Dugaan Manipulasi di Balik Tagar ‘Terima Kasih Jokowi’ (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Dugaan Manipulasi di Balik Tagar ‘Terima Kasih Jokowi’ - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dampak buruk dari cara ini, kata Nany, akan melenyapkan transparansi media massa. “Jadi kita enggak bisa lagi mengharapkan media akan memberikan informasi di balik sebuah informasi,” katanya.

Kemudian, katanya, media menjadi tak berdaya karena terbelenggu oleh balas budi. “Dan yang paling mengkhawatirkan ini akan preseden, kebiasaan. Jadi nanti ke depannya media tinggal dikasih uang, enggak ada lagi kekritisan. Media gagal jadi anjing penjaga karena bisa dibayar,“ ujar Nany.

Bentuk dugaan kerja sama Kemenkominfo ini disorot Dewan Pers. Anggota Dewan Pers, Sapto Anggoro, mengungkapkan orkestrasi informasi sebetulnya sah saja asalkan tidak mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Dalam keduanya diatur bahwa media wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan. Kalau memang benar sejak awal direncanakan bahwa konten yang semestinya iklan tersebut dibuat sebagai berita organik maka ada indikasi pelanggaran, kata Sapto. 

“Kalau pagar api itu tidak ada, berarti secara tidak langsung itu melakukan penipuan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan informasi yang tidak sesungguhnya kepada masyarakat. Dalam artian, ini berita atau bukan berita. Itu yang jadi masalah.” 

Namun begitu Dewan Pers masih perlu mengumpulkan informasi dan memastikannya. Baik ke kementerian terkait maupun ke perusahaan media. Ia mengatakan hingga kini belum ada laporan pengaduan yang masuk ke lembaganya.

Meski begitu, terbuka kemungkinan Dewan Pers akan bersikap proaktif dan membawanya ke rapat pleno.

“Kami bisa memanggil atau mengecek apakah media-media tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik atau tidak. Kami belum sampai [ke sana]. Kalau ketua atau Mbak Ninik sudah bicara berarti sudah ada sinyalemen, ada informasi yang sampai ke tempat kami,” ucap Sapto, merujuk Ninik Rahayu selaku ketua Dewan Pers.

Lebih lanjut Sapto juga mempertanyakan muasal anggaran yang digelontorkan untuk kerja sama. Apakah diambil dari kantong negara atau lainnya.

“Kalau dananya dari negara, ya siapa saja yang mendapat, dan kenapa mereka tidak menggunakan hal-hal yang sesuai kode etik dan pedoman pemberitaan media siber?

“Karena nanti di pleno kami akan memutuskan untuk memberikan keputusan atau sanksi, baik kepada lembaga maupun kepada pihak medianya. Karena ini bisa mengganggu, dalam konteks kemerdekaan pers. Karena dia tidak lagi menulis berdasarkan independensinya, tapi karena by order,” pungkas Sapto.

‘Operasi manipulasi‘ di media sosial

Selain di media massa, upaya mengampanyekan keberhasilan Jokowi juga disebut berkumandang di media sosial. Lembaga Data & Democracy Research Hub menemukan adanya “orkestrasi atau operasi manipulasi” yang sangat masif di X (dulu bernama Twitter) untuk mengubah citra Jokowi yang mayoritas negatif menjadi positif.

Hal itu terbaca dari penggunaan tagar: #terimakasihjokowi, #TerimaKasihPresidenJokowi, #SelamatBertugasPrabowo, #10thnJokowiPrabowo, dan #KerjaNyataJokowi, sepanjang periode 1 hingga 14 Oktober 2024.

“Ada orkestrasi atau operasi manipulasi citra Jokowi yang sangat masif di media sosial. Pasti ada yang menggerakkan ini. Di akhir masa jabatannya, percakapan tentang Jokowi lebih banyak yang negatif, mulai dari peringatan darurat, Fufufafa, politik dinasti hingga IKN. Jadi ini seperti ada upaya membersihkan nama Jokowi di saat-saat terakhirnya,” kata Ika Idris, Co-director Data & Democracy Research Hub.

Selain itu, Associate professor di Monash University Indonesia ini melihat perbincangan di media sosial juga bertujuan agar “jangan sampai apa yang dilakukan Jokowi di akhir-akhir pemerintahannya itu berpengaruh ke sentimen netizen terhadap pemerintahan Prabowo yang baru.”

Orkestrasi kampanye ‘Terima Kasih Jokowi’ dilihat dari tiga indikator. Rekan Ika dari lembaga yang sama, Derry Wijaya menjelaskan yang pertama adalah jumlah rata-rata twit tiap akun.

Berdasarkan temuannya, terdapat 46.106 percakapan yang melibatkan 6.182 akun. Artinya setiap akun mencuit sebanyak 7,45 kali. ”Angka itu terlalu banyak. Kalau misalnya dalam dua minggu itu 7 twit-an untuk tagar yang sama. Biasanya kalau organik cuma satu sampai 1,5 malah, untuk rata-rata twit-an,” komentar Ika.

Indikator kedua adalah pola waktu puncak percakapan. Temuannya menunjukkan percakapan tentang ‘Terima Kasih Jokowi’ mencapai puncak di pukul 12.00 hingga 15.00 WIB.

”Biasanya cara kerja buzzer memang begitu. Kalo misalnya ada pesanan twit, dia akan naik di jam tertentu,” kata Ika.

"Berbeda dengan yang organik atau tidak pakai tagar, hanya Jokowi saja, itu cenderung merata waktunya,” timpal Derry.

Terakhir adalah perubahan sentimen percakapan warganet. Derry melihat pembicaraan ‘Thank You Jokowi‘ nada positifnya mendominasi.

“Artinya memang sengaja dibuat untuk membuat sentimen yang positif. Terus kalau kita lihat emosinya juga emosinya paling banyak joy, isinya itu untuk bergembira ibaratnya,“ kata Derry.

Padahal jika hanya ditulis Jokowi saja maka sentimen negatif jauh lebih besar. Hal itu, kata Derry, terlihat dalam analisis sejak Juni hingga akhir September, di mana puncak percakapan negatif tentang Jokowi terjadi pada 22 Agustus, saat ‘peringatan darurat muncul‘ sebagai respon dari rencana DPR merevisi UU Pilkada.

Ika Idris menambahkan, ”operasi memanipulasi” percakapan publik di Twitter untuk memoles citra Jokowi adalah upaya yang sia-sia.

”Ibarat menggarami lautan. Dari sisi sentimen, tagar-tagar itu tetap kalah jauh. Sentimen percakapan jika hanya memakai kata ‘Jokowi’ lebih banyak negatifnya daripada positif. Lalu saat peringatan darurat, tagar-tagar untuk meredam isu seperti ‘pilih damai bareng Prabowo’ itu juga jumlahnya kecil banget,” tutupnya.

Pola sama juga terlihat dalam analisis Drone Emprit yang mencatat lebih dari 175 juta interaksi dan 25.000 mention yang melibatkan 4.846 akun di beragam platform media sosial, dari 1-14 Oktober 2024 dalam kampanye ‘Terima kasih Jokowi‘.

Dari jumlah interaksi itu, yang terbesar adalah di platform X yang mencapai 171 juta interaksi, lalu di Tiktok sebesar 3,6 juta, dan diikuti Youtube (198.843), Facebook (21.084) dan Instagram (3.889).

Peneliti Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, mengatakan akun-akun yang paling banyak memproduksi perbincangan positif adalah kementerian, lembaga, BUMN dan juga pendukung Jokowi. Mereka membahas tentang kemajuan ekonomi, infrastruktur, pariwisata, hingga keberpihakan pada kelompok rentan 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Baca lanjutannya: Dugaan Manipulasi di Balik Tagar ‘Terima Kasih Jokowi’ (Bagian 3)

Related

News 8216425888716953870

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item