MK Diminta Perbolehkan Warga RI Tidak Beragama (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2024/10/mk-diminta-perbolehkan-warga-ri-tidak_0515075232.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (MK Diminta Perbolehkan Warga RI Tidak Beragama - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
4. Menyatakan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata agama tidak dimaknai 'sebagai beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu, atau kepercayaan tidak tertentu, yaitu setiap penduduk berhak memilih untuk mengosongkannya atau mengisinya secara definitif atau tidak definitif, termasuk tetapi tidak terbatas beragama atau tidak beragama, atau Islam, atau Kristen, atau Katolik, atau Buddha, atau Hindu, atau Konghucu, atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sejenisnya, atau Islam Bahai, atau Islam Syiah 12 Imam, atau Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, atau Buddha Mahayana, atau Buddha Tantrayana, atau Bunda ... Buddha Suci dan sejenisnya, atau Saintologi, atau Deisme, atau Agnostik, atau Panteisme, dan sejenisnya atau Malim, atau Saptadharma, atau Sundawiwitan, dan sejenisnya'. Atau menyatakan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.
5. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Atau menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai 'hanya mengikat penduduk yang memeluk agama dan kepercayaan tertentu dan tidak mengikat penduduk yang tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu'.
6. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.
7. Menyatakan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.
8. Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.
9. Menyatakan Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
10. Memerintahkan pemuatan putusan pada Berita Negara Republik Indonesia.
Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Nasihat Hakim MK
Hakim MK Arief Hidayat mengingatkan soal sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia mengatakan negara telah membebaskan warga untuk menganut agama dan kepercayaan apapun.
"Mahkamah itu sebagai The Guardian of State Ideology (Penjaga Ideologi Bangsa). Lah, di dalam ideologi bangsa, yang sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu mempunyai konsekuensi bahwa bangsa ini, baik dalam kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, atau individu yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus bertuhan. Nah, penyelenggaraan bertuhannya diserahkan pada masing-masing warga negaranya. Bisa beragama, di dalam putusan Mahkamah juga silakan kalau mau berkepercayaan. Jadi, tidak ada pengertian yang negatif, tidak boleh, atau tidak diperbolehkan tidak beragama atau tidak percaya pada Tuhan. Tapi Anda meminta, intinya meminta ada pengertian yang negatif, berarti boleh tidak beragama atau tidak berkepercayaan. Nah, itu yang menurut saya dari sisi prinsip itu, itu sudah ada hal yang harus diklirkan," ucapnya.
Hakim MK Enny Nurbaningsing mengatakan dirinya baru pertama kali menangani gugatan terhadap banyak UU dari satu pemohon. Dia meminta para pemohon untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam dokumen. Hakim MK Arsul Sani juga meminta agar pemohon melengkapi batu uji dalam dokumen gugatannya.