Keluarga Korban Penculikan 97-98 Klaim Diberi Uang Rp1 Miliar (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2024/08/keluarga-korban-penculikan-97-98-klaim_01410909019.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Keluarga Korban Penculikan 97-98 Klaim Diberi Uang Rp1 Miliar - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Salah satu keluarga korban yang hadir dalam pertemuan itu, Paian Siahaan – ayah Ucok Siahaan, aktivis yang hilang pada 1998 – mengakui bahwa dirinya dan keluarga lain menerima uang. Namun, Paian enggan mengatakan jumlahnya.
”Memang dikasih [uang], artinya itu kan ada hati nuraninya Pak Prabowo, mungkin melihat kasihan orang ini sudah lama berjuang, 25 tahun, ada yang sudah rentan, sakit-sakitan.”
“Seperti saya sendiri, istri saya kan baru meninggal. Itu adalah dampak daripada kasus ini kan. [Uang] ini adalah seperti tali asih. Kasihan lah orang ini sudah lama berjuang kok tidak ada apa namanya pemberian, perjuangannya belum jelas,” ujar Paian.
Selain itu, dia menegaskan walaupun diberi uang, tidak ada kesepakatan agar keluarga berhenti menuntut keadilan.
”Tidak ada juga seperti menandatangani sesuatu bahwa dengan adanya ini [uang] menjadi kasus ini tidak dilaksanakan, atau keluarga tidak ada lagi menuntut kasus ini,” ujarnya.
‘Dijebak, memanfaatkan kemiskinan korban’
Zaenal menegaskan bahwa Ikohi tidak mengetahui dan terlibat dalam pertemuan di sebuah hotel elit di Jakarta itu. Dia menjelaskan para keluarga korban dihubungi dan diundang secara langsung oleh Mugiyanto satu per satu, dengan mengatasnamakan acara ‘temu kangen Ikohi’. Setiap keluarga pun difasilitasi keberangkatan hingga kepulangannya.
“Mugiyanto yang berperan dari pengundangan, kedatangan, hingga pertemuan. Keluarga korban ini tahunya pertemuan itu kepanjangan program PP HAM dan Mugiyanto sebagai bagian dari Kantor Staf Presiden,” katanya.
“Tapi keluarga ini dijebak, mereka tidak tahu kalau diundang untuk bertemu dan diberikan uang oleh tim Prabowo. Motifnya saya duga Mugiyanto memanfaatkan kemiskinan keluarga korban untuk mendapatkan sesuatu,” katanya.
Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson, mengatakan tidak menyalahkan keluarga korban yang menerima apa yang dia sebut sebagai ‘mahar perdamaian‘.
“Perjuangan panjang yang melelahkan, ketidakpastian, usia yang makin menua dan sakit sakitan, serta biaya hidup semakin tinggi membuat korban tak bisa menolak ketika diberi ‘mahar perdamaian‘".
“Tanggung jawab harus ditujukan pada broker politik yang memanfaatkan kemiskinan ini dalam politik transaksional… Celah kerentanan struktural keluarga korban ini lalu dimanfaatkan oleh Mugi [Mugiyanto] untuk dijadikan transaksi ‘politik impunitas’ dengan Dasco, Ketua Harian Partai Gerindra, yang dipimpin Prabowo Subianto,” katanya.
Wilson mengatakan, pola transaksional seperti ini bukanlah hal baru dalam penyelesaiaan pelanggaran HAM berat. Dia merujuk juga ke kasus Tragedi Talangsari, Lampung, dan tragedi Tanjung Priok.
Senada, Adik kandung Wiji Thukul, Wahyu Susilo, mengatakan pertemuan itu adalah “manuver yang culas dari segelintir orang yang sudah tidak konsisten dalam upaya perjuangan orang hilang seperti Mugiyanto.”
“Dari investigasi yang dilakukan oleh teman-teman Ikohi, Ikohi juga dicatut namanya. Keluarga-keluarga itu diberangkatkan secara diam-diam, diintimidasi untuk tidak boleh menginformasikan bahkan kepada keluarganya sendiri dan tentu kepada Ikohi karena pertemuan ini memang tidak masuk akal membicarakan persoalan rekonsiliasi dengan Prabowo,“ kata Wahyu.
Wahyu pun menegaskan, pertemuan tersebut tidak merepresentasikan konsistensi keluarga korban yang terus menuntut pertanggungjawaban Prabowo dalam kasus orang hilang.
Namun tudingan itu dibantah oleh Paian Siahaan, yang sekitar sebulan lalu menggugat Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, terkait penganugerahan pangkat istimewa, berupa Jenderal TNI Kehormatan Bintang Empat kepada Prabowo Subianto.
Paian mengklaim bahwa dia dan keluarga yang hadir di pertemuan itulah yang meminta ke Mugiyanto untuk dipertemukan dengan Prabowo.
“Itu keinginan kami untuk bertemu Pak Prabowo. Kami ingin menanyakan apakah kebijakan Pak Jokowi yang dituangkan dalam Keppres dan Inpres untuk menyelesaikan kasus ini, salah satunya secara non-yudisial, dilanjutkan [Prabowo] atau tidak… Jadi tidak relevan kalau menganggap kami mengkhianati perjuangan,” kata Paian.
Dalam pertemuan itu, katanya, juga dibicarakan proses penyelesaian non-yudisial, seperti pemberian bantuan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perumahan.
”Kami sebagai keluarga korban yang telah jungkir balik minta keadilan. Bayangkan, dia [Prabowo] lima tahun ke depan memerintah. Kalau dia tidak ada kebijakan nanti atau pun tidak melaksanakan apa yang telah dibuat Pak Jokowi, kan kami juga yang menderita,” tambahnya.
Saat ditanya terkait tudingan itu, Mugiyanto tidak memberikan jawaban yang konkret namun melalui pesan singkat dia menulis: “Sebentar ya Mas. Nanti kalau waktunya pas, dalam waktu dekat, kami akan sampaikan klarifikasi,” ujarnya.
BBC News juga telah menghubungi sejumlah pengurus Partai Gerindra, termasuk Dasco dan Habiburokhman, untuk meminta tanggapan terkait dugaan pembagian uang tersebut. Namun hingga artikel ini diterbitkan mereka tidak memberikan tanggapan.
‘Silaturahmi kebangsaan‘
Dalam akun Instagramnya, Dasco membagikan beberapa foto hasil pertemuannya dengan 14 keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Dasco menyebut pertemuan itu sebagai silaturahmi kebangsaan.
Dasco juga menyebut 14 keluarga korban yang hadir, yaitu “Fitri Wani (anak Wiji Tukul), Keluarga Aan Rusdianto, aktivis 98, Ibu Heni (kakak Herman Hermawan, aktivis 98), Ibu Hera (kakak Herman Hermawan, aktivis 98), Ibu Fatah (ibunda Gilang, aktivis 98), Aan Rusdianto (aktivis 98).
“Pak Utomo (ayah Bimo Petrus, aktivis 98), Hakim (anak Dedi Hamidun, Aktivis 98), Suyadi (kakak Suyat, aktivis 97), Paiyan Siahaan (Ayah Ucok Siahaan, aktivis Mei 98), Ayah Mugiyanto dan Mugiyanto (aktivis '98), Nina (adik Yadin, aktivis 98), dan Navila (anak Nova Alkatiri, aktivis 97).“
Baca lanjutannya: Keluarga Korban Penculikan 97-98 Klaim Diberi Uang Rp1 Miliar (Bagian 3)