Kisah Warga Keturunan Tionghoa Usai Kerusuhan Mei 1998 (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Warga Keturunan Tionghoa Usai Kerusuhan Mei 1998 - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Beberapa warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi diaspora pasca 1998 enggan diwawancarai untuk artikel ini.

Candra Jap, sekjen Generasi Muda Perhimpunan Indonesia Tionghoa, menyebut Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka yang terlalu dalam sehingga mereka tidak membicarakan lagi.

“Di sisi lain, sepertinya sampai hari ini tidak ada kejelasan siapa yang harus diminta bertanggung jawab,” ujar Candra.

“Mereka berusaha menghilangkan luka dan trauma menyakitkan sampai tidak mau lagi mengingat Indonesia,” tambah Candra menanggapi generasi seperti Christopher yang hanya mengenal negara tempat mereka tumbuh sebagai rumah mereka.

Marissa (bukan nama sebenarnya) ingat betul bagaimana di lingkungan tempat tinggalnya bermunculan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Milik Pribumi’ pada Mei 1998. Waktu itu umurnya baru 11 tahun dan dia ingat bagaimana keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah pembantu mereka di Bekasi, Jawa Barat.

Sekarang, Marissa, 38 tahun, bersama suaminya yang berkewarganegaraan AS dan kedua anaknya tinggal di Hangzhou, China. Mereka berencana pindah ke Taiwan.

Marissa mengaku meninggalkan Indonesia karena dia merasa “tidak pas” tinggal di Indonesia terutama karena menurutnya, “ada kerenggangan antara pribumi dan Chindo [Tionghoa-Indonesia]”.

“Sebagai keturunan Chinese Indonesian, kami sudah diajarkan bahwa pribumi dan Chinese Indonesian berbeda. Setidaknya untuk generasi saya. Seperti ada cuci otak dari keluarga kita,” ujar Marissa yang tidak setuju atas adanya celah ini.

Bahkan, menurut dia, masih ada temannya di China yang langsung menyalahkan ras pribumi apabila ada kasus yang bersinggungan dengan isu ini. “Saya rasa 1998 membuat segalanya makin parah.”

Apa makna kerusuhan Mei 98 dan Reformasi bagi mereka?

Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis Gentala Institute Indonesia, Christine Susanna Tjhin, mengatakan sebagai peneliti yang kebetulan risetnya terkait isu Tionghoa, keberagaman, dan hubungan Indonesia-China, kerusuhan Mei 1998 memang menjadi “titik balik”.

“Itu adalah desain politik zaman Orde Baru yang kemudian mencapai titik nadirnya, yang kemudian berimbas pada isu keberagaman dan etnis di Indonesia. Secara bersamaan ada Reformasi, ada langkah-langkah [perbaikan] yang kemudian diambil oleh pemerintah berikutnya,” jelas Christine.

Christine mengatakan kerusuhan Mei 1998 menciptakan trauma besar tak hanya bagi etnis Tionghoa di Indonesia, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia mengingat skala aksi anti-Tionghoa – mulai dari penjarahan, pembakaran rumah-rumah, dan pemerkosaan sedikitnya 85 perempuan Tionghoa – dalam peristiwa itu.

“Di satu sisi, kalau saya agak sinis gitu ya, melihatnya sebagai remedy of guilt, untuk mengobati rasa bersalah terhadap etnis Tionghoa,” ujarnya.

Namun dia kemudian menambahkan bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah titik balik bagi hubungan antar-etnis di Indonesia.

Setelah Reformasi – yang ditandai dengan lengsernya pemimpin Orde Baru Soeharto – upaya-upaya perbaikan untuk menghapus aturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa yang diberlakukan sejak masa Orde Baru mulai dilakukan. Antara lain, revisi Undang-Undang Kewarganegaraan, pencabutan larangan perayaan Imlek, pencabutan larangan penggunaan kata ‘Tionghoa’ dan Tiongkok’ dan lainnya.

“Di balik Reformasi yang secara menyeluruh itu ada upaya perbaikan tata kelola keberagaman di Indonesia terutama terkait hubungan antar-etnis,” jelas Christine.

“Itu menjadi titik balik kembali ke soal titik balik sejarah ini ya, karena interaksi itu menjadi lebih real gitu. Jadi ada interaksi yang memungkinkan kerja sama antara elemen-elemen masyarakat sipil yang dulu sama-sama diinjak oleh rezim,” ujarnya kemudian.

Pengalaman Christine pada Mei 1998, saat rumahnya jadi sasaran lemparan batu massa, membuatnya memilih kabur ke Australia. Kala itu, Indonesia sebagai negara yang rasis terpatri dalam dirinya.

Namun pergaulannya dengan mahasiswa Indonesia yang melek dengan dinamika politik Indonesia mengubah cara berpikirnya. Dengan hasrat untuk berpartisipasi dalam perubahan di Indonesia, Christine memutuskan kembali ke Indonesia.

“Bisa dibilang 98 buat saya itu kayak titik balik yang paling ekstrem yang kemudian akhirnya benar-benar mengubah jalan berpikir dan jalan hidup saya,” akunya.

Seperti banyak warga etnis Tionghoa lainnya, penulis buku Perkumpulan Anak Luar Nikah (diterbitkan Juni 2023), Grace Tioso, merasa era Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid menjadi masa ketika pemerintahan Indonesia benar-benar menunjukkan itikad baik terhadap kelompok minoritas.

Selain mengakui kerusuhan Mei 98 dan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi sebelum-sebelumnya, tindakan nyata lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, menurut Grace, adalah memasukkan sejarah mengenai kebijakan-kebijakan rasial dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ke dalam kurikulum sekolah.

“Harapannya adalah generasi penerus kita bisa belajar dari kesalahan para pendahulunya supaya tidak mengulanginya lagi. Seperti kata filsuf George Santayana, ‘Those who forget the past are condemned to repeat it’.”

Dalam bukunya, Perkumpulan Anak Luar Nikah, Grace mengupas pergulatan dan kehidupan diaspora khususnya Tionghoa-Indonesia di luar negeri yang tidak selamanya glamor.

“Sekaligus juga membuka mata banyak orang Indonesia bahwa Tionghoa Indonesia adalah kelompok yang sangat heterogen,” ujarnya.

Grace, yang kini tinggal di Singapura, berpendapat isu orang Tionghoa-Indonesia yang menjadi diaspora sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagus dari pemerintah Indonesia untuk merangkul dan memahami pergulatan para diaspora.

“Para diaspora ini hendaknya tidak dipandang sebagai kurang nasionalis melainkan seyogyanya dilihat sebagai kesempatan untuk memperkenalkan Indonesia di ranah internasional,” ujar Grace.

“Saya menyambut baik upaya pemerintah untuk memberikan kewarganegaraan ganda kepada para diaspora dan keturunan mereka. Lewat ini, para diaspora tetap bisa memberikan sumbangsih kepada Indonesia melalui pengalaman dan keterampilan mereka.”

Grace merujuk ke pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tentang wacana pemberian kewarganegaraan ganda bagi diaspora yang punya talenta pada awal Mei ini.

Kembali ke Christopher Wibisono Tan, yang tiga generasi keluarganya – kakek, ibu dan dirinya ketika masih bayi – menjadi sasaran kerusuhan Mei 1998, mengaku seiring beranjak dewasa, kian banyak pertanyaan yang diajukan begitu orang-orang tahu tentang latar belakangnya.

Saat ditanya mengenai harapannya ke depan sebagai generasi warga Indonesia keturunan Tionghoa yang tumbuh besar di luar negeri pasca 1998, Christopher dengan lugas menjawab: “Saya berharap mereka [pemerintah] tidak menghapus sejarah.”

“Seperti yang diutarakan tante saya [Astrid] dan disetujui ibu saya [Jasmine], saya setuju adanya reformasi edukasi.”

Related

News 5164166363031712062

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item