Program Makan Gratis Prabowo-Gibran Dikhawatirkan Ekonom (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2024/07/program-makan-gratis-prabowo-gibran_01431057791.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Program Makan Gratis Prabowo-Gibran Dikhawatirkan Ekonom - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Ada banyak hal yang mesti disiapkan pemerintahan Prabowo Subianto untuk menerapkan program ini, termasuk desain kelembagaannya, kata Tauhid.
Maksudnya, pemerintah mesti menentukan kementerian atau lembaga yang bertugas memimpin pelaksanaan program dan mengelola anggaran, bentuk keterlibatan pemerintah daerah atau masyarakat, serta model koordinasi antara seluruh pihak yang terlibat dalam prosesnya.
Apalagi, kata Tauhid, program makan bergizi gratis terkait dengan kerja-kerja banyak kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Bulog.
Untuk itu, pemerintah perlu menerbitkan berbagai regulasi, termasuk dalam bentuk peraturan menteri, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan, dan lainnya.
"Persiapan kelembagaan saja mungkin butuh waktu setengah tahun," kata Tauhid. "Perubahan nomenklatur kementerian dan lembaga, birokrasi, pejabat, dan sebagainya itu kan enggak langsung."
Selain itu, pemerintahan Prabowo harus menentukan target prioritas program makan bergizi gratis serta membangun rantai pasok pengadaan makanan yang dapat mendorong pertumbuhan industri pangan dan pertanian lokal, kata ekonom senior Hendri Saparini.
Sebelumnya, Dradjad Wibowo yang sempat menjadi anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo mengatakan target prioritas program ini adalah anak-anak sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Namun, Hendri bilang mereka yang tinggal di daerah 3T belum tentu bergizi buruk. Di sisi lain, ada pula anak-anak di wilayah tertentu di Pulau Jawa yang mengalami masalah gizi.
Karena itu, katanya, perlu dilakukan pemetaan berdasarkan indikator yang jelas untuk menentukan target prioritas program, entah berdasarkan prevalensi gizi buruk, pemasukan keluarga, atau tingkat kemiskinan di suatu daerah. Ini diperlukan agar program makan bergizi gratis tepat sasaran dan tidak terjadi kesenjangan atau bahkan konflik di masyarakat.
"Seperti program BLT [Bantuan Langsung Tunai], ada yang tetangganya dapat, tapi dia tidak dapat," kata Hendri, pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. "Itu akan menciptakan konflik."
"Kalau BLT kan tiga bulan sekali ributnya. Karena ini program makan siang, bisa tiap hari [ributnya]."
Terkait rantai pasok, Hendri mengatakan pemerintah harus memberdayakan para petani dan produsen makanan lokal dalam menyediakan makanan gratis.
Dengan begitu, katanya, program ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif alih-alih hanya mengandalkan dan memberikan keuntungan bagi para perusahaan besar. Pemerintah pun disebut bisa menekan impor dan menghemat belanja.
Tauhid sepakat dengan Hendri. Untuk menekan ongkos, pemerintah idealnya membangun sistem produksi pangan lokal di daerah-daerah yang jadi sasaran program, kata Tauhid.
Masalahnya, lagi-lagi itu semua butuh waktu. Karena itu, jangan-jangan pemerintahan Prabowo akan berkutat menyiapkan sistem produksi dan rantai pasok yang tepat di tahun pertama penerapan program makan bergizi gratis, kata Tauhid.
Bagaimana dampak program makan gratis ke APBN?
Meski dana Rp71 triliun untuk tahun pertama program makan bergizi gratis relatif kecil dibanding estimasi Rp460 triliun bila ia telah berjalan sepenuhnya, angka ini tetap menarik perhatian publik.
Sebagai perbandingan, untuk 2024, Kementerian Sosial mendapat alokasi dana Rp78,05 triliun untuk menjalankan seluruh program perlindungan sosialnya, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial sembako.
Maka, dana awal untuk program makan bergizi gratis sudah setara 90% dari alokasi belanja perlindungan sosial Kementerian Sosial. Alokasi belanja beberapa kementerian bahkan lebih kecil dari dana awal program makan bergizi gratis.
Pada 2024, proyeksi belanja Kementerian Keuangan dan Kementerian Perhubungan, misalnya, masing-masing "hanya" Rp48,7 triliun dan Rp38,6 triliun. Tauhid Ahmad, ekonom senior INDEF, bilang ada sejumlah risiko yang membayangi hadirnya program makan bergizi gratis di 2025.
Jika penerimaan negara pada tahun itu tak sesuai harapan, lalu program makan bergizi gratis membutuhkan dana lebih besar dari perkiraan, defisit anggaran dikhawatirkan membengkak dan pemerintah terpaksa memotong dana belanja sejumlah kementerian dan lembaga atau program-program lainnya.
"Kalau dia menggerogoti kementerian dan lembaga lain, ya kasihan kementerian dan lembaga yang sudah berjuang, turun anggarannya dari 2024 ke 2025," kata Tauhid. "Padahal kementerian dan lembaga itu [punya tugas] penting untuk misalnya mendorong growth, stabilisasi harga, dan sebagainya."
Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, juga mempertanyakan alokasi dana Rp71 triliun yang bisa jadi lebih tepat digunakan untuk program-program lainnya.
"Apakah Rp71 triliun ini paling tepat untuk dialokasikan ke makan bergizi gratis? Karena kita memiliki berbagai program yang urgent lainnya, seperti untuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur," kata Riefky.
Untuk saat ini, Riefky menilai alokasi dana Rp71 triliun masih relatif aman dan tidak akan "membuat jebol defisit APBN". Lain halnya bila program tersebut telah berjalan sepenuhnya dan benar-benar menghabiskan dana lebih dari Rp400 triliun setahun.
"Kalau sebesar itu tentu akan memberatkan APBN," kata Riefky.
Untuk menyiasati hal ini, pemerintahan Prabowo Subianto kelak bisa saja memangkas belanja untuk proyek peninggalan Presiden Joko Widodo yang tidak lagi dianggap prioritas, kata ekonom senior Hendri Saparini.
Dana program bantuan sosial sembako pun bisa dialihkan sebagian ke program makan bergizi gratis karena fungsinya yang mirip, katanya.
Menanggapi komentar sejumlah ekonom tersebut, Dradjad Wibowo yang sempat menjadi anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo mengatakan, "Kekhawatiran itu tidak berdasar."
"Anggarannya tidak akan memberatkan APBN karena diambil dari sumber penerimaan tambahan," kata Dradjad, seraya memberi contoh tambahan penerimaan perpajakan dan non-pajak yang menurutnya akan datang dari upaya "penyempurnaan digitalisasi".
"Rp71 triliun itu sudah mengikuti ruang fiskal yang tersedia. Tidak ada rencana melakukan realokasi dari anggaran subsidi yang sudah ada."
Di sisi lain, Hendri menyerukan agar pemerintah tidak cuma mengandalkan APBN untuk mendanai program makan bergizi gratis. Menurutnya, pemerintah bisa membuka peluang kolaborasi dengan BUMN, perusahaan swasta, atau LSM untuk membantu mendanai program makan bergizi gratis bagi kelompok masyarakat di daerah tertentu.
"Harus ada cara-cara agar ini betul-betul menjadi program bersama," kata Hendri. "Jangan dibebankan semuanya itu kepada APBN."