Kronologi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pada 43 Santri di Agam (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2024/08/kronologi-kasus-dugaan-kekerasan.html
Puluhan santri laki-laki menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dua pengajar di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Kepolisian telah menetapkan dua guru pesantren sebagai tersangka. Namun trauma mendalam dan stigma dialami oleh salah satu korban, menurut kuasa hukumnya.
Kasus dugaan kekerasan seksual ini terungkap ketika kepolisian di Bukittinggi menerima laporan dari salah satu wali murid pada Juli silam. Polisi kemudian menangkap dua terduga pelaku berinisial RA, pria berusia 29 tahun, dan AA, pria berusia 23 tahun.
Dalam perkembangan terbaru, jumlah korban dugaan pencabulan terhadap santri laki-laki bertambah menjadi 43 dari sebelumnya 40 orang.
"Korban hingga Jumat (02/08) bertambah jadi 43 orang. [Tiga] korban baru ini didapat dari hasil pemeriksaan saksi dan tersangka," ujar Kasi Humas Polresta Bukittinggi, Iptu Marjohan, Jumat (02/08).
MTI Canduang – pesantren setingkat sekolah menengah pertama (SMP) tempat terjadinya dugaan kekerasan seksual – menegaskan pihaknya “sangat serius” menangani kasus ini dan “tidak menutup-nutupi apa yang terjadi”.
Upaya yang dilakukan adalah membentuk investigasi internal. Hasilnya, menurut MTI Canduang, tiga di antara 40 korban diduga mengalami sodomi, sementara 37 lainnya diduga mengalami pencabulan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Agam kini melakukan pendampingan dan penyembuhan trauma terhadap para korban
Namun kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengklaim kliennya tak hanya mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Setelah memutuskan keluar dari MTI Canduang, kata Masrizal, kliennya kesusahan mendapatkan sekolah baru.
“Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI Canduang," ujar Masrizal, Kamis (01/08).
Bagaimana kronologi versi korban?
Masrizal menuturkan keterangan yang ia dapatkan dari kliennya mengenai dugaan pelecehan seksual yang dialami hingga terungkapnya kasus tersebut. Ia mengklaim apa yang dialami kliennya berawal pada pertengahan Juni silam.
"Kejadian itu berawal saat pelaku dengan inisial RA meminta untuk diurut oleh klien saya ini bersama seorang temannya sekitar pukul 01.00 WIB. Biasanya, mereka memang sering diminta untuk mengurut gurunya itu," kata Masrizal.
Menurut keterangan korban yang disampaikan melalui kuasa hukum Masrizal, biasanya RA minta diurut dalam durasi yang lama, tapi malam itu yang bersangkutan hanya meminta sebentar.
Alih-alih, kata Masrizal, guru pesantren tersebut meminta klien dan temannya untuk tidur di ruang tamu kamar pembina pesantren tersebut. Di situlah dugaan tindak pencabulan terjadi, klaim Masrizal.
"Klien saya ini langsung memberontak dan melakukan perlawanan kepada pelaku, dan pelaku langsung mengancam keduanya," lanjutnya.
Mendapatkan hardikan tersebut, kata Masrizal, keduanya hanya terdiam dan membiarkan pelaku melakukan aksinya.
Tidak hanya dipaksa untuk melakukan hal senonoh, Masrizal mengklaim kedua santri itu juga diancam oleh pelaku untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada siapapun.
"Pelaku ini bahkan meminta keduanya untuk bersumpah atas nama Allah agar tidak melaporkan kejadian itu kepada siapa pun," katanya.
Selang sepekan, RA kembali melakukan hal yang sama dengan modus yang sama dan di tempat yang sama pula, klaim Masrizal.
Merasa sudah tidak tahan lagi dengan ancaman dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh RA, Masrizal mengungkap bahwa kliennya memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya.
"Klien saya ini menghubungi orang tuanya untuk meminta pindah dari asrama dan memilih untuk ngekos di luar asrama tersebut. Tetapi orang tua yang tidak menyadari ada hal yang salah, meminta agar dia tetap di asrama, karena khawatir akan pergaulan bebas di luar asrama," katanya.
Selang tiga hari, menurut Masrizal, kliennya kembali menghubungi orang tuanya, namun mereka tak kunjung mengabulkan permintaannya.
Pada 11 Juli sekitar pukul 03.00 WIB, Masrizal mengklaim RA kembali meminta kliennya untuk memijatnya. Masrizal mengklaim kliennya waswas dan takut hal yang sama akan terulang lagi, sehingga kliennya sempat menolak permintaan namun sang guru memaksanya.
Selang beberapa hari setelah kejadian tersebut, kata Masrizal, kliennya merasa sudah tidak tahan lagi dan sangat takut bertemu dengan RA. Pada 21 Juli silam, kliennya akhirnya menghubungi orang tuanya dan menceritakan kejadian yang dialami.
Mendengar pernyataan itu, sang ayah syok dan memintanya segera melarikan diri dari pesantren. Dalam pelariannya, kata Masrizal, kliennya berjalan kaki menuju Kota Bukittinggi yang berjarak kurang lebih 10 kilometer. Di sana, ia menghubungi salah seorang teman kakaknya untuk menjemputnya.
"Setelah ditemukan oleh kakaknya, klien saya ini langsung menceritakan semuanya dan langsung menuju Polresta Bukittinggi untuk melaporkan kejadian yang dialaminya," katanya.
Menurut Masrizal, setelah adanya laporan yang dibuat oleh kliennya tersebut, pelaku RA sempat membantah dan menyatakan bahwa itu merupakan fitnah dan pencemaran nama baik.
Baca lanjutannya: Kronologi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pada 43 Santri di Agam (Bagian 2)