Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Amrullah menyadari bahwa aktivitas warganya yang mengambil sisa tailing — limbah dari industri pertambangan — kapal isap produksi (KIP) legal skala besar di kawasan izin milik PT Timah itu adalah tindakan ilegal dan merusak lingkungan.

"Tapi yang namanya merusak, kita bikin kandang ayam saja merusak lingkungan dengan tebang kayu. Kalau ditutup sama sekali, waduh, mengamuk [warga]," katanya.

Klaim ketergantungan masyarakat atas timah itu disebut hanyalah "pembenaran agar dapat terus melakukan pertambangan", ujar Jessix Amundian dari Walhi Babel.

"Pikiran itu tidak objektif dan tambang timah telah mencuci otak masyarakat seakan-akan itu satu-satunya [pekerjaan]," sahut Jessix.

Jessix menyebut, Babel kaya sumber daya alam lain yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, juga sangat menguntungkan. Di antaranya adalah hasil pertanian seperti lada putih dengan kualitas pedas dan aroma yang telah diakui dunia. Belum lagi, hasil laut yang diekspor ke mancanegara, seperti udang belalang atau lipan, kepiting, cumi-cumi, hingga beragam jenis ikan.

'Koordinasi' di balik tambang ilegal

Gamblangnya aktivitas timah ilegal di Pulau Bangka tidak lepas dari adanya "beking" yang diduga melindungi para penambang ilegal, kata Maryono, Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam. Bahkan, ketika kelompoknya melakukan aksi penolakan hingga perlawanan atas tambang ilegal, yang mereka hadapi adalah intimidasi.

"Pemain semua di sini. Bahasa mereka, tambang ilegal ini dikoordinasi. Jadi ada semacam pengamanan yang mengkoordinir tambang ilegal. Itu yang membuat mereka kuat. Kami dulu selalu bentrok, para pemilik kekuasaan semua yang melindungi," kata Maryono.

"Hanya Pak Jokowi yang bisa menghentikannya. Kami harap, kalau masih dianggap, tolong diperhatikan nasib Teluk Kelabat yang kondisinya sangat parah ini," tambahnya.

Organisasi yang dikepalai oleh Maryono adalah gerakan sekelompok nelayan dari 12 desa yang berjuang bertahun-tahun menentang tambang ilegal di perairan Teluk Kelabat Dalam.

Mereka terus berjuang karena teluk itu adalah tulang punggung kehidupan, akar sejarah, hingga budaya masyarakat pesisir di sana.

"Kondisi laut kami telah rusak hampir 50%, sudah dilibas semua oleh tambang," kata Maryono yang menyebut kerusakan juga menghantam wilayah pertanian di sekitar teluk.

Bahkan, budayawan dan sejarawan dari Bangka, Ahmad Elvian, mengungkapkan adanya istilah "perkara gelap, keuntungan diam" di balik aktivitas timah ilegal.

"Jadi timah itu mudah sekali menjualnya, dan keuntungannya luar biasa. Mulai dari penambang, kolektor, perusahaan, kemudian yang mengamankan jalur penambang, semua mendapatkan keuntungan dari perkara gelap timah yang ilegal."

"Karena mendapatkan keuntungan, semuanya jadi diam," ujar Elvian yang juga menjabat sebagai Sekjen Lembaga Adat Melayu Kepulauan Babel.

Reformasi, era 'masifnya' aktivitas tambang timah ilegal

Selama ratusan tahun pertambangan timah telah berlangsung di Bangka dan Belitung. Berdasarkan beberapa literatur sejarah, nama Bangka kuat dugaan berasal dari kata 'vanca atau wangka,' yang berarti timah dalam bahasa Sanskerta.

Kata itu muncul bersama dengan nama Swarnabhumi — yang merujuk Pulau Sumatra — dalam kitab sastra India bertajuk Milindrapantha yang ditulis pada abad ke-1. Kata yang sama juga muncul dalam buku suci Hindu, Mahaniddesa, yang ditulis pada abad ke-3.

Seiring berjalannya waktu, timah menjadi komoditas yang dimonopoli oleh penguasa, mulai dari zaman Kerajaan Palembang, penjajahan Inggris dan Belanda, hingga masa Orde Lama serta Orde Baru, ujar Ahmad Elvian.

Pada masa penjajahan, Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia, membuatnya dikenal luas di Eropa. Pada tahun 1847, sekitar 83% timah dari Bangka membanjiri pasar Amsterdam. Bahkan saat itu, sebanyak 25% kebutuhan timah Eropa dipasok dari Bangka.

Saat timah dimonopoli penguasa, lanjut Elvian, aktivitas pertambangan dilakukan secara selektif di daerah-daerah tertentu, dengan mempertimbangkan wilayah adat dan lingkungan.

Walaupun terjadi kerusakan bentang alam, kondisi kala itu dikatakan tidak separah saat ini. Alfian mengatakan, reformasi pada 1998 menjadi era pembuka masifnya pertambangan ilegal oleh masyarakat.

"Sejak reformasi, kondisi menjadi lawless (tanpa hukum), orang tidak peduli dan tidak takut. Aturan adat dan hukum dilanggar, apakah itu sungai, lahan konservasi air, bahkan kuburan saja digali demi mencari timah," kata penerima anugerah kebudayaan Indonesia itu.

Pascakejatuhan rezim Soeharto, tepatnya pada 1999, pemerintah menyatakan timah bukan lagi masuk dalam komoditas strategis. Keputusan itu diiringi kemunculan peraturan daerah yang membuka kesempatan masyarakat untuk menambang.

Akibatnya, hanya dalam dua tahun sejak itu, jumlah tambang inkonvensional (TI) menjamur hingga 6.000 unit, dari awalnya dilarang total di Babel. Merujuk data lain, terdapat 5.257 TI di Bangka dan 734 di Belitung tahun 2001, di bekas lokasi kuasa pertambangan (KP) PT Timah.

Angka itu belum termasuk aktivitas TI di kawasan hutan produksi, hutan lindung, hingga kebun dan pekarangan rumah warga.

Jumlah TI terus membengkak hingga mendekati 20.000 unit pada penghujung 2008. Di antaranya adalah kemunculan TI apung yang beroperasi di perairan sungai hingga laut yang mendekati 5.000 unit.

Belasan tahun kemudian, jumlah TI kini diprediksi aktivis lingkungan semakin marak dan masif.

Baca lanjutannya: Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung (Bagian 3)

Related

News 5780393940090775

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item