Benarkah Kakek Habib Luthfi Pekalongan Termasuk Pendiri NU? (Bagian 1)


Beredarnya Buku Pelajaran Ahlussunnah Waljamaah Ke-NU-an Jilid I untuk Kelas 2 yang diterbitkan oleh RMI PCNU Kabupaten Tegal yang juga beredar di lingkungan satuan-satuan Pendidikan Ma’arif NU, memicu polemik.

Buku tersebut memuat pernyataan sejarah yang disebut tak sesuai dengan fakta. Buku itu menyatakan bahwa salah satu pendiri NU adalah kakek Habib Lutfhi bin Yahya Pekalongan, Yaitu Habib Hasyim bin Yahya. Benarkah demikian?

Pemerhati sejarah NU yang juga anggota Tim Kerja Museum NU, Riadi Ngasiran, menjelaskan, mengutip Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), didapati fakta bahwa tidak menyebutkan nama Habib Hasyim bin Yahya sebagai salah satu pendiri NU.

Dia menyebutkan, memang ada satu tokoh yang meskipun tidak disebut resmi dalam statuten pendirian NU, 31 Januari 1926, tapi justru menjadi Inspirator berdirinya NU yaitu Syekhona Muhammad Kholil Al-Bankalany.

“Kisah-kisah awal pendirinya NU, sebagai asbabul wurudnya, tak lepas dari ulama pesantren yg menjadi guru para kiai pada zaman itu,” kata dia, Selasa (30/7/2024).

Dia menilai, pernyataan Habib Luthfi tersebut adalah klaim sepihak. “Ya klaim sepihak tidak bisa dijadikan pijakan sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah adalah fakta, bukan dongeng. Kalau ada sumber lisan, itu pun harus diverifikasi usianya sezaman atau tdak,” ujar dia.

“KH As'ad Syamsul Arifin menjadi sumber lisan, tetapi usianya sezaman dengan muassis NU. Apalagi, pelaku langsung yang terlibat dalam proses awal berdirinya NU,” papar dia.

Riadi menjelaskan frase “tidak mau ditulis” dalam pernyataan buku tersebut juga dipertanyakan. Jika kalimat itu langsung disampaikan pelaku bisa dipahami. Misalnya, KH Masykur, Pimpinan Tertinggi Markas Barisan Sabilillah di Malang pada zaman Revolusi.

Setelah merdeka, beliau tidak mau ditulis, setidaknya tidak menonjolkan diri, sehingga semasa hidup beliau hanya ingin adanya masjid yang berdiri sebagai bentuk penghormatannya.

“Maka berdirilah Masjid Sabilillah di Kota Malang. Sesudah itu, selepas wafat, beliau baru kita gali jejak perjuangannya. Sehingga, KH Masykur dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional,” tutur dia.

Riadi menekankan, tetapi di luar itu, seperti yang sering disebutkan Habib Luthfi bin Yahya, bahwa kakeknya berperan atas berdirinya NU, perlu dikaji lebih dalam dengan bukti-bukti primer.

Misalnya, apakah ada nama tersebut pada dokumen rapat, berita surat kabar sezaman, dan risalah atau memoar tokoh sezaman. “Bila semua sumber, baik primer maupun sekunder tidak ada, bisa dikatakan bahwa hal itu belum bisa dikategorikan sebagai kebenaran sejarah,” ujar dia.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, merespons tegas beredarnya buku ajaran di madrasah yang memuat tentang sejarah berdirinya NU.

Buku tersebut terungkap memuat fakta-fakta salah sehingga berpotensi terjadi penyesatan sejarah. "Ada buku yang ditulis dan kemudian digunakan sebagai referensi atau sebagai bahan ajar di madrasah-madrasah mengenai sejarah pendirian NU yang isinya berisi narasi yang menyimpang, yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya," katanya seusai memimpin Rapat Pleno PBNU di Jakarta, Ahad (28/7/2024).

Lantas apa buku dan isi buku yang dimaksud tersebut? Republika menelusuri sejumlah sumber dan mendapati buku yang dimaksud adalah buku Pelajaran Ahlusunnah Waljamaah Ke-NU-an, jilid 1 untuk kelas 2, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren yang disusun oleh Divisi Keilmuan RMI PCNU, Penerbit RMI PCNU Kabupaten Tegal.

Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa salah satu pendiri NU adalah kakek Habib Luthfi, Habib Hasyim Bin Yahya Pekalongan. Bahkan, diungkap secara lengkap tentang kronologis pendirian NU yang tak lepas dari kakek Habib Luthfi.

Dalam foot note Bab VI yang menerangkan sejarah lahirnya NU, disebutkan bahwa ada versi lain dalam pembentukan NU. Dibentuknya NU sebagai wadah Aswaja bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tetapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dhoruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Hal itu merupakan pengalaman ulama-ulama Aswaja, terutama pada rentang waktu tahun 1200 H sampai 1350 H.

Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram. Mereka menyimpulkan bahwa sudah sangat mendesak beridirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Aswaja.

Akhirnya, diistikarahi oleh para ulama Haramain. Kemudian mereka mengutus KH Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang yang diyakini sebagai kekasih Allah, yang bermukim di Indonesia.

Kalau dua orang ini mengiyakan, maka rencana pembuatan wadah untuk Aswaja akan dilanjutkan. Kalau tidak maka jangan diteruskan. Dua orang tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya, Pekalongan (kakek Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya). Yang satunya lagi adalah Syekhona Muhammad Kholil Bangkalan. 

Oleh sebab itu, tidak heran jika Muktamar NU yang ke-5 dilaksanakan di Pekalongan, tepatnya pada tahun 13 Rabiul Akhir 1349 H/ 7 September 1930 M. Hal itu dilakukan untuk menghormati Habib Hasyim bin Yahya yang wafat pada tahun itu.

Kiai Hasyim Asy’ari datang ke tempat Kiai Yasin. Kiai Sanusi ikut serta pada watu itu. Di situ, mereka diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan. Lalu, bersama Kiai Irfan, datang ke kediaman Habib Hasyim.

Begitu KH Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, ”Kiai Hasyim Asy’ari, silakan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Aswaja. Saya rela (rida), tapi tolong nama saya jangan ditulis.” Itu wasiat Habib Hasyim. Kiai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas.

Baca lanjutannya: Benarkah Kakek Habib Luthfi Pekalongan Termasuk Pendiri NU? (Bagian 2)

Related

News 1892231776961521423

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item