Pakar dan Aktivis Pertanyakan Rencana Pemblokiran X (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pakar dan Aktivis Pertanyakan Rencana Pemblokiran X - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pasal 19 dari ICCPR mengatur bahwa pembatasan akan kebebasan berekspresi hanya bisa dilakukan bila memenuhi tiga syarat: pembatasan itu diatur dalam undang-undang, memiliki tujuan yang sah, dan benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat yang demokratis.

Terkait syarat ketiga, kata "dibutuhkan" berarti harus ada kebutuhan sosial yang mendesak untuk menjustifikasi pembatasan tersebut, dan pembatasan mesti dilakukan secara proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai.

"Dari dulu, blanket censorship atau memblokir satu website keseluruhan, satu platform media sosial keseluruhan, atau melakukan internet shutdown itu enggak pernah dibenarkan karena tidak proporsional, karena berlebihan," kata Alia, yang juga tergabung dalam TaskForce KBGO sebagai pendamping.

Sepanjang 2023, praktik doksing serta penyebaran foto dan video intim non-konsensual paling banyak terjadi di media sosial Instagram dan X, menurut data yang diolah TaskForce KBGO dari laporan korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) pada tahun tersebut.

Dari sana, bisa dikatakan memang ada tujuan yang sah untuk melakukan pembatasan kebebasan berekspresi di X. Masalahnya, kata Alia, adalah di bentuk pembatasannya, yaitu pemblokiran akses secara menyeluruh.

Dengan pemblokiran menyeluruh terhadap X, Alia bilang pemerintah juga otomatis menutup akses ke platform yang telah menjadi ruang tumbuhnya berbagai gerakan sosial, pun tempat banyak korban atau penyintas kekerasan seksual berani bersuara.

Senada, Nenden dari SAFEnet bilang X telah menjadi wadah bagi suara-suara kritis yang sering kali efektif untuk meramaikan dan mempercepat penanganan sebuah kasus atau bahkan mengubah kebijakan – meski kebijakan berbasis viralitas juga tidak melulu baik.

"Karena [akses ke] platformnya, wadahnya ditutup, ruang sipil juga semakin menyempit dan orang-orang jadi kehilangan platform yang selama ini merupakan tempat buat mereka bisa berekspresi, menyampaikan opini atau pendapat," kata Nenden.

"Jadi [pemblokiran ini] seperti mau mencari tikus di lumbung padi, tapi satu lumbungnya dibakar."

Apa solusi yang ideal?

Alih-alih langsung memblokir akses ke X, lebih baik pemerintah mendorong platform itu agar menyediakan mekanisme pelaporan konten yang lebih memadai, kata Alia Yofira dari TaskForce KBGO.

Selama ini, saat TaskForce KBGO menemukan penyebaran foto dan video intim non-konsensual di X, langkah yang diambil adalah melakukan pelaporan massal. Dengan ramai-ramai melaporkan, diharapkan X dapat lebih cepat mengambil tindakan, entah menurunkan konten terkait atau menangguhkan akun penyebarnya.

Bila tidak begitu, kata Alia, proses penanganan kasusnya cenderung lama dan, ujung-ujungnya, X pun kerap menolak laporannya.

Menurut Alia, Indonesia bisa mencontoh Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, yang mengatur kebijakan soal "trusted flaggers" atau "pelapor terpercaya". Pelapor terpercaya di sini adalah pakar yang bertugas mendeteksi peredaran konten ilegal daring dan melaporkannya kepada platform terkait.

Platform digital harus memprioritaskan penanganan laporan dari pelapor terpercaya, yang diharapkan lebih akurat dibanding laporan dari pengguna biasa. 

"Itu bisa kita mirror di Indonesia," kata Alia. "Misalnya, laporan lembaga pengada layanan yang mendampingi korban KBGO bisa diberikan secara langsung ke platform biar cepat ditanggapi dan kontennya segera di-take down."

Apalagi, kata Alia, sulit untuk mengandalkan polisi untuk menangani kasus KBGO, entah karena minimnya perspektif gender atau masih kentalnya budaya menyalahkan korban di antara para penegak hukum di Indonesia.

"Lapor polisi itu ibaratnya jalur terakhir," ujar Alia.

Di sisi lain, Nenden Sekar Arum dari SAFEnet mendorong aparat penegak hukum untuk menggencarkan upaya membongkar dan menindak sindikat pelaku kekerasan seksual, termasuk yang kerap melakukan sekstorsi atau pemerasan dengan ancaman penyebaran konten seksual.

Sepanjang 2023, Komnas Perempuan mencatat 1.697 pengaduan kasus KBGO. Dari angka itu, 821 kasus di antaranya masuk ranah personal, dan 549 dilakukan oleh mantan pacar korban.

"Sekstorsi atau pemerasan seks, revenge porn atau penyebaran materi bermuatan seksual sebagai balas dendam, dan penyebaran materi tanpa izin adalah jenis tindakan yang sering dilaporkan, selain juga terkait dengan pinjaman online," kata Komnas Perempuan.

Nenden dan Alia sepakat perlu ada upaya lebih dari pemerintah untuk meningkatkan literasi digital dan memperkenalkan perspektif gender sejak dini, termasuk di sistem pendidikan formal Indonesia.

Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat lebih bijak memilih konten daring yang akan dikonsumsi serta memahami konsep consent atau persetujuan sebelum merekam dan menyebarkan sesuatu.

Di sisi lain, orang tua memainkan peran penting untuk mencegah anak-anak terpapar konten dewasa sebelum waktunya dan melindungi mereka agar tidak menjadi korban kekerasan seksual, termasuk KBGO, kata Seto Mulyadi, psikolog sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Pertama-tama, kata Seto, orang tua jangan terburu-buru memberikan gawai seperti ponsel pintar kepada anaknya. "Paling cepat itu tujuh tahun menurut saya," kata Seto.

Di usia tujuh tahun, saat anak baru masuk SD, logika dan kecerdasan emosinya disebut mulai berkembang sehingga sudah bisa menahan diri atau mempertimbangkan mana yang baik dan buruk.

Sejak dini, orang tua pun diharapkan membangun komunikasi yang baik dengan anaknya. Ini bisa dimulai dengan aktivitas rutin sederhana seperti mendongeng, yang disampaikan dengan menarik dan kreatif, kata Seto.

Sedari anak TK, orang tua pun bisa mulai mengalokasikan waktu, misalnya setiap akhir pekan, untuk sesi "rapat keluarga". Saat itu, anak dibiasakan menyampaikan keluh kesahnya, sementara orang tua belajar untuk mendengarkan sembari membahas bersama penyelesaian untuk berbagai masalah sehari-hari.

Ketika komunikasi telah terbangun dengan baik, akan lebih mudah bagi orang tua untuk membahas isu-isu penting saat anak beranjak remaja dan dewasa, entah yang terkait pubertas, paparan konten pornografi, ataupun strategi bermedia sosial yang bijak.

Tak hanya itu, melalui LPAI, Seto juga mendorong pembentukan Seksi Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga (Sparta) di dalam kepengurusan RT.

Sejak 2014, ada lima kabupaten/kota di Indonesia yang telah membentuk Sparta, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Banyuwangi, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bitung.

Sparta diharapkan dapat memfasilitasi pertemuan rutin para orang tua di satu lingkup RT untuk mengecek keadaan anak-anak di sana serta saling mengingatkan dan berbagi soal langkah perlindungan yang tepat, kata Seto.

"Itu untuk mengontrol juga supaya anak terlindungi, baik supaya tidak ikut geng motor, seks bebas, atau narkoba, dan termasuk juga bahaya dari media sosial," ujar Seto.

"Jadi artinya itu pemerintah bertindak, iya, tapi jangan sampai masyarakat tidak digerakkan."

Related

News 9136053049744092044

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item