma kita ambil hikmahnya gitu. Kita enggak bisa exactly sama dengan orang itu, tapi ada hal-hal tertentu dari orang itu yang bisa kita teladani,” jelas Tia.

Masa Depan Cemerlang

Saat ini jumlah perempuan yang bekerja di bidang teknologi masih cenderung kalah dibandingkan laki-laki. Athiya pun sadar akan hal itu. Menurutnya, sebenarnya perempuan sangat cocok bekerja di IT, sebab tak mengandalkan kekuatan fisik dan bisa dilakukan di mana saja.

Ia juga menyayangkan anggapan yang mengatakan bahwa bidang IT hanya untuk laki-laki saja. Menurutnya tidak ada hal ‘manly’ di IT; semua orang bisa terjun ke dalamnya.

Tia punya pengalaman kurang menyenangkan terkait ini. Karena jumlah perempuan lebih sedikit di IT, banyak orang yang memandangnya bisa diterima magang di perusahaan besar karena dia perempuan.
 
“Kadang mereka (perusahaan) juga hire orang kulit hitam, hire orang Asia biar ‘Oh we are very diverse’ (kita sangat beragam). Dan the reason why orang tuh mikir aku masuk, bukan karena aku pinter, bukan karena kerja keras, itu karena aku cewek. Which is pretty annoying, kan, aku kayak, apa bedanya gitu. Itu satu kendala yang kita harus don’t care. Tapi at the end, how lucky can you be if you keep having this achievement? (betapa beruntungnya kalau kamu mempertahankan pencapaian ini), kan pasti ada faktor kerja keras, faktor intelligence juga,” jelas Tia.

Oleh karena itu, dia memilih untuk fokus pada kemampuan dan usaha kerasnya. Tia memang belum benar-benar tahu pasti ingin jadi apa di masa depan. Satu yang pasti, dia ingin selalu bisa berkontribusi untuk ilmu pengetahuan.

“That’s academia, that’s research in general, definitely bukan industri atau software engineering udah pasti enggak. I wanna do research. Jadi, where I will be, I don’t know, tapi I will be where I can do the most in the field that I care about (di mana aku akan berada, aku enggak tahu. Tapi aku bakal ada di tempat di mana aku bisa lakukan banyak hal yang aku suka),” terangnya.

Salah satu fenomena yang menyita perhatiannya adalah soal adanya bias dalam penerapan sistem AI. Ada banyak kaum minoritas seperti ras Asia atau kulit hitam yang wajahnya ‘tidak terbaca’ oleh sistem. Tia pun ingin menggali topik ini lebih dalam saat nanti ia S3.

Tia menggambarkan, sebuah sistem pengenalan wajah sempat mendeteksi perempuan berhijab sebagai telur. Problem tersebut mungkin bisa dipecahkan dengan mudah. Namun, Tia mengaku ada kekhawatiran lainnya.

“Ada misalnya kita enggak bisa buka face ID karena misalnya kulit kita gelap segala macem, kan, that’s very bad as AI is built for everyone, it should be built by everyone (itu buruk sekali, melihat fakta bahwa AI dibangun untuk semua orang dan seharusnya dibangun oleh semua golongan),” kata Tia.

Sebelumnya, dia pernah mengangkat topik serupa dalam skripsi S1-nya, bagaimana membuat sistem pengenalan wajah yang bisa digunakan oleh gender atau ras manapun. Skripsinya itu menuai pujian dan nilai yang baik.

“I think that’s one thing that I genuinely care about (satu hal yang aku benar-benar pedulikan) dan semoga aku punya kemampuan untuk make AI more fair in the future (membuat AI lebih adil di masa depan),” imbuhnya.

Soal kembali ke Indonesia, Tia mengatakan itu masih jadi rencana jangka panjang. Sebab, dia masih harus menamatkan S2 dan berencana lanjut S3.

Dia pun mengaku tak terlalu memikirkan akan berkarier di suatu negara tertentu. Tia hanya ingin kesempatan itu membuka peluangnya untuk meneliti sesuatu bagi orang banyak.

“Yang penting aku bisa berbuat kebaikan terbanyak, di situlah aku berada,” ujarnya.

Related

Technology 4811562803522061507

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item