Dugaan Manipulasi di Balik Tagar ‘Terima Kasih Jokowi’ (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2024/10/dugaan-manipulasi-di-balik-tagar-terima.html
Pemerintah Indonesia membantah adanya upaya kampanye—baik melalui media massa maupun media sosial—untuk ‘memoles citra’ Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya. Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan sejumlah media bahwa pemerintah menawarkan ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk menulis berita kesuksesan pemerintah Jokowi.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Prabu Revolusi, mengaku setiap kerja sama antara pemerintah dengan media terkait pemberitaan pasti melewati surat menyurat atau dengan dokumen resmi.
”Jika memang ditawari, coba ada suratnya enggak? Tidak mungkin Kominfo membuat kerja sama tanpa dokumen, ini good corporate governance yang kami jaga. Saya mau tahu malahan, karena selama saya ada di Kominfo enggak pernah ada penawaran miliaran rupiah sama media,” kata Prabu, Senin (14/10).
Walau demikian, Prabu mengakui bahwa memang ada kerja sama antara pemerintah dan sejumlah media untuk mensosialisasikan beragam capaian pemerintah ke publik. Hal itu sudah terjalin sejak lama dan terdokumentasi.
Pernyataan itu berbeda dengan keterangan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Setri Yasra. Dia mengungkapkan pihaknya sempat mendapat tawaran kontrak kerja sama pemberitaan yang berisi klaim keberhasilan Jokowi dari Kemenkominfo, namun dia enggan mengungkapkan detail tawaran itu.
Setri mengatakan tawaran itu lalu ditolak karena pemerintah meminta agar kontennya ditulis dalam bentuk berita organik, bukan sebagai iklan.
Secara terpisah, seorang petinggi Tempo mengonfirmasi bahwa mereka mendapatkan tawaran kerja sama publikasi 100 halaman dengan nilai kontrak mencapai miliaran rupiah, plus mendapatkan akses untuk wawancara Presiden Jokowi.
Sejumlah media mengonfirmasi terkait tawaran itu. Mereka mengakui adanya kerja sama pemberitaan dengan pemerintah senilai ratusan juta tanpa proposal tertulis untuk memberitakan kesuksesan pemerintahan Jokowi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai apa yang dialami Tempo dan media lainnya merupakan upaya dari pemerintah untuk menyetir dan membungkam media massa dengan uang.
“Mereka ingin mengkooptasi, mempengaruhi, dan memanipulasi media,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida.
Selain di media massa, upaya mengkampanyekan capaian Jokowi juga disebut berkumandang di media sosial.
Lembaga Data & Democracy Research Hub menemukan adanya “orkestrasi atau operasi manipulasi” yang sangat masif di X (dulu bernama Twitter) untuk mengubah citra Jokowi yang mayoritas negatif menjadi positif.
“Di akhir masa jabatannya, percakapan tentang Jokowi lebih banyak negatif, mulai dari peringatan darurat, Fufufafa, politik dinasti hingga IKN. Jadi ini seperti ada upaya membersihkan nama Jokowi di saat-saat terakhirnya,” kata Ika Idris, Co-director Data & Democracy Research Hub.
Analisis Drone Emprit—pemantau percakapan di sosial media—mencatat terdapat lebih dari 175 juta interaksi dan 25.000 mention yang melibatkan 4.846 akun di berbagai platform, membahas keberhasilan pemerintahan Jokowi baik dari sektor ekonomi hingga infrastruktur.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Prabu Revolusi, membantah temuan itu.
”Yang mencintai Pak Jokowi itu banyak loh. Kenapa sih harus meragukan saat tiba-tiba ada begitu banyak orang yang berterima kasih pada Jokowi? Terlalu dipaksakan untuk berpikir bahwa ini ada orkestrasi,” katanya.
Tawaran kontrak miliaran rupiah
Majalah Tempo mengeluarkan laporan utama berjudul ‘Operasi Memoles Citra’. Dalam laporan ini Tempo menyampaikan bahwa, ”Menjelang Jokowi lengser, keluar instruksi mengkampanyekan keberhasilan pemerintah. Ada kontrak miliaran rupiah ke media massa.”
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Setri Yasra, mengungkapkan pihaknya sempat mendapatkan tawaran kontrak kerja sama pemberitaan Kemenkominfo, yang berisi klaim keberhasilan Jokowi.
Menurut Setri, mulanya penawaran disampaikan secara lisan pada sekitar awal September 2024. Karena mengira kontrak kerja sama ini ditayangkan dalam bentuk iklan, tim bisnis pun menindaklanjuti tawaran tersebut, ujarnya.
“Tepatnya kalau enggak salah 6 September. Seminggu kemudian tim bisnis mencoba membawa proposal. Dalam pertemuan itu, diminta bukan advertorial. Ini terbit organik, terbit di edisi Senin,” tutur Setri.
“Oleh tim [bisnis dijawab] ini: Enggak mungkin, Pak. Enggak bisa. Karena enggak mungkin Tempo bisa dipesan-pesan. Jadi sudah kepastian penolakan [tawaran kontrak kerja sama] itu sudah sepekan sejak 6 September itu,” lanjutnya.
Setri menambahkan, Tempo menolak lantaran melanggar kode etik. Sebab seharusnya ada garis api atau pembatasan yang tegas antara iklan dan berita. Kendati begitu, ia enggan mengungkapkan detail tawaran kontrak tersebut. Setri hanya mengatakan, penawaran itu ditindaklanjuti oleh tim bisnis Tempo.
Secara terpisah, seorang petinggi Tempo mengonfirmasi bahwa mereka mendapatkan tawaran kerja sama penayangan 100 halaman yang diminta tayang menjelang 20 Oktober 2024—peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo.
Tawaran itu, katanya, memiliki nilai kontrak mencapai miliaran rupiah plus akses untuk wawancara Presiden Jokowi. “Atensinya itu: sebut dong soal infrastruktur, soal irigasi. Pesan begitu ke kami,” ucap petinggi Tempo itu.
Di sisi lain, menurut Setri, redaksi tengah menggarap liputan mengenai indikasi orkestrasi pencitraan Jokowi. Tapi ia menegaskan, dalam kerja jurnalistik Tempo, bagian iklan dan redaksi bekerja dalam koridor masing-masing.
Selain Tempo, ada dugaan tawaran itu ke sejumlah media. Mereka mengamini ada kontrak senilai ratusan juta tanpa proposal tertulis untuk memberitakan kesuksesan pemerintahan Jokowi.
Menyetir dan membungkam media massa
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, berpendapat bahwa tawaran kontrak itu merupakan upaya untuk menyetir dan membungkam media massa dengan uang.
“Kami merasa ini keterlaluan. Mereka ingin mengkooptasi, mempengaruhi, dan memanipulasi media dengan dipaksa menulis yang baik-baik dan melupakan hal lain yang memiliki dampak luas di masyarakat. Kayak model IKN, itu kan ditulis yang bagus-bagus. Padahal di balik itu ada penggusuran, pengeringan tempat air sekarang jadi susah hingga intimidasi.”
Baca lanjutannya: Dugaan Manipulasi di Balik Tagar ‘Terima Kasih Jokowi’ (Bagian 2)