Alarm Bahaya Ekonomi Indonesia Telah Menyala (Bagian 1)


Alarm bahaya perekonomian Indonesia menyala, salah satunya dari tren penurunan jumlah kelas menengah.

Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market (Juli 2024) proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada 2023 cuma 17,44 persen.

Jumlah ini anjlok dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45 persen. Penurunan jumlah kelas menengah ini berbanding terbalik dengan kelompok rentan. Dalam periode yang sama jumlah kelompok rentan malah meningkat.

Tercatat, jumlah masyarakat rentan naik dari 68,76 persen pada 2019 menjadi 72,75 persen pada 2023. Data di atas menimbulkan tanya; itu jadi indikasi kelas menengah di RI banyak yang turun kelas.

Apalagi, di tengah masalah itu, kredit macet (non performing loan/NPL) kredit kepemilikan rumah (KPR) naik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio NPL properti berada di level 2,4 persen pada Desember 2023.

Angka itu lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 2,1 persen. Tak hanya itu, level rasio NPL properti Desember 2023 itu juga lebih tinggi dibanding 2020 dan 2021 yang masing-masing sebesar 2,3 persen dan 2,2 persen.

Pun data Bank Indonesia (BI) menunjukkan rasio NPL properti berada di level 2,63 persen pada Januari 2024. Angka itu naik dibandingkan Januari 2023 yang sebesar 2,46 persen.

Adapun secara umum rasio NPL industri perbankan tercatat meningkat sepanjang tahun ini. OJK mencatat rasio NPL gross perbankan mencapai 2,34 persen per Mei 2024. Angka itu meningkat dibanding level NPL pada Desember 2023 yang sebesar 2,19 persen.

Gejolak ekonomi yang dialami kelas menengah juga tercermin dari menurunnya penjualan mobil. Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales sepanjang semester I 2024 mencapai 408.012 unit.

Angka penjualan itu turun 19,5 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 506.427 unit pada 2023. Sementara penjualan ritel hanya berhasil mencatatkan penjualan sebanyak 431.987 unit, turun sebesar 14 persen dari tahun sebelumnya yang berhasil mencapai 502.533 unit.

Khusus penjualan wholesales pada Juni, menurut laporan dari Gaikindo hanya berhasil mencapai 72.936 unit. Angka ini turun sebesar 11,8 persen jika dibandingkan dengan Juni tahun sebelumnya.

Sedangkan untuk penjualan secara ritel pada Juni, Gaikindo mencatat hanya berhasil di angka 70.198 unit, turun 12,3 persen dibanding Juni 2023.

Peningkatan NPL KPR dan menurunnya penjualan mobil juga sejalan dengan fakta turunnya daya beli dan tren makan tabungan kelas menengah.

Tengok saja, data Mandiri Spending Index menunjukkan tabungan konsumen menengah dengan nilai Rp1 juta hingga Rp10 juta, turun dari kisaran 100 pada Januari 2023 menjadi 96,6 pada Mei 2024. Fenomena makan tabungan paling dalam terjadi pada April 2024, yakni di level sekitar 90-an.

Di satu sisi, daya beli kelas menengah juga turun dari level 130-an pada Januari 2023 menjadi 122,7 pada Mei 2024. Namun, yang paling parah terjadi pada tabungan kelompok bawah atau di bawah Rp1 juta. Tabungan mereka anjlok dari level 100 pada Januari 2023 menjadi 41,8 pada Mei 2024.

Namun, fenomena makan tabungan ini juga seiring dengan peningkatan daya beli kelompok bawah. Tercatat daya beli mereka naik dari level 90 pada Januari 2023 menjadi 109,1 per Mei 2024.

Melihat data, besarnya beban kelas menengah bawah terutama yang masuk dalam calon kelas menengah atau AMC membuat optimisme mereka terhadap ekonomi RI menurun.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masyarakat dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta berada di level 109,2 pada Juni 2024. Angka itu turun dari Mei yang mencapai 114,9. IKK pada Januari 2023 bahkan masih cukup tinggi, yakni 122,1.

Level IKK Juni yang sebesar 109,2 tersebut mendekati titik pesimis. Pasalnya, IKK dikatakan pesimis jika levelnya di bawah 100.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut permasalahan yang menimpa kelas menengah Indonesia itu perlu diwaspadai. Pasalnya, ini bisa menjadi indikasi bahwa negara akan ditimpa krisis ekonomi.

"Fenomena perlambatan kelas menengah ini jadi alarm bahaya bagi perekonomian, salah satu indikasi jelang krisis adalah merosotnya daya beli middle class," ucap Bhima.

Bukan tanpa alasan kenapa kemudian Bhima mengatakan itu semua. Pasalnya, kelompok 40 persen pengeluaran kelas menengah pada Maret 2024 memiliki kontribusi 37 persen terhadap konsumsi nasional; komponen terbesar penopang ekonomi Indonesia.

Hal itu membuat sepertiga hidup matinya ekonomi bergantung di kelas menengah.

"Dengan tekanan berlanjut ke kelas menengah dikhawatirkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,2 persen hingga 4,7 persen pada 2024 dan 4,6 persen di 2025 mendatang," katanya.

Karena porsi kelas menengah cukup besar dari segi populasi dan konsumsi nasional, Bhima menilai tekanan perlambatan daya beli kelompok tersebut membuat pertumbuhan ekonomi mandek di level 5 persen. Bahkan tahun depan diramal bisa di bawah 5 persen.

Baca lanjutannya: Alarm Bahaya Ekonomi Indonesia Telah Menyala (Bagian 2)

Related

News 3748729228801344749

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item