Petani Buang Hasil Panen karena Harga Anjlok (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2024/08/petani-buang-hasil-panen-karena-harga_0194812432.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Petani Buang Hasil Panen karena Harga Anjlok - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Di sisi lain, Priyono mengaku mulai bisa bernapas lega setelah ada bantuan dari pihak swasta seperti Masjid Nurul Ashri. Menurut dia, pembelian dalam jumlah besar “cukup membantu” bahkan bisa mempengaruhi harga pasaran.
“[Masjid] Nurul Ashri sudah tiga kali memborong sayur kita. Sampai sekali ambil itu bisa 1 ton,” ujarnya.
Menurut Priyono, beberapa harga sayur sudah mulai merangkak dan membaik. Sayur sawi pakcoy, misalnya, yang sebelumnya dipatok seharga Rp15.000 per keranjang (seberat 50 kilogram) sekarang naik menjadi Rp50.000 per keranjang.
Priyono berharap solidaritas sosial terhadap petani ini juga bisa diterapkan pemerintah dengan membantu para petani mendistribusikan hasil buminya ke daerah-daerah lain.
Sementara itu, kakak Priyono, Jumarno (40), mengatakan para petani membuang hasil buminya lantaran mengalami frustasi yang, menurutnya, “menjadi hal wajar” pada “masa-masa sulit”.
"Ya itu ungkapan emosi kita. Karena untuk tanaman sayur itu kita butuh pupuk, obat… supaya tidak dimakan ulat dan masih banyak kebutuhan lainnya,” ujar Jumarno yang anaknya saat ini duduk di bangku SMP.
“Saya itu pernah sampai tidak bisa bayar sekolah anak saya. Akhirnya utang lagi, utang lagi,” keluhnya.
Ada apa di balik fenomena petani membuang hasil panen?
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, mengatakan para petani memilih membuang sayur dikarenakan harga yang jatuh di tengah panen yang berlimpah.
Sayangnya, menurut Henry, pemerintah tidak memiliki solusi dalam menghadapi persoalan tersebut. Aksi membuang hasil panen, kata dia, menjadi sebuah bentuk protes supaya suara mereka terdengar.
“Kenapa mereka buang sebagai bentuk protes? Ya, karena itu jauh lebih efektif untuk mengomunikasikannya ke publik ketimbang harus demonstrasi ke Jakarta atau ke kantor pemerintah,” ujar Henry kepada Amahl Azwar, Selasa (23/07).
“Semua orang punya akses terhadap media sosial. Dan itu tidak perlu dilakukan beramai-ramai. Cukup satu, dua orang petani saja sudah bisa.”
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan para petani – khususnya dalam hal ini, petani hortikultura – selalu menghadapi permasalahan serupa ketika musim panen tiba.
Bahkan, menurut Andreas, di beberapa tempat di Indonesia, petani akhirnya membiarkan lahannya ketika panen raya tiba.
“Untuk biaya panen saja itu lebih mahal daripada harga jual produknya,” ujar Dwi Andreas melalui sambungan telepon pada Senin (22/07). “Sayuran itu, kan, karakternya mudah rusak. Nah, [karena] mudah rusak, ya, otomatis ketika pasokan berlebihan harganya akan jatuh sekali.”
Dalam situasi seperti itu, lanjut Andreas, para petani pun memilih membagi-bagikan hasil panen secara gratis atau “menumpahkan produk [panen] di jalan untuk mendapatkan perhatian pemerintah [dan] konsumen”.
Apakah solidaritas sosial bisa menjadi solusi?
Baik Henry Saragih dan Dwi Andreas mengapresiasi aksi sosial seperti yang dilakukan Masjid Nurul Ashri di Sleman dan Universitas Muhammadiyah Magelang.
“Paling tidak, untuk sementara, itu bagus dan harusnya dengan sebuah kesadaran yang lebih luas,” ujar Henry. “Sebenarnya sudah lama ada yang melakukan seperti itu. Hanya saja, mungkin belakangan ini semakin tumbuh kesadaran yang lebih banyak lagi.”
Meski begitu, Henry menekankan bahwa solusi yang ideal tetap saja di tangan pemerintah dalam membuat regulasi dan mengatur supaya para petani dan konsumen bisa lebih terlindungi.
“Pemerintah kita ini enggak punya satu arahan. Kapan petani menanam [atau] memanen, kan, tidak ada,” ujar Henry. “Misalnya, tanaman kelapa sawit. Sekarang ini orang tanam saja, tidak ada batasan berapa luas. Kemudian juga petani sudah lama sekali tidak ada didorong [untuk] misalnya membentuk koperasi-koperasi untuk mengurus pasca-produksi dan produksinya.”
Selain itu, Henry mendorong pemerintah untuk menerapkan pengaturan untuk memproteksi kedaulatan pangan di Indonesia. “Jangan sampai, misalnya, masyarakat sudah semangat melakukan produksi, kemudian diimpor dengan harga bebas di luar negeri,” tukasnya.
Hal senada diungkapkan Dwi Andreas. Walau mengakui solidaritas sosial bisa membangkitkan kesadaran masyarakat, aksi memborong sayur hasil panen petani tetap disebutnya “sporadis” dan “tidak akan cukup banyak berkontribusi terkait dengan persoalan ini”.
Dwi Andreas menyarankan solusi berupa pengaturan agar para petani didorong untuk menanam “melawan” musim panen untuk menghindari puncak-puncak panen raya. “Sehingga nanti [petani] tidak panen bersamaan,” ujar Dwi Andreas.
Dwi Andreas mengakui tidak banyak petani yang mampu melakukan hal ini karena investasinya cukup besar. Untuk itu, Dwi Andreas mendorong pemerintah agar terus mengembangkan dan menginisiasi program pengelolaan pascapanen.
“Pengelolaan pascapanen ini bisa ditingkatkan. Kelebihan produk tersebut langsung diolah, dikeringkan ataupun diolah [misalnya tomat] jadi pasta supaya tidak hancur harganya [dan] bisa dimanfaatkan,” ujarnya.