Peneliti AI Indonesia yang Magang di Google hingga Apple (Bagian 1)


Nama Athiya Deviyani mungkin tak asing bagi para pengguna Twitter. Perempuan yang biasa disapa Tia ini sempat ramai dibicarakan warganet lantaran isi CV-nya yang cemerlang dan sudah wara wiri magang di Google, Goldman Sachs, dan Amazon.

Terbaru, Tia diterima magang untuk departemen Siri di Apple. Cerita ini pun sampai di-retweet oleh Ainun Najib, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus praktisi teknologi yang dikenal Presiden Jokowi.

Athiya menempuh program S2 di Carnegie Mellon University jurusan Artificial Intelligence and Innovation. Selain belajar, dia juga sibuk jadi teaching assistant (asisten dosen) bagi mahasiswa S1 dan melakukan riset.

Wanita kelahiran Batam tahun 1999 ini memang punya minat besar di bidang riset, terutama soal kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin (machine learning). Proyek penelitiannya saat itu adalah membuat mesin seperti text-to-speech mampu mengerti bahasa-bahasa yang kurang terkenal atau yang sumbernya sedikit.

“Contohnya kalau di China, dialeknya lain-lain, ya, ada Hokkian, ada Taiwanese, ada Cantonese, itu gimana sih caranya biar gak cuma Mandarin doang yang dia (mesin) mengerti, tapi dialek-dialek tertentu itu dia juga mengerti. Kita enggak mau memarjinalkan bahasa-bahasa yang enggak seterkenal atau enggak digunakan sebanyak bahasa lain (bahasa mayoritas),” jelas Tia.

Sebelumnya, Tia pernah terlibat dalam riset machine learning di mana ia dan timnya ‘mengajarkan’ mesin untuk mendeteksi kalimat slang atau bahasa gaul. Seringkali bahasa slang tersebut belum tentu ada di kamus dan dapat memuat arti kasar atau muatan negatif.

“Dengan cara kita bisa extend mesin ini untuk slang words (bahasa gaul), colloquial words (bahasa sehari-hari), bad words (kata kasar), itu kita bisa lebih mengerti inti dari sentence itu. Dan ini dipakai untuk identify hate speech (identifikasi ujaran kebencian) di Twitter atau Facebook,” imbuh Tia.

Magang Setiap Liburan Hingga Jadi Lulusan Terbaik

Selama berkuliah, Tia bukan tipikal mahasiswa kupu-kupu alias ‘kuliah-pulang-kuliah-pulang’. Ia kerap menyibukkan diri dengan banyak kegiatan volunteer dan organisasi. Bahkan, ia menghabiskan masa liburan musim panasnya dengan magang di sejumlah perusahaan teknologi raksasa.

Tahun 2019 silam, Tia bergabung dengan divisi YouTube Creator Commerce di Google sebagai Summer Trainee Engineering Program (STEP) Intern. Bersama timnya dia membangun fitur penjualan merchandise para artis atau YouTuber.

“Barang jualannya itu setiap kita nonton (misalnya) video Taylor Swift, itu (iklan) ada di bawahnya. Atau enggak, kita pencet channel Taylor Swift itu kan ada videos, about, dan lain-lain itu ada tab namanya store, dari situ pencet items, dan sebagainya,” jelas Tia.

Tahun selanjutnya, Tia juga bergabung dengan Google sebagai software engineer magang. Tugasnya adalah membangun fitur Timeline di Google Maps.

Tak hanya aktif mengumpulkan pengalaman di industri, perempuan penyuka kickboxing ini juga kerap ikut hackathon dan menang. Acara hackathon merupakan ajang perlombaan IT di mana setiap tim membangun sistem atau aplikasi untuk memecahkan masalah tertentu dalam waktu singkat.

“It’s fun sih for me, jadi kita (dalam waktu) 24 jam kita build the project, solve the problem. Tapi fun part is not the winning, fun part is the process,” katanya.

Ikut berbagai kegiatan dan punya nilai akademis nyaris sempurna, sukses mengantar Tia jadi  lulusan terbaik dari program S1 jurusan Artificial Intelligence and Computer Science, The University of Edinburgh.

Ia mengaku tak menyangka dengan pencapaian itu. Pasalnya, Tia berangkat ‘dari nol’ tanpa kemampuan IT yang cakap.

Semasa SMA, Athiya Deviyani sangat menyukai matematika. Dia juga sempat mengikuti beberapa perlombaan kecil. Namun, kesukaannya pada bidang IT baru tumbuh saat memilih jurusan kuliah. Kala itu, ia mencari jurusan apa yang tepat untuk mengaplikasikan matematika. Jadilah dia memilih computer science.

“Aku juga mikir karena background aku nature mathematics yang enggak pernah belajar computer science sama sekali, aku kayak ragu, kira-kira jurusan apa yang lebih imbang matematika sama coding. Aku pengen belajar coding tapi juga pengen ngembangin skill matematika juga. Nah, terus aku nemu jurusan artificial intelligence, kebetulan ada di University of Edinburgh. Jadi itu setengah matematika, setengah computer science, which is a perfect degree for me,” terang Tia.

Tia pun ‘makin cinta’ dengan jurusan tersebut. Dia lalu melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2. Saat ditanya soal rencana masa depan, Tia pun mantap ingin lanjut S3 sampai mendapat gelar PhD di bidang AI dan menjadi peneliti. Apa alasannya?

“Aku sudah nyoba di industri bagian software engineering, kebanyakan jurusan computer science, lulus S1 langsung kerja. Tapi aku kayak, there’s so much more to learn (ada banyak yang bisa dipelajari). Terus aku pengen aku bekerja keras bukan untuk ngasih cuan ke CEO-CEO dunia, tapi I want to innovate to push human knowledge (aku ingin berinovasi untuk memperluas pengetahuan manusia),” tegasnya.

Menurut Tia, berkutat di bidang artificial intelligence memberinya banyak ruang untuk berkembang.

Sebab, bidang tersebut masih baru, sehingga ada banyak hal yang bisa dieksplor.
“Penemu-penemu itu masih hidup, jadi kita bisa contribute (berkontribusi), soalnya masih bener-bener kosong. Beda kayak bidang-bidang seperti biologi; Charles Darwin itu kan sudah meninggal ya. Jadi susah banget kalau kita mau develop (mengembangkan) sesuatu. Tapi karena ini bidangnya masih baru, I just find it exciting (rasanya menyenangkan) untuk lanjut jadi peneliti,” kata Tia.

Baca lanjutannya: Peneliti AI Indonesia yang Magang di Google hingga Apple (Bagian 2)

Related

Technology 571060972415183849

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item