Kronologi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pada 43 Santri di Agam (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kronologi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pada 43 Santri di Agam - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Apa keterangan kepolisian?

Dalam konferensi pers yang digelar 27 Juli silam, Kapolresta Bukittinggi, Kombes Yessy Kurniati, mengatakan pihaknya menangkap RA setelah menerima laporan pada 22 Juli. Hasil dari pemeriksaan lebih lanjut, kata Yessy, korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh RA tak hanya satu, namun mencapai 30 santri laki-laki.

“Kemudian kami melakukan pemeriksaan terhadap korban, ternyata didapatkan juga informasi dari korban tersebut bahwa mereka juga mendapat perlakuan yang sama atau perlakuan cabul dari salah satu guru yang lain,” terang Yessy dalam konferensi pers.

Setelah itu, guru pesantren dengan inisial AA ikut ditangkap. Yessy menyebut sebanyak sepuluh santri menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh AA.

Tindakan pencabulan ini, kata Yessy, diduga telah dilakukan sejak 2022 silam dengan modus minta dipijat oleh para santri. Di saat itulah, menurut Yessy, dugaan tindakan pencabulan terjadi.

“Kalau anak tersebut tidak mau, diancam tidak ada kelas,” terang Yessy.

Dalam perkembangan terbaru, Polresta Bukittinggi mengungkap bahwa jumlah korban bertambah menjadi 43 santri.

"Korban baru ini didapat dari hasil pemeriksaan saksi dan tersangka," ujar Kasi Humas Polresta Bukittinggi, Iptu Marjohan.

Sementara Wakil Kepala Satuan Reskrim Polresta Bukittinggi, AKP Anidar, mengungkap pihaknya telah melakukan visum terhadap tujuh santri yang mengaku sebagai korban dugaan pelecehan seksual tersebut.

"Data kemarin sudah tujuh orang kami lakukan visum dan hasilnya akan keluar dalam sepekan ke depan," kata Anidar, Kamis (01/08).

Dia menambahkan, kedua guru santri itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan pasal 82 ayat 2 junto pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Apa tanggapan pihak pesantren dan pendamping korban?

Juru Bicara MTI Canduang, Khairul Anwar, menegaskan pihaknya telah menangani kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan pengajar dan santrinya dengan “sangat serius”.

"Kami dari pihak MTI Canduang sangat serius dalam menangani kasus ini dan kami selalu berkoordinasi dengan kepolisian untuk terus mendalaminya," katanya.

Menurutnya, bukti keseriusan pihak MTI Canduang dalam hal ini adalah dengan membongkar kasus tersebut dan tidak menutup-nutupi apa yang terjadi. Khairul mengklaim MTI Canduang telah mengambil langkah-langkah seperti mengundang orang tua santri hingga membuka posko pengaduan.

"Kami sudah membentuk tim investigasi internal. 40 korban itu hasil tim investigasi internal kami, awalnya hanya lima orang," katanya, seraya menambahkan dari 40 korban tersebut tiga di antaranya diduga mengalami tindak sodomi, sementara 37 lainnya diduga menjadi korban pelecehan seksual.

“Kami bentuk tim hukum 10 orang dari pengacara dan alumni. Kami evaluasi proses pembelajaran di luar sekolah yang ada di asrama," ujar Khairul kemudian.

Khairul menambahkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan jaringan psikolog untuk melakukan pemeriksaan dan pendampingan psikologi terhadap para korban.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Agam, Surya Wendri, mengatakan pihaknya telah turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan psikologis.

Pihaknya juga melakukan pendampingan, termasuk mendampingi korban saat pemeriksaan di Polresta Bukittinggi.

"Tim nantinya akan mendampingi seluruh korban untuk menghilangkan traumanya. Tetapi ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama," ujar Surya, Kamis (01/08).

Trauma dan stigma negatif

Kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengakui bahwa kliennya mengalami trauma yang sangat mendalam usai kejadian pahit yang dialami. Bahkan, ketika mendengar nama MTI Canduang, “dia langsung menangis”, kata Masrizal.

Santri tersebut akhirnya memilih untuk berhenti bersekolah di MTI Canduang, kata Masrizal. Dia berharap, kliennya mendapatkan penyembuhan trauma sehingga dapat kembali melanjutkan sekolah dan menjalani kehidupan normal. Akan tetapi, klaim Masrizal, ternyata tak mudah mendapatkan pesantren baru untuk menimba ilmu.

"Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI Canduang," ungkap Masrizal.

Hal itu, kata Masrizal, tak lepas dari stigma negatif bahwa “korban pelecehan seperti ini biasanya akan mencari korban baru”.

Menanggapi hal tersebut, Surya Wendri dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Agam, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pendampingan hingga korban dapat melupakan kejadian pahit yang telah menimpa 40 korban tersebut.

"Yang terpenting di sini adalah memutus mata rantai kemungkinan korban menjadi pelaku dalam kejadian-kejadian selanjutnya," tutupnya.

Sosiolog dari Universitas Andalas di Sumatra Barat, Indah Sari Rahmaini, mengungkapkan bahwa “stigma negatif memang akan didapatkan oleh korban pelecehan seksual, khususnya di Minangkabau”.

Akibat stigma negatif itu, kata Indah, korban merasa terisolasi dari masyarakat dan merasa dipermalukan. "Hal inilah yang membuat sebuah kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah dan kampus sulit untuk terungkap," ungkap Indah.

Ia menegaskan, seharusnya masyarakat bisa memahami bahwa "kasus pelecehan seksual bukanlah aib bagi korban", tetapi "sebuah tindakan kejahatan yang harus diberantas".

Pandangan terhadap korban pelecehan seksual itu menurutnya harus dimulai dari level keluarga, teman sebaya, dan masyarakat seperti tokoh-tokoh adat, alim ulama, cadiak pandai.

"Orang tua juga tidak boleh memberikan stigma negatif terhadap korban. Mungkin saja, perlakuan yang didapatkan oleh anak tersebut terjadinya karena adanya ancaman," katanya.

Lebih jauh, Indah menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban pelecehan seksual tersebut tidak hanya merupakan tugas negara, tetapi seluruh masyarakat.

"Karena korban ini kan hidup di tengah masyarakat, tentunya masyarakat tidak seharusnya memberikan stigma negatif terhadap korban," tutupnya.

Related

News 2926726426886763719

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item