Kontroversi Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi Sakit (Bagian 3)
https://www.naviri.org/2023/11/kontroversi-kisah-rasulullah-menjenguk_0382677361.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi Sakit - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Kedua, pada Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Tidak ada yang tidak mengenal beliau karena kemasyhuran beliau di bidang fikih, karena para ulama memuji keilmuan beliau di bidang fikih. Beliau adalah fondasi utama mazhab Hanafi.
Meski demikian, mayoritas ulama hadits memberi penilaian negatif terhadap beliau di bidang hadits. Di antaranya adalah Ibnu al-Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Abdu ar-Razzaq, Ibrahim al-Jauzajani, Ya’qub bin Syaibah, Muslim bin al-Hajjaj (penulis Shahih Muslim) rahimahumullah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (15/573).
Termasuk Imam an-Nasai rahimahullah yang berkata, “An-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah tidak kuat dalam hadits.” (Ad-Dhuafa wa al-Matrukin, an-Nasai, I/100).
Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Abu Hanifah lemah di bidang hadits.” (At-Thabaqat, Ibnu Sa’ad, 6/348)
Al-Hafizh Ibnu Syahin rahimahullah memasukkannya ke dalam jajaran perawi lemah dalam Tarikh Asma adh-Dhuafa (1/184). Imam al-Bukhari rahimahullah juga melemahkannya dan memasukkannya ke dalam jajaran perawi yang lemah dalam kitab adh-Dhuafa as-Shaghir (1/132).
Demikian juga Imam al-Uqaili dalam ad-Dhuafa al-Kabir (4/268) dan Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (3/63) serta al-Hafizh Ibnu al-Jauzi dalam adh-Dhuafa wa al-Matrukin (3/163) rahimahumullah.
Al-Imam Ibnu Adi rahimahullah memasukkan Abu Hanifah ke dalam jajaran perawi lemah sembari mengatakan, “Abu Hanifah memiliki hadits yang bagus. Hanya saja keumuman hadits riwayatnya mengandung kekeliruan, penyisipan, penambahan pada sanad dan matan, serta penyisipan pada rawi-rawinya. Mayoritas riwayatnya seperti itu. Seluruh riwayatnya tidak ada yang shahih kecuali hanya belasan hadits saja, padahal ia telah meriwayatkan hadits setidaknya sekitar 300-an hadits, baik yang masyhur maupun yang mengandung keganjilan. Semuanya dengan bentuk seperti itu, karena memang ia bukanlah termasuk ahli hadits.” (Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, Ibnu Adi, 8/246)
Terdapat pembelaan dari Yahya bin Main rahimahullah yang menilai tsiqah beliau, namun dalam riwayat lain Ibnu Main juga melemahkan beliau. Yang jelas Ibnu Main rahimahullah secara tegas menafikan sifat dusta dari beliau, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (15/573).
Sementara sebagian ulama hadits mutaakkhirin cenderung menilai tsiqah beliau seperti Al-Hafizh adz-Dzahabi yang tidak memasukkan beliau dalam jajaran perawi lemah dalam al-Mughny fi ad-Dhuafa. Demikian juga al-Hafizh al-Mizzi yang hampir saja tidak menuliskan penilaian negatif tentang beliau dalam Tahdzib al-Kamal.
Tentu para pakar hadits yang sezaman atau yang lebih dekat zamannya dengan Abu Hanifah rahimahullah lebih mengetahui kapasitas dan kualitas Abu Hanifah rahimahullah di bidang hadits daripada selain mereka. Wallahu a’lam.
Ketiga, Muhammad bin al-Hasan bin Farqad asy-Syaibani, perawi yang meriwayatkan dari Abu Hanifah, sekaligus murid Abu Hanifah dan fondasi utama dalam madzhab Hanafi rahimahumullah. Keadaannya tidak jauh beda dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Para ulama hadits muktabar melemahkannya.
Muhammad bin al-Hasan dilemahkan oleh para imam mutaqaddimin di antaranya Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, as-Shayrafi, Abu Dawud as-Sijistani (penulis Sunan Abu Dawud), dan ad-Daruquthni rahimahumullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (2/561).
Demikian juga sebagian ulama hadits mutaakkhirin semisal Ibnu Syahin dalam Tarikh Asma ad-Dhuafa (1/163), al-Uqaili dalam ad-Dhuafa al-Kabir (4/55), dan Ibnu al-Jauzi dalam ad-Dhuafa wa al-Matrukin (3/50) rahimahumullah.
Imam Ibnu Hibban rahimahullah juga melemahkannya dan meriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata mengenai Muhammad bin al-Hasan, “Ia tidak tsiqah demi Allah dan tidak amanah.” (Al-Majruhin, Ibnu Hibban, 2/276).
Imam Ibnu Adi rahimahullah melemahkannya sembari berkata, “Muhammad bin al-Hasan tidak termasuk kalangan ahli hadits dan tidak juga termasuk tingkatan yang diperhitungkan dalam bidang hadits. Hanya saja aku teringat sedikit terdapat dalam Musnadnya yang menyebut bahwa ia mendengar al-Muwattha’ dari Malik.” (Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, Ibnu Adi, 7/378)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah juga melemahkan Muhammad bin al-Hasan rahimahullah dengan mengatakan, “Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, meriwayatkan dari Malik dan lainnya. Ia dilemahkan oleh an-Nasai dari sisi hafalannya.” (Al-Mughny fi ad-Dhuafa, ad-Dzahabi, 2/567)
Keempat, ke-majhul-an Amru bin Abi Amru. Sebab tidak ditemukan sedikit pun biografi mengenai dirinya maupun penilaian para pakar hadits tentangnya selain sedikit penuturan Khathib al-Baghdadi rahimahullah tentangnya, “Amru bin Abi Amru, kakek Abu Arubah al-Harrani dari jalur ibunya. Ia adalah Amru bin Said bin Zadzan. Ia meriwayatkan dari Abu Yusuf al-Qadhi dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.” (Al-Muttafiq wa al-Muftariq, Khathib al-Baghdadi, 3/1667)
Syaikh Syauqi Allam dalam fatwanya dan Syaikh Salim al-Hilali dalam ‘Ajalat ar-Raghib (2/628) hafizhahumallah menisbahkan riwayat ini pada kitab Al-Atsar yang disusun oleh Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani rahimahullah.
Maka jadilah muara riwayat ini pada Muhammad bin al-Hasan dan Abu Hanifah rahimahumallah. Lalu Amru bin Amru meriwayatkannya dari Muhammad bin al-Hasan hingga diriwayatkan oleh Ibnu as-Sunni dari Abu Arubah selaku cucunya Amru bin Amru.
Artinya, ke-majhul-an Amru bin Abi Amru tidak begitu berpengaruh di sini. Sebab ia terdapat pada sanad Ibnu as-Sunni, namun tidak terdapat pada sanad milik Muhammad bin al-Hasan.
Hadits ini lemah karena beberapa cacat di atas. Yang paling kontras adalah keberadaan Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan rahimahumallah yang dilemahkan oleh mayoritas ulama hadits.
Walaupun khusus pada redaksi pengislaman lelaki Yahudi tersebut terdapat riwayat pendukung yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Namun, dalam Shahih al-Bukhari status lelaki tersebut sebagai pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sini letak permasalahannya.
Ringkasnya, hadits riwayat Ibnu as-Sunni ini lemah dan dilemahkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizhahullah dalam ‘Ajalat ar-Raghib al-Mutamanni (2/268—269).
Kesimpulan Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi
Kisah Rasulullah menjenguk Yahudi yang gemar menaruh kotoran dan duri untuk menyakiti beliau sebagaimana yang sering diceritakan oleh sebagian dai adalah kisah yang tidak ada dasarnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan sebagai kisah fiktif (palsu), karena tidak memiliki sanad riwayat sedikit pun dengan redaksi seperti itu. Bahkan mungkin kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini sengaja diramu untuk tujuan tertentu.
Maka tidak layak menceritakan apalagi mempercayai kisah tersebut dan menyandarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab akan terjatuh pada berdusta atas nama beliau yang diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana sabda beliau:
“Sesungguhnya dusta atas namaku tidak seperti dusta atas nama orang lain. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1291; HR. Muslim no. 933, dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu)
Terdapat kisah Rasulullah menjenguk seorang Yahudi lainnya, tetapi bukan Yahudi yang berbuat jahat kepada beliau. Justru Yahudi yang melayani beliau dan berakhir dengan keislamannya sebagaimana dalam Shahih Bukhari.
Walaupun, kita tidak menafikan bagaimana lembutnya dan bagusnya akhlak beliau kepada manusia yang tidak seagama dengan beliau. Ini terlihat dari perbuatan beliau ketika pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah) yang memaafkan mayoritas penduduk Makkah yang dahulunya menyakiti dan memerangi beliau.
Tidak perlu mengada-adakan kisah palsu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan akhlak dan toleransi yang bahkan ada kalanya menjurus pada toleransi yang melampaui batas.