Kisah Warga Keturunan Tionghoa Usai Kerusuhan Mei 1998 (Bagian 1)


Banyak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa memutuskan kabur ke luar negeri setelah menjadi sasaran dalam kerusuhan Mei 1998. Sebagian memutuskan kembali ke Indonesia, tapi banyak dari mereka memilih menetap di luar negeri. Anak-anak mereka adalah apa yang disebut sebagai “generasi yang hilang”. Bagaimana mereka memaknai kerusuhan Mei 98 dan Reformasi?

Seperti banyak murid SD di Amerika Serikat, Christopher Wibisono Tan mendapat tugas presentasi ‘Sejarah Keluarga’ saat menginjak kelas enam. Di kelasnya, cuma Christopher yang kisahnya kelam: dia bercerita tentang rumah yang dibakar pada Mei 1998 dan bagaimana keluarganya kemudian hijrah ke Negeri Paman Sam.

“Guru saya lebih syok dibandingkan teman-teman sekelas. Dia melontarkan banyak pertanyaan setelah kelas berakhir,” ujar Christopher.

Usia Christopher baru 50 hari saat peristiwa kerusuhan Mei 1998 terjadi. Kala itu, tepatnya pada 13 Mei 1998, rumah ibunya, Jasmine Wibisono – putri sulung mendiang ekonom dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono – yang berlokasi di sebuah perumahan elite di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, dibakar massa. Rumah itu ludes terbakar.

Ketika peristiwa itu terjadi, oleh Ibunya, Christopher dan kakaknya dibawa pergi menyelamatkan diri. Keluarga ibunya memilih untuk pindah ke AS tak lama kemudian.

Hampir 26 tahun berlalu, tepatnya pada 12 Mei silam, Christopher baru saja menuntaskan studi di Fakultas Kedokteran di Virginia Commonwealth University di Richmond, Virginia.

Ia akan memulai praktiknya di Rumah Sakit Universitas Georgetown, Washington DC, pada 14 Juni, dengan spesialisasi di bidang neurologi. Dia adalah satu dari enam lulusan berprestasi di bidang neurologi yang diterima di program residensi Georgetown di seluruh AS.

Bagi keluarganya, ini sekaligus menjadi “momen lingkaran penuh” karena almarhum kakeknya – yang terkenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto – sempat menjadi mahasiswa kedokteran atas keinginan ayahnya sebelum menekuni bidang politik dan keadilan sosial.

Christopher menuturkan bahwa sebagai keturunan Indonesia-China yang tumbuh besar di AS, dia merasa punya tiga identitas yang berkelindan – Indonesia, Tionghoa, dan Amerika – menyebut sekarang ini dia “lebih Amerika”.

“Saya tidak merasa punya krisis identitas, tetapi saya juga tidak merasa cocok ke satu kelompok [saja],” ujar Christopher, yang mengaku hanya bisa sedikit berbicara Bahasa Indonesia.

Saat ditanya alasan dirinya menyanggupi permintaan wawancara, Christopher mengaku belum pernah ada yang memintanya bicara secara terbuka tentang topik ini.

“Dan sebagai seseorang yang, saya rasa menjadi korban dalam situasi itu dan pindah ke luar negeri tapi tumbuh besar di luar negara, saya bisa menawarkan perspektif baru,” ujarnya.

Ancaman pembunuhan

Pada Mei 1998, Jasmine dan kedua anaknya – Christopher dan kakaknya Christabelle yang baru berusia 17 bulan – sempat diminta ‘mengungsi’ ke lapangan golf karena situasi di kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk menjadi genting.

Jasmine mengatakan peristiwa Mei 1998 bukanlah pemicu keluarganya pergi ke luar negeri. Ancaman-ancaman pembunuhan yang terjadi setelahnya menjadi pemicu mereka memutuskan angkat kaki.

“Dalam surat disebut hal-hal seperti: ‘Bersyukurlah cuma rumah putrimu yang dijarah dan dibakar. Berikutnya keluarga kalian yang akan kami penggal dan hancurkan,” ujar Jasmine, menirukan ancaman dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya

Jasmine mengaku dia harus pindah 11 kali – termasuk di Singapura – sebelum sampai ke Portland, Oregon. Adiknya, Astrid Wibisono, sudah menantinya di rumah tante mereka. Astrid saat itu memang kebetulan sudah tinggal di Negeri Paman Sam untuk sekolah.

“Saat itu tidak ada Facebook, media sosial, bahkan telepon genggam tidak ada. Saya dan ayah saya berusaha membatasi penggunaan telepon karena ada kemungkinan disadap. Jadi [Astrid] pasti sangat cemas menanti kabar dari keluarga,” kenang Jasmine.

Di samping mengasuh kedua anaknya, Jasmine juga sempat menulis lepas untuk surat kabar Suara Pembaruan dan bekerja di pusat perbelanjaan Macy’s sebelum menggeluti minat utamanya, manajemen acara, selama 20 tahun terakhir.

“Indonesia adalah rumah kedua saya dan Amerika sekarang adalah rumah saya. Ini adalah negara yang memberikan saya keamanan pada saat saya membutuhkannya,” ujar Jasmine.

“Saya sudah moved on dari tragedi ini, tetapi saya tidak akan melupakannya. Saya rasa pemerintah Indonesia tidak boleh berkata ini adalah masa lalu. Kita perlu terus diingatkan bahwa ini tidak boleh terjadi lagi pada masa yang akan datang.”

Sebelas jam dari Washington D.C., Astrid Wibisono, 43 tahun, adik Jasmine yang sekarang menjalankan firma konsultan bisnis dan riset di Jakarta, mengatakan keponakannya, Christopher, pindah ke Amerika Serikat saat masih bayi sehingga negara itu adalah satu-satunya yang dikenalnya.

Ketika ditanya apakah Christopher generasi Indonesia “yang hilang”, Astrid sependapat.

“Untuk orang-orang yang memutuskan ke luar negeri dan tidak kembali [...] maka jelas itu generasi hilang. Tapi generasi hilang juga persoalan mental,” jelas Astrid. “Banyak orang di Indonesia yang tinggal di sini tapi tidak percaya kepada negara. Banyak yang harus dilakukan pemerintah untuk mengembalikan optimisme dan kepercayaan masyarakat.”

Astrid sempat kembali ke Indonesia bersama ayahnya untuk mengurusi bisnis keluarga bersama ayahnya. Dia kemudian kembali ke AS dan sempat pindah ke Kanada sebelum mulai menetap di Indonesia sejak tahun 2014.

Ditanya soal apakah dia merasa trauma, Astrid menjawab, “Saya tidak punya dendam akan masa lalu. [Tetapi] rasa tidak percaya akan terus membayangi harapan saya akan potensi negara ini,” ujarnya, seraya berharap pemerintahan selanjutnya bisa memenuhi kewajiban mereka sebagai pemenang pemilu.

Astrid berpendapat salah satu langkah konkret yang bisa diambil pemerintah Indonesia untuk mengembalikan rasa percaya itu adalah dengan mereformasi bidang pendidikan agar peristiwa kelam seperti Mei 1998 bisa diajarkan di kurikulum sekolah.

“Negara-negara lain punya momen-momen gelap. Jerman dengan Holokos, Amerika Serikat dengan perbudakan. Jangan menghapus atau mengubah [sejarah] sebab hanya dengan mengetahui dan mengakui kesalahan, kita bisa memperbaikinya,” ujar Astrid.

Baca lanjutannya: Kisah Warga Keturunan Tionghoa Usai Kerusuhan Mei 1998 (Bagian 2) 

Related

News 8723780215565580238

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item