Kronologi Kerusuhan di Bangladesh dan Penyebabnya


Demonstrasi anti-pemerintah telah memicu bentrokan nasional antara polisi dan mahasiswa di Bangladesh. Setidaknya 150 orang tewas dan beberapa dari mereka yang terjebak dalam pertumpahan darah menggambarkan apa yang terjadi. 

Seorang mahasiswa menuturkan, para demonstran di Ibu Kota Dhaka hanya ingin mengadakan unjuk rasa damai, namun polisi “menghancurkannya” dengan menyerang mereka saat mereka sedang berkumpul. Sementara seorang pemimpin mahasiswa yang kini dalam masa pemulihan di rumah sakit menggambarkan bagaimana dia ditutup matanya dan disiksa oleh orang-orang yang mengaku sebagai polisi. 

Sementara itu, seorang dokter di unit gawat darurat mengatakan, mereka kewalahan ketika puluhan anak muda dengan luka tembak dibawa masuk pada puncak bentrokan. Pasukan keamanan dituduh melakukan kekerasan yang berlebihan, namun pemerintah menyalahkan lawan politik atas kerusuhan yang terjadi setelah kuota diberlakukan pada pekerjaan pemerintah. 

Sebagian besar dari peraturan tersebut kini telah dibatalkan atas perintah Mahkamah Agung. Pemadaman internet secara nasional telah membatasi aliran informasi di negara tersebut, yang juga memberlakukan jam malam. 

Kerusuhan tersebut merupakan tantangan paling serius yang dialami Sheikh Hasina (76) dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari silam dia kembali menjabat sebagai perdana menteri—masa jabatan keempat berturut-turut—dalam pemilu kontroversial yang diboikot oleh partai-partai oposisi utama di negara tersebut. 

Raya (bukan nama sebenarnya), mahasiswa di universitas swasta BRAC, mengatakan bahwa dia kali pertama bergabung dalam demonstrasi pada Rabu (17/7/2024). Namun keesokan harinya, bentrokan dengan polisi jadi "sangat mengerikan". 

“Polisi menyerang mahasiswa dengan melemparkan selongsong gas air mata setelah pukul 11.30. Saat itu, beberapa mahasiswa mengambil selongsong gas air mata tersebut dan melemparkannya kembali ke arah polisi,” ujarnya, menggambarkan peristiwa yang dia saksikan saat itu. 

Dia kemudian mengatakan, polisi lalu mulai menggunakan peluru karet dan pada satu titik mengurung para mahasiswa di kampus mereka, bahkan menghentikan mereka untuk membawa korban luka parah ke rumah sakit. Kemudian, sore harinya, polisi memerintahkan mereka pergi. 

“Pada hari itu, kami hanya ingin melakukan aksi damai, tapi polisi merusak seluruh suasana sebelum kami bisa berbuat apa-apa,” kata Raya. 

Keadaan jadi lebih buruk lagi pada Jumat (19/7/2024), ketika sebagian besar korban jiwa terjadi. Pada pukul 10.00, ratusan pengunjuk rasa melawan polisi di Natun Bazaar dekat Rampura, tidak jauh dari distrik yang biasanya aman dan menjadi lokasi banyak kedutaan yang kini menyerupai zona perang. 

Para pengunjuk rasa melemparkan batu bata dan batu ke arah polisi yang membalas dengan tembakan senapan, gas air mata dan granat suara, sedangkan sebuah helikopter melepaskan tembakan dari udara. 

Kebakaran di mana-mana, kendaraan-kendaraan yang terbakar dan dirusak ditinggalkan di jalan, barikade—yang didirikan oleh polisi serta pengunjuk rasa—membongkar penghalang jalan baja dan mematahkan ranting-ranting yang berserakan di jalan. 

Polisi terlihat meminta bala bantuan dan amunisi yang habis dengan cepat. Pada waktu yang sama, rumah sakit di kota mulai menerima banyak korban luka, banyak yang datang dengan berjalan kaki dan bersimbah darah. Unit gawat darurat kewalahan karena ratusan pasien membanjiri rumah sakit dalam waktu singkat. 

“Kami merujuk pasien yang terluka parah ke Rumah Sakit Dhaka Medical College karena kami tidak dapat menangani mereka di sini,” kata seorang dokter yang memilih untuk tidak mengungkap namanya, dan mengatakan sebagian besar korban terkena peluru karet. 

Seorang dokter lain di rumah sakit pemerintah—yang juga enggan mengungkap identitasnya—mengatakan, selama beberapa jam sepertinya setiap menit ada orang yang terluka datang. 

“Pada Kamis dan Jumat, sebagian besar pasien datang dengan luka akibat tembakan,” kata dokter tersebut. “Pada hari Kamis kami melakukan 30 operasi dalam satu sif enam jam. Itu sangat menakutkan bahkan bagi seorang dokter yang berpengalaman... beberapa rekan saya dan saya benar-benar gugup untuk merawat begitu banyak anak muda yang terluka." 

Setelah kekerasan pecah pada Jumat, salah satu pemimpin mahasiswa, Nahid Islam, hilang. Ayahnya mengatakan, dia dibawa dari rumah temannya pada Jumat dini hari, dan muncul kembali lebih dari 24 jam kemudian. Nahid kemudian menceritakan bagaimana dia dijemput dan dibawa ke sebuah kamar di sebuah rumah, diinterogasi dan disiksa secara fisik dan mental oleh orang-orang yang mengaku sebagai detektif. 

Dia mengatakan, dia pingsan dan baru sadar kembali pada Minggu (21/7/2024) pagi, lalu berjalan pulang dan mencari perawatan di rumah sakit karena pembekuan darah di kedua bahu dan kaki kirinya. 

Menanggapi tuduhan Nahid, Menteri Penerangan Mohammad Ali Arafat mengatakan bahwa insiden tersebut akan diselidiki, namun ia mencurigai adanya "sabotase"—bahwa seseorang mencoba mendiskreditkan polisi. 

“Pertanyaan saya adalah, jika ada orang dari pemerintah yang pergi, mengapa mereka menjemputnya, menahannya selama 12 jam dan melepaskannya ke suatu tempat, sehingga dia bisa kembali dan mengajukan pengaduan seperti itu?” 

Ada juga pertanyaan mengenai mereka yang meninggal, beberapa di antaranya tampak tidak memiliki kaitan langsung dengan gerakan demonstrasi. 

BBC berbicara dengan kerabat Maruf Hossain (21) yang sedang mencari pekerjaan di Dhaka setelah menyelesaikan studinya. Ibunya mengatakan, dia menyuruhnya untuk tidak keluar rumah selama demonstrasi namun dia ditembak dari belakang ketika mencoba melarikan diri dari kerusuhan, dan kemudian meninggal di rumah sakit. 

Korban tewas lainnya, Selim Mandal, seorang pekerja konstruksi, terjebak dalam kebakaran yang terjadi pada Minggu (21/07) dini hari setelah terjadi kekerasan di area tempat dia bekerja dan tinggal. Mayatnya yang hangus ditemukan bersama dua orang lainnya. Penyebab kebakaran belum diketahui. 

Hasib Iqbal (27) yang tewas dalam kerusuhan tersebut, dikatakan sebagai anggota gerakan demonstrasi namun tidak terlalu terlibat. Keluarganya mengatakan, dia sebenarnya bukan bagian dari aksi tersebut, namun mereka tidak yakin bagaimana dia meninggal. Ayahnya, Abdur Razzaq, yang terkejut mengetahui kematian putranya berkata, “Saya pergi mencari pengantin untuk putra saya. Ketika saya kembali, saya mendengar anak saya sudah tidak hidup lagi.” 

Ayahnya mengatakan bahwa mereka seharusnya pergi shalat berjamaah, namun karena dia agak terlambat, putranya pergi ke masjid sendirian. Razzaq kemudian keluar untuk mencari putranya tetapi baru mengetahui bahwa dia telah meninggal beberapa jam kemudian. 

Sertifikat kematiannya menyebutkan dia meninggal karena sesak napas, namun kerabat di pemakamannya menemukan tanda hitam di dadanya. Razzaq tidak berencana mengajukan pengaduan ke polisi karena "anak saya tidak akan pernah kembali". 

“Putra saya satu-satunya,” katanya, “saya tidak pernah bermimpi kehilangan dia seperti ini.”

Related

News 5801707676322682106

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item