All Eyes on Papua, dan Harapan Pelestarian Alam Papua (Bagian 1)


Slogan "All Eyes on Papua" dalam sepekan terakhir mencuat tidak lama setelah unggahan “All Eyes on Rafah” viral di Instagram. Komunitas adat dan generasi muda Papua berharap gerakan di sosial media mendorong solidaritas nyata terhadap isu Papua.

Dibagikan lebih dari tiga juta kali per Kamis (06/06), unggahan pertama "All Eyes on Papua" berisi ajakan mendukung masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel—salah satu kabupaten dengan laju deforestasi tertinggi di Papua, menurut lembaga riset dan advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Suku Awyu tengah berupaya mempertahankan tanah ulayat seluas 36.094 hektare, yang setara setengah area Jakarta, dari rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari.

Walau unggahan "All Eyes on Papua" secara spesifik menyorot konflik agraria di komunitas Suku Awyu, kampanye yang digagas sejumlah lembaga advokasi lingkungan itu kini memicu perbincangan yang lebih luas soal beragam persoalan di Papua.

Permasalahan itu antara lain akses pendidikan dan kesehatan yang minim, peristiwa kelaparan yang terus berulang, hingga konflik bersenjata tak berkesudahan. Konflik itu, selama puluhan tahun, telah memicu ratusan bahkan ribuan orang tewas. Ribuan orang juga mengungsi karenanya.

Apa reaksi suku Awyu?

Hendrikus Franky Woro adalah laki-laki dari Suku Awyu yang selama beberapa tahun terakhir mewakili komunitas adatnya di hadapan publik. Dia juga menjadi sosok sentral dalam aksi kelompok adatnya di Jakarta, pada akhir Mei lalu.

Franky tidak memiliki akun media sosial. Ponselnya tidak lagi berfungsi sejak Desember 2023. Dia tak memiliki ponsel hingga beberapa hari sebelum terbang ke Jakarta untuk menggelar aksi di depan kantor Mahkamah Agung.

Beberapa hari lalu, Franky mendapat kabar bahwa kampanye publik untuk mendukung gugatan kelompoknya terhadap perusahaan kelapa sawit ramai dibicarakan di media sosial.

“Saya bersama keluarga saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya,” ujar Franky saat dihubungi dari Jakarta.

“Terhadap dukungan dari keluarga dan sesama saya di seluruh Indonesia, sebagai manusia biasa, saya tak mampu untuk membalas semua kebaikan itu,” ucapnya.

Franky berharap dukungan warganet akan berdampak pada upaya kasasi yang diajukan oleh kelompok adatnya.

Dia menyebut harapan Suku Awyu untuk mencegah ekspansi perkebunan sawit di tanah adatnya kini hanya bisa disematkan kepada para hakim agung. Dia meminta para hakim membuat putusan yang seadil-adilnya.

“Tanah adalah nomor rekening abadi bagi kami. Tanah adalah mama,” kata Franky. ”Tanpa tambang, tanpa sawit, kami masyarakat adat bisa hidup. Tetapi tanpa hutan adat, kami tidak bisa hidup.”

Boven Digoel adalah satu dari 35 kota dan kabupaten di Papua yang masuk kategori daerah dengan kemiskinan ekstrem. Daftar ini disusun pemerintah pusat untuk periode 2021 hingga 2024.

Kemiskinan ekstrem, merujuk ukuran Bank Dunia, adalah situasi yang dihadapi orang-orang dengan paritas daya beli sebesar US$1,9 atau Rp30 ribu per hari dalam kurs 6 Juni 2024.

Papua dan Papua Barat konsisten berada di peringkat teratas dalam daftar provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Pada 2023, merujuk Badan Pusat Statistik Nasional, persentase penduduk miskin di Papua mencapai 26,03% dan di Papua Barat sebesar 20,49%.

Bagaimana awal kemunculan "All Eyes on Papua"?

Unggahan dengan slogan ini beredar di Instagram awal Juni lalu, beberapa hari setelah kemunculan foto yang diproduksi aplikasi kecerdasan buatan.

Foto yang menampilkan tenda-tenda pengungsi Palestina dan slogan bertuliskan “All Eyes on Rafah" itu menyoroti serangan udara Israel dan kebakaran di kamp pengungsi Palestina di Rafah, Gaza selatan.

Serupa dengan unggahan “All Eyes on Rafah”, foto berslogan “All Eyes on Papua” juga diciptakan kecerdasan buatan. Foto hitam-putih tersebut menampilkan sebuah mata dan empat paragraf penjelasan situasi masyarakat Awyu. Terdapat pula tautan menuju situs petisi publik change.org.

Petisi itu mengajak publik mendorong Mahkamah Agung mencabut izin lingkungan perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari. Izin yang diperoleh korporasi itu dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua.

Dengan izin tersebut, PT. Indo Asiana Lestari berhak menggunduli hutan yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat Awyu.

Unggahan “All Eyes on Papua” beredar di dunia maya tak lama setelah aksi sejumlah perwakilan Suku Awyu di kantor Mahkamah Agung, Jakarta, pada 27 Mei lalu.

Bersama beberapa lembaga seperti Greenpeace dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang mendampingi mereka, sejumlah perwakilan Suku Awyu datang mengenakan pakaian adat. Mereka melantunkan nyanyian, menari, dan membentangkan poster bertuliskan ‘Selamatkan Hutan Adat Papua dan ‘Papua Bukan Tanah Kosong’.

Suku Awyu menggelar aksi di depan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu karena gugatan mereka terhadap izin lingkungan PT. Indo Asiana Lestari kini berada di tingkat kasasi.

Dalam kurun waktu yang tidak ditentukan, para hakim Mahkamah Agung nantinya akan memutuskan apakah akan menerima gugatan itu atau kembali memenangkan perusahaan kelapa sawit.

Suku Awyu sebelumnya kalah di dua tingkat peradilan, yaitu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada November 2023 dan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado pada Maret 2024.

Setelah hampir sepekan, foto berslogan “All Eyes on Papua” juga telah diunggah oleh sejumlah figur publik dengan puluhan hingga jutaan pengikut di Instagram. Salah satunya adalah pemain tim nasional sepakbola Indonesia yang bermain di Liga Belgia, Sandy Walsh.

Berdasarkan riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 2023, sepanjang 2001 hingga 2019 tutupan hutan alam di seluruh Tanah Papua menyusut 663.000 hektare.

Baca lanjutannya: All Eyes on Papua, dan Harapan Pelestarian Alam Papua (Bagian 2) 

Related

News 5105125260099386062

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item