Petani Buang Hasil Panen karena Harga Anjlok (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2024/08/petani-buang-hasil-panen-karena-harga.html
Fenomena petani yang memilih membuang sayur hasil panen daripada dijual karena harga turun drastis kembali menjadi perbincangan dunia maya. Beberapa pihak termasuk masjid dan kampus memutuskan untuk memborongnya – yang kemudian menjadi viral di media sosial. Ada apa di balik fenomena ini?
Salah satu yang viral datang dari Sleman, Yogyakarta. Pengurus Masjid Nurul Ashri menjadi populer di platform Instagram dan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) setelah membeli berton-ton sayuran dari petani dari Ngablak di Magelang, Jawa Tengah pada 12 Juli silam.
Banyak warganet memberikan apresiasi mereka, walau tidak sedikit yang mempertanyakan kehadiran pemerintah dalam hal ini.
Faturrahman Arhaby, yang menjabat sebagai koordinator kemitraan dan komunikasi Masjid Nurul Ashri, mengatakan pihaknya mencoba menolong petani dengan membeli hasil panen dengan harga yang wajar.
Inisiatif sosial untuk membantu para petani ini tidak hanya dilakukan Masjid Nurul Ashri. Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) juga membeli sayur-mayur seperti kacang panjang, tomat, dan daun bawang yang totalnya mencapai tujuh kuintal dari para petani di kaki Gunung Sumbing, di Kecamatan Kajoran, Magelang.
“Tadinya [sayur-sayuran] mau digratiskan oleh petani. Bahkan, kalau tidak kami beli, mau dibuang karena petani merasa rugi kalau dijual ke pasar,” ujar juru bicara Unimma, Arina Husnia, pada Jumat (19/07).
Apa yang dilakukan para petani – membuang hasil panen ketika harga turun drastis – sebetulnya bukan baru kali ini terjadi. Namun, inisiatif sosial seperti yang dilakukan masjid dan universitas memunculkan semangat solidaritas di masyarakat untuk saling membantu.
Tetapi ada apa sebetulnya di balik fenomena para petani membuang hasil panen mereka – apa yang mereka harapkan dari aksi ini? Lalu, apakah aksi solidaritas dengan memborong hasil panen para petani benar-benar bisa menjadi solusinya?
Apa penyebab masjid di Sleman memborong hasil panen?
Koordinator kemitraan dan komunikasi Masjid Nurul Ashri, Faturrahman Arhaby, mengatakan pihaknya terdorong membantu kesejahteraan petani setelah mengetahui harga sayuran anjlok di pasaran seiring dengan musim panen pada tanggal 10 Juli lalu.
“[Kebetulan] kita sudah ada agenda bazar masjid. Memang niat pertamanya kita ambil [hasil panen] untuk memenuhi bazar sayur kita setiap Jumat [19/07] pagi,” ujarnya pada Senin (23/07).
Pihak masjid, lanjutnya, mendapat informasi tentang lokasi para petani di Dusun Tejosari, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dari pasar setempat.
“Dua minggu yang lalu kita ke pasarnya. Setelah itu kita tidak ke pasarnya lagi, langsung [ke] petaninya.”
Faturrahman mengklaim banyak orang yang kemudian tergerak turut membantu, terutama setelah pengurus masjid membuka program jasa titip untuk membeli sayur dari petani.
Beberapa orang membantu dengan ikut memesan, sedangkan yang lain menjadi relawan dalam program bazar.
Faturrahman mengaku bisa merasakan rasa frustasi para petani yang penghasilannya terganggu karena fenomena jatuhnya harga di pasaran. “Waktu saya tanya ke mereka, panen itu butuh tenaga, butuh modal… Kalau misalnya dibeli dengan harga di bawah modal, mereka juga rugi,” ujar Faturrahman.
“Sementara bertani bukanlah pekerjaan sekunder bagi mereka [melainkan] keseharian,” ujarnya kemudian, seraya menambahkan harga sayuran mulai merangkak setelah adanya program masjid.
“Kalau kemarin yang kita rasakan mereka [para petani] berterima kasih [kepada kami karena] membantu menaikkan harga. Detail harganya langsung ke petani saja.”
Kenapa petani membuang hasil panennya?
Priyono adalah salah satu petani yang terpaksa membuang hasil panen di tempat dia bercocok tanam di kaki Gunung Merbabu tepatnya di Dusun Tejosari, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
“Kemarin itu kita panen raya sehingga stoknya membengkak, sementara kita jualnya hanya di Pasar Ngablak sini saja,” ujar pria berusia 36 tahun itu menceritakan kebuntuan yang dialaminya. “Mendingan dibuang daripada capek.”
Priyono yang tinggal bersama kakaknya, Jumarno, dan harus menghidupi anaknya yang baru menginjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) menyebut harga beberapa sayuran seperti labu siam, sayur sawi atau pakcoy, dan tomat sempat mengalami keanjlokan.
"Sawi pakcoy itu kemarin borongannya sempat dihargai Rp15.000 [per keranjang]. [Sementara] itu buat beli keranjangnya Rp7.000 - Rp9.000, kemudian beli tali rafianya anggap saja Rp2.000. Jadi, dapat bersih hanya Rp5.000. Padahal itu beratnya 50 kilogram per keranjangnya," ungkap Priyono.
Kejadian seperti ini, menurut Priyono, bukan kali pertama terjadi bagi para petani di Ngablak. Dia pun hanya bisa berharap masyarakat maklum apabila melihat petani memilih membuang hasil panen.
“Mau mengeluh ke siapa, bingung. Mikirnya: ‘enggak laku, buang, yang penting kita sudah kerja’, ujarnya.
Baca lanjutannya: Petani Buang Hasil Panen karena Harga Anjlok (Bagian 2)