Papua Mengalami Masalah Kelaparan, Bukan Kurang Pangan (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2023/11/papua-mengalami-masalah-kelaparan-bukan_0129666908.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Papua Mengalami Masalah Kelaparan, Bukan Kurang Pangan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Selain itu, penelitian oleh Kasri Riswadi dari Univeritas Hasanuddin juga menunjukkan Presiden Jokowi untuk periode 2014-2019 dalam pernyataan resminya beberapa kali menghaluskan kata-kata yang sebenarnya.
Misalnya, perlambatan ekonomi (semestinya krisis ekonomi), penyegaran (semestinya pergantian), proses hukum (semestinya penangkapan), gesekan (semestinya pertikaian, kericuhan), situasi tetap aman dan damai (semestinya tidak rusuh), serta mengganggu proses-proses demokrasi (aksi orang-orang yang tidak terima hasil pemilu).
Sebagian diksi eufemistis di era Jokowi juga pernah digunakan orde baru, seperti penyesuaian harga (semestinya kenaikan harga), dan keluarga prasejahtera (semestinya keluarga miskin).
Beberapa diksi lain di orde baru yang masih bertahan sampai sekarang antara lain bantuan asing (semestinya pinjaman/utang), penggunaan fasilitas negara (semestinya penyelewenangan), dan rawan pangan (semestinya kelaparan), pengamanan (semestinya penangkapan/penculikan), penertiban (semestinya penggusuran).
"Bahasa eufemisme [orde baru] itu juga banyak terjadi di beberapa masa kepemimpinan setelah reformasi, tidak hanya di zaman Jokowi. Itu terus direproduksi hingga hari ini,“ kata peneliti politik dari BRIN lainnya, Nina Andriana.
Meskipun gaya penghalusan makna dipertahankan dari setiap rezim, saat ini masyarakat lebih punya peluang untuk skeptis atas narasi yang disampaikan elit politik.
"Apalagi anak-anak muda sekarang. Bisa memberitahu orang tua tanpa ragu, bahwa itu sebenarnya bisa dicari tahu,” tambah Nina.
Tapi ia tak menutup kemungkinan terdapat kelompok masyarakat yang sudah punya pendirian menerima apa pun yang disampaikan elit pemerintah; apa yang disebut sebagai "post-truth”.
Pernyataan wapres ‘meremehkan krisis kemanusiaan‘
Kembali pada penghalusan kata "kelaparan“ yang disampaikan Wapres Ma’ruf Amin. Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, “Pernyataan [Wapres Ma’ruf Amin] tersebut meremehkan krisis kemanusiaan yang tengah melanda sebagian Tanah Papua, termasuk di wilayah Yahukimo”.
Amnesty International Indonesia juga mengutip data BPS 2020 – 2022 yang menyebutkan prevalensi kerawanan pangan di Tanah Papua di atas prevalensi nasional.
“Penting untuk menyadari bahwa situasi kelaparan di Papua bukanlah isu baru dan menandakan belum seriusnya negara memenuhi hak-hak dasar Orang Asli Papua,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, meminta pemerintah pusat berhenti untuk bermain kata-kata dalam penanggulangan kelaparan di Papua.
"Yang perlu diperhatikan pemerintah bukan lagi menggambarkan situasi yang ada, tapi bagaimana repons untuk mengatasi persoalan ini untuk konteks jangka pendek dan panjang,” katanya.
Ungkapan penghalusan kata "kelaparan”, kata Armand, pada akhirnya bisa berbuntut penanganan yang akhirnya direspons untuk jangka pendek. "Ini cara kerja seperti pemadam kebakaran,” katanya.
Berdasarkan laporan Katadata, kasus kelaparan yang berujung kematian di Papua bukan pertama kali terjadi. Pada 2005 (55 kasus kematian), 2006 (15 kasus kematian), 2009 (92 kasus kematian), 2022 (tiga kasus kematian), dan 2023 (29 kasus kematian).
Armand juga meminta agar pemerintah membuat perencanaan yang sistematis dengan pengetatan pengawasan pada anggaran otonomi khusus.
"Ada problem di Papua, jangan hanya dilimpahkan ke pemerintah lokal, tapi ke pemerintah pusat sebagai lembaga pembina dan pengawas,” katanya.
Apa rencana pemerintah?
Dalam keterangan terbaru, pejabat di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Sorni Paskah Daeli mengatakan pihaknya sudah menyiapkan rencana jangka pendek dan panjang.
Rencana jangka pendek, membangun gudang logistik di sekitar lokasi yang sering terjadi bencana, memperbaiki jalan darat, dan menambah landasan pacu agar pesawat besar yang mengirim bantuan logistik bisa mendarat.
Jangka panjangnya, pemerintah akan mencari varietas unggul seperti umbi-umbian, dengan melakukan transfer teknologi pertanian. Varietas unggul ini diharapkan tetap tahan terhadap cuaca ekstrem.
“Secara umum, Pemerintah Daerah juga belum menyentuh teknologi pertanian di sana, sehingga warga masih menjalankan metode pertanian secara tradisional,” kata Sorni dalam keterangan resminya.
Bantuan yang telah dikirim ke Distrik Amuma sejauh ini berupa pangan dan sandang lebih dari 19 ton. Selanjutnya, BNPB direncanakan akan mengirimkan bantuan, mengingat surat penetapan status kedaruratan sudah dikeluarkan oleh Bupati Yahukimo.