Emma Goldman, Wanita Anarkis Paling Berbahaya (Bagian 3)
https://www.naviri.org/2023/10/emma-goldman-wanita-anarkis-paling_01610870536.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Emma Goldman, Wanita Anarkis Paling Berbahaya - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Pengalaman terbesar di masa tuanya adalah Revolusi Spanyol. Terpukul atas tindakan bunuh diri Berkman pada 1936 dan tertekan oleh menguatnya fasisme, kabar bangkitnya kaum Republikan melawan Franco di Spanyol, amat menghibur Goldman. Di usianya yang ke-67 dia pergi ke Barcelona pada September 1936 dan bergabung dengan gerakan perlawanan di sana. Pada akhirnya anarkisme tampak tengah mendekati kemenangan.
Dalam sebuah demonstrasi Libertarian Youth, ia serukan: “Untuk selamanya, revolusi kalian akan menghancurkan anggapan bahwa anarkisme berdiri demi kekacauan”.
Dia bahu-membahu dengan para anarkis CNT-FAI (Confederación Nacional del Trabajo dan Federación Anarquista Ibérica) dalam sebuah kesempatan. Sekitar 10 ribu anggotanya terkesima mendengarkan Goldman menyebut mereka sebagai ‘sebuah contoh yang bersinar bagi seluruh dunia’. Goldman menyunting edisi bahasa Inggris dari buletin CNT-AIT-FAI dan memberikan beberapa bagian tambahan yang menerangkan tentang sebab-sebab revolusi tersebut di Inggris.
Tapi sekali lagi harapannya yang membumbung akan revolusi mesti kandas. Dia tidak setuju dengan partisipasi para anarkis CNT-FAI dalam pemerintahan koalisi yang dibentuk pada tahun 1937 dan berbagai konsesi yang anarkis berikan untuk memperkuat komunis demi tujuan perang di Spanyol.
Dengan tepat dia meramalkan bahwa hal tersebut akan melukai tujuan-tujuan anarkis: revolusi sosial seharusnya maju terus dan terus secara simultan dengan gelombang perlawanan terhadap Franco. Namun pun demikian, Goldman merasa tidak bisa menyalahkan sahabat-sahabat anarkisnya atas kompromi-kompromi yang bisa dimaklumi, dengan bergabung dalam pemerintahan dan menerima militerisasi, lantaran ia paham bahwa pilihan yang ada pada waktu itu hanyalah kediktatoran komunis.
Dalam kongres IWMA (International Working Men’s Association) di Paris pada akhir tahun 1937, Goldman menyatakan bahwa di ‘rumah-rumah yang terbakar’ di Spanyol, tampaknya ada pengingkaran solidaritas dengan memercikkan ‘asam’ kritisisme ke atas ‘daging yang telah terbakar’. Setahun berikutnya, kepada Vernon Richards ia menulis:
“… meskipun saya tidak setuju dengan apa yang dijalankan oleh sahabat-sahabat Spanyol kita, saya tetap berpihak kepada mereka karena mereka berjuang dengan sangat heroik, dengan punggung merapat ke dinding menentang seluruh dunia, disalahpahami oleh beberapa kawan mereka sendiri dan dikhianati oleh para buruh sebagaimana juga oleh semua organisasi Marxis. Apapun kesaksian para ahli sejarah di masa yang akan datang terhadap perjuangan CNT-FAI, merekalah kekuatan yang menyingkapkan dua aksi terbesar kepada rakyat kita: penolakan mereka untuk memapankan kediktatoran yang tengah berada di tampuk kekuasaan, dan sebagai yang pertama kali bangkit melawan Fasisme.”
Mengesampingkan kekecewaannya yang mendalam atas kemenangan Franco di Spanyol dan meluasnya fasisme di seluruh daratan Eropa, Goldman menolak untuk mengkompromikan prinsip-prinsip anarkisnya. Menjelang kematiannya pada 1940, ia menulis: ’Saya melawan kediktatoran dan fasisme sebagaimana saya menentang rezim parlementer dan apa yang disebut sebagai demokrasi politis’. Dia tetap menganggap anarkisme sebagai ‘filosofi yang paling indah dan praktis’ dan yakin bahwa suatu hari kelak hal tersebut akan terbukti kebenarannya.
Goldman meninggal pada tahun 1940, tiga bulan setelah serangan stroke, di Toronto. Jasadnya akhirnya diizinkan kembali ke Amerika dan dimakamkan di Chicago, tidak jauh dari para martir Haymarket yang takdirnya telah mengubah jalan hidupnya lebih dari lima puluh tahun sebelumnya.
Pandangan Goldman tentang pemerintah, revolusi, dan pendidikan tampil jelas dan lugas. Namun sumbangannya yang terpenting bagi teori anarkis adalah dimensi feminis yang ia tuangkan ke dalamnya. Dia amat gusar terhadap status dan kondisi para perempuan pada masanya dan pandangan-pandangannya yang diutarakan dengan terang justru mengakibatkan ia dicap buruk.
Ia nyatakan rasa jijiknya terhadap standar ganda dalam hubungan antar jenis kelamin. Ia menyerang ‘Kemunafikan Puritanisme’ yang merendahkan dorongan-dorongan alamiah dan menindasnya dengan kultur. Dia mencaci sistem yang berlaku saat itu yang memperlakukan perempuan sebagai obyek seks, penghasil anak, dan buruh murah.
Pelacuran adalah contoh paling gamblang perkara eksploitasi perempuan, namun sebenarnya semua perempuan dalam berbagai cara memang telah dikondisikan untuk menjual tubuhnya. Dengan menekankan bahwa yang personal adalah juga yang politis, Goldman terisolasi dari para feminis di masanya tetapi ide-idenya banyak diadaptasi oleh feminis Amerika pada dasawarsa 1970-1980.
Berbeda dengan para suffragettes–kalangan perempuan yang menuntut hak pilih bagi perempuan, bermula pada awal abad 20 di Inggris–yang menanggapi pemilihan umum sebagai alat prinsipil untuk emansipasi perempuan dan yang bertujuan menempatkan laki-laki dalam aturan main yang sama seperti perempuan, Goldman sepenuhnya menolak “fetish modern” dari hak pemilihan suara universal itu.
Dia mengkritisi gerakan hak pilih bagi perempuan di Amerika itu karena “semua secara bersamaan menjadi urusan ruang tamu” yang terpisah dari kebutuhan ekonomi rakyat. Manakala tujuan utama emansipasi seharusnya memungkinkan perempuan menjadi manusia dalam makna sepenuhnya, karyanya yang berjudul “The Tragedy of Woman’s Emancipation” di Amerika justru membuatnya terisolasi.
Secara paradoksal, Goldman berpikir adalah sesuatu yang penting untuk mengemansipasikan kaum perempuan Amerika dari “emansipasi” sebagaimana dipahami pada masa itu. Mereka yang disebut sebagai “warga negara Amerika yang bebas” mendapatkan hak pilih universalnya hanya layaknya “menempa besi untuk merantai tangannya sendiri”; dimata Goldman, tidak ada sedikitpun alasan mengapa perempuan harus tidak memiliki hak suara yang sama dengan laki-laki, namun baginya juga merupakan pengertian yang absurd untuk meyakini bahwa “perempuan pada akhirnya akan memenuhi ruang-ruang dimana para lelaki telah gagal”.
Tidak ada penyelesaian politik yang mungkin bagi relasi antar jenis kelamin yang timpang dan represif. Oleh sebab itu Goldman menyerukan apa yang diajukan oleh Nietzsche sebagai “penilaian-ulang segala nilai yang berlaku” yang berbarengan dengan upaya menghapuskan perbudakan ekonomi.
Dia mengajak rekan-rekan sezamannya untuk terjun “Melintasi Baik dan Buruk” dan mendesakkan “hak untuk kedirian-seseorang, untuk pemenuhan diri yang personal”. Emansipasi sejati tidak dimulai dalam pemilihan umum ataupun dalam ruang pengadilan, ia berawal dari dalam “jiwa perempuan”. Di atas semua hal tersebut, emansipasi perempuan harus datang dari dan melalui dirinya sendiri:
“Pertama, dengan menegaskan dirinya sebagai sosok pribadi, dan bukan sebagai komoditas seksual. Kedua, dengan menolak hak setiap orang atas tubuhnya; dengan menolak membesarkan anak, kecuali dia sendiri yang menginginkannya; dengan menolak menjadi pelayan bagi Tuhan, negara, masyarakat, suami, keluarga dan lain sebagainya; dengan menjalankan hidup yang bersahaja namun mendalam dan kaya.
“Yaitu berusaha memahami makna dan substansi hidup beserta segala kompleksitasnya, dengan membebaskan dirinya dari ketakutan akan pendapat umum dan kutukan umum. Hanya dengan cara itu -dan bukan dengan kotak pemilu- maka perempuan akan bebas, akan membuatnya menjadi sebuah kekuatan yang tak pernah dikenal sebelumnya di dunia, sebuah kekuatan demi cinta yang sesungguhnya, untuk perdamaian, untuk harmoni; sebuah kekuatan api yang menggelora, sebagai pemberi kehidupan; seorang pencipta laki-laki dan perempuan yang bebas.”
Baca lanjutannya: Emma Goldman, Wanita Anarkis Paling Berbahaya (Bagian 4)