Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung (Bagian 3)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Direktur utama PT Timah, Ahmad Dani Virsal mengatakan, kini siapa pun dapat mengeksploitasi timah tanpa dituntut pertanggungjawaban, baik terhadap kerusakan maupun keberlanjutan lingkungan.

"Itu yang saya sangat prihatin, terus terang. Kalau itu bisa dilakukan sebagai komoditas strategis maupun kritis, saya pikir itu akan menjadi peluang buat kita melakukan konservasi dan pemanfaatan jangka panjang," ujar Virsal.

Upaya untuk mengembalikan timah sebagai komoditas strategis Indonesia juga pernah direkomendasikan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Alasannya, dikutip dari situs Lemhanas, adalah "Diiringi ketidakefektifan pengawasan dan penegakan hukum, praktik penambangan dan peredaran timah secara ilegal semakin merajalela sehingga membawa dampak negatif seperti konflik sosial, berkurangnya penerimaan negara, dan terkurasnya cadangan timah secara tidak terkendali."

Upaya pemerintah melegalkan yang ilegal

Dirut PT Timah, Ahmad Dani Virsal tak memungkiri bahwa sangat sulit menghentikan pertambangan ilegal yang beroperasi di wilayah izin usaha produksi (IUP) milik produsen dan eksportir logam timah itu.

Sebab, mata pencaharian sebagian besar warga Babel sangat bergantung pada tambang timah. Membangun kemitraan dengan warga, kata Virsal, adalah pendekatan yang kini dilakukan oleh perusahaannya.

"Kita terus melakukan pembinaan, skill, bimbingan teknologi baru, agar lebih efektif dan efisien dan mengurangi dampak lingkungan yang jauh dari kita harapkan," kata Virsal.

Alih-alih memberantas tambang timah ilegal, pemerintah setempat kini tengah berupaya melegalkan aktivitas liar itu.

Kepala Dinas ESDM Babel, Amir Syahbana, mengungkap dua cara yang sudah ditempuh, salah satunya adalah memfasilitasi kemitraan antara penambang dengan pemegang IUP, melalui pemberian izin usaha jasa pertambangan (IUJP).

"Jadi apa pun masyarakat mau menambang, apa itu di darat atau laut, kita cek koordinat. Kalau dalam wilayah IUP, kita fasilitasi untuk diberikan kemitraan atau kontrak oleh pemegang IUP," katanya.

Hal lain yang dilakukan oleh Dinas ESDM adalah memberikan izin pertambangan rakyat (IPR) melalui penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) bagi penambang TI yang tidak berada pada wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Legalisasi ini diklaim sebagai bentuk "hadirnya negara di tengah masyarakat", kata Amir, seraya menambahkan bahwa upaya ini juga bertujuan agar penambang ilegal memiliki tanggung jawab atas pemulihan lingkungan.

Bangka 'tenggelam dalam kehancuran'

Akan tetapi, Jessix Amundian dari Walhi Babel memandang upaya melegalkan tambang gelap itu hanya akan semakin 'menenggelamkan' Pulau Bangka dan Belitung, yang lingkungannya ia klaim kini berada dalam kondisi "hancur, parah dan masif" dari darat hingga laut.

"Itu merupakan satu langkah yang mundur. Ini semakin meningkatkan aktivitas tambang, lingkungan akan tambah rusak, dan ancaman bencana kian besar," kata Jessix.

Senada, Endi dari Alobi mengatakan pelegalan aktivitas TI juga akan semakin memperuncing konflik manusia dan satwa.

"Flora dan fauna endemik akan dekat ke ambang punah, dan konflik manusia satwa semakin besar dan masif terjadi. Seharusnya TI ilegal dihentikan."

Dari masifnya konflik buaya dan manusia, kerusakan lingkungan, tudingan beking hingga wacana mengembalikan timah sebagai komoditas strategis, perubahan nyata ibarat "jauh panggang dari api", kata aktivis lingkungan.

Sosialisasi hingga penegakan hukum yang dilakukan untuk menghentikan praktik ilegal yang terpampang jelas di depan mata pun seakan tidak menimbulkan efek jera.

Lalu apa jalan keluar yang bisa dilakukan?

Dari sisi lingkungan, Jessix memandang pemerintah harus segera melakukan audit kerusakan lingkungan bagi pertambangan legal dan mendorong akselerasi reklamasi wilayah pascatambang.

Sedangkan pertambangan ilegal, Jessix meminta untuk dihentikan total, dan dilakukan penegakan hukum yang tegas guna meminimalisir kerusakan yang telah terjadi, seraya membangun alternatif mata pencaharian bagi masyarakat.

Lalu dari sudut konservasi satwa, Endi memandang pembangunan penangkaran dan penetapan zona pelepasliaran buaya muara adalah langkah yang harus segera dilakukan.

Garda Animalia melihat ada wilayah di Pulau Bangka yang mendekati ideal untuk dijadikan tempat pelepasliaran, yaitu di sekitar Sungai Upang, Kabupaten Bangka.

"Lokasi ini ideal karena jauh dari tambang, dan masih ditutupi vegetasi," kata Finlan dari Garda Animalia sambil menambahkan bahwa masih butuh kajian lebih mendalam terkait hal itu.

Kemudian untuk mengurangi potensi konflik manusia dan buaya, Brandon dari CrocBITE mendorong perlu adanya program edukasi untuk masyarakat tentang buaya, upaya yang berguna dalam mengurangi serangan buaya di NTT.

Cadangan timah Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia. Dan, selama ratusan tahun Babel yang berada di sabuk timah dunia telah menjadi tulang punggung utama.

Eksploitasi timah di Babel diprediksi pemerintah masih dapat menyuplai kebutuhan dunia hingga puluhan tahun mendatang. Namun, ada beban berat yang harus dipikul, dari kerusakan lingkungan, masifnya konflik manusia dan buaya, hingga dugaan praktik ilegal dan "beking".

Bagaimana nasib Pulau Bangka dan Belitung ketika akhirnya timah telah habis dikeruk dan lingkungan terlanjur "tenggelam" dalam kerusakan? Dan, apakah satwa-satwa yang hidup di Pulau Bangka, seperti buaya muara, akan berakhir pada kepunahan akibat ulah manusia?

Related

News 2883260417464521535

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item