All Eyes on Papua, dan Harapan Pelestarian Alam Papua (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (All Eyes on Papua, dan Harapan Pelestarian Alam Papua - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Boven Digoel, wilayah tempat Suku Awyu tinggal, adalah kabupaten dengan tingkat deforestasi tertinggi kedua di Papua selama periode itu. Setidaknya 51.000 hektare hutan di Boven Digoel telah gundul atau berubah fungsi, merujuk riset tersebut. Luas itu setara setengah area London.

Tidak ada data dari pemerintah yang tersedia untuk publik dan dapat dijadikan sebagai pembanding riset Pusaka.

Dari aspek kesehatan, berbagai data, termasuk yang dikeluarkan pemerintah juga memperlihatkan persoalan meluas dan menahun di Papua, seperti kasus gizi buruk, penularan HIV/AIDS, hingga kematian ibu melahirkan.

Sementara itu, persoalan hukum yang bersinggungan dengan isu politik juga disorot berbagai pihak. Aspirasi memerdekakan diri dari Indonesia dari tahun ke tahun terus bermunculan dari berbagai pihak di Papua.

Momentum yang dinantikan

Sekar Banjaran Aji, juru kampanye Greenpeace sekaligus advokat Suku Awyu di pengadilan, menyebut unggahan "All Eyes on Papua" adalah momentum yang selama ini dinantikan oleh seluruh pihak yang berkoalisi ”menyelamatkan hutan Papua”.

Sekar berkata, deforestasi di Papua masih terus berlangsung hingga saat ini. Pada 2021, kata Sekar merujuk data Greenpeace, deforestasi di Provinsi Papua meluas hingga 16.000 hektare.

Adapun, empat provinsi yang baru dibentuk pada 2022 disebut Sekar berpotensi kehilangan hutan, masing-masing sekitar 4.000 hektare dalam waktu dekat ini.

“Sebagai advokat, saya benci sekali menyebut bahwa kondisi hukum Indonesia saat ini jauh dari kata ideal,” ujar Sekar. “Oleh karenanya, dukungan publik lewat petisi, amicus curiae, dan desakan pada instansi penegak hukum serta pemerintah di media sosial menjadi sangat penting.” 

Sekar berharap, slogan “All Eyes on Papua” terus bergaung di media sosial sampai putusan kasasi sengketa masyarakat adat Awyu melawan PT. Indo Asiana Lestari keluar. Dia yakin, pembicaraan terus-menerus terkait slogan itu bisa mendorong Mahkamah Agung membuat putusan hukum yang adil.

Mengapa selama ini masyarakat Indonesia terkesan tidak peduli?

Unggahan “All Eyes on Papua" yang telah dibagikan jutaan kali adalah angin segar bagi orang-orang asli Papua, menurut Gispa Ferdinanda, perempuan muda asal Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Menurutnya, slogan yang viral itu bisa mendorong masyarakat untuk mengetahui berbagai persoalan Papua yang selama ini luput diperbincangkan publik.

Gispa berkata, Suku Awyu bukanlah satu-satunya kelompok adat yang tengah berupaya mempertahankan hak mereka di Papua. Seluruh orang asli Papua, menurut Gispa, menghadapi berbagai persoalan untuk bisa hidup “sesuai harkat dan martabat” di atas tanah mereka.

“Saya sebenarnya kecewa karena perlu waktu selama ini sampai akhirnya teman-teman di wilayah Indonesia lainnya bisa bersolidaritas dengan orang Papua,” kata Gispa.

“Mengapa teman-teman terkesan sangat sulit untuk bersimpati dan bersolidaritas pada persoalan yang kami alami? Padahal banyak orang bilang Papua adalah bagian dari Indonesia,” tuturnya.

Gispa berharap masyarakat tidak berhenti dengan membagikan unggahan “All Eyes on Papua” di media sosial, tapi juga mengedukasi diri dengan membaca kajian serta berita faktual terkait situasi di Papua.

“Teman-teman juga bisa mengikuti akun media sosial yang mengabarkan perjuangan orang asli Papua untuk kehidupan mereka,” ujarnya.

“Ini bukan tentang siapa yang harus paling dikasihani, tapi tentang bagaimana teman-teman bisa ikut bersolidaritas. Kami tidak ingin dikasihani. Kami ingin teman-teman ikut berbicara, membagikan apa yang kami perjuangkan, dan mendukung setiap langkah yang kami lakukan untuk hak hidup dan martabat kami,” kata Gispa.

Pemuda di Sentani, Kabupaten Jayapura, Terry Anderson, menyebut unggahan “All Eyes on Papua” yang viral sebagai aksi solidaritas yang positif karena menguatkan orang asli Papua.

”Persoalan yang kami hadapi banyak dan kompleks. Saya harap ini menjadi awal bagi orang di luar Papua untuk menyuarakan persoalan kami,” kata Terry.

Serupa dengan Gispa, Terry mendorong masyarakat untuk mempelajari sejarah sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Papua. Menjalin hubungan perkawanan dengan orang Papua, kata Terry, juga bisa menjadi langkah nyata mewujudkan solidaritas.

Atha Hesegem, perempuan muda Papua yang kini tengah menjalani studi di Rusia, menyebut orang asli Papua selama ini ”berjuang sendirian” untuk menuntut pemenuhan berbagai hak dasar.

Merujuk gugatan Suku Awyu ke pengadilan, misalnya, Atha menilai masyarakat Indonesia secara umum juga akan menikmati manfaat nyata jika hutan di Boven Digoel batal berubah menjadi perkebunan sawit.

”Saya sangat mengharapkan kepedulian untuk melihat dan merespons berbagai persoalan di Papua, dari soal pendidikan, kesehatan, ketimpangan gender, sampai konflik bersenjata dan pengungsian yang jarang dibicarakan masyarakat Indonesia,” kata Atha.

”Tolong gandeng dan rangkul kami untuk bersama-sama menyuarakan persoalan-persoalan ini,” ujarnya.

Apa tanggapan pemerintah?

Staf Khusus Presiden Indonesia, Billy Mambrasar, membuat klaim telah mendengarkan aspirasi masyarakat adat Awyu. Dia berkata telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau ulang berbagai izin perusahaan di atas tanah Suku Awyu.

Billy membuat klaim, dia juga menganjurkan Joko Widodo untuk memberi arahan spesifik kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Targetnya, kata dia, agar kerangka pembangunan di Tanah Papua mempertimbangkan perlindungan hutan dan hak masyarakat adat.

Billy berkata juga telah meminta Presiden Jokowi untuk mendorong pembangunan ekonomi berbasis industri yang tidak merusak hutan, termasuk mencegah konversi hutan adat dan hutan lindung ke perkebunan kelapa sawit.

Klaim yang disampaikan Billy melalui akun Instagram miliknya itu direspons oleh periset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Dorthea Elisabeth Wabiser. Dia mempertanyakan Billy yang mengeluarkan pernyataan ketika unggahan "All Eyes on Papua" viral di media sosial.

Selama beberapa tahun belakangan, kata Dorthea, pemerintah, termasuk Billy, tidak pernah mendengarkan aspirasi ataupun membuat kebijakan terhadap persoalan Suku Awyu.

”All Eyes on Papua muncul dari kerja keras solidaritas masyarakat, bukan karena staf khusus yang baru minta bertemu kami setelah melihat semua orang mengunggah All Eyes on Papua,” kata Dorthea.

Related

News 7877606243562661358

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item