Kawin Tangkap, Antara Tradisi dan Kejahatan Kemanusiaan (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kawin Tangkap, Antara Tradisi dan Kejahatan Kemanusiaan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Apa itu kawin tangkap?

Menurut Martha Hebi, seorang penulis perempuan asal Sumba yang pernah meneliti tentang kawin tangkap, kebiasaan “membawa lari perempuan” untuk dinikahi ini masih terjadi di beberapa wilayah di Sumba. 

Di Kabupaten Sumba Tengah, misalnya, kebiasaan ini dikenal dengan istilah yappa maradda. Praktiknya, perempuan lajang bisa saja tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan laki-laki, lalu dibekap, dan dibawa lari ke rumah keluarga seorang laki-laki untuk dijadikan istri.

Walaupun perempuan tersebut meronta atau menjerit minta tolong, Martha mengatakan biasanya tidak ada warga yang membantunya karena dianggap sebagai “sebuah kebiasaan”. Proses yang selanjutnya terjadi kemudian dianggap sebagai "urusan adat".

Martha juga mengatakan bahwa perempuan yang ditangkap biasanya masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihak laki-laki. Relasi itu pula yang akhirnya membuat praktik kawin tangkap sulit ditentang oleh keluarga korban.

“Istilahnya anak om, anak tante, harus ada relasinya. Sering kali relasi kekerabatan ini membuat keluarga perempuan merasa, ‘Ya sudah itu kerabat kita, tidak enak kalau kita batalkan’,” kata Martha.

Selain itu, ada pula kawin tangkap yang terjadi berdasarkan kesepakatan adat antara keluarga perempuan dan laki-laki lebih dulu, seperti yang terjadi pada korban D.

Praktik kawin tangkap ini telah ditentang oleh para pegiat perempuan di Sumba. Bahkan sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah diusut secara pidana. Martha mencatat ada 12 kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2013 hingga 2020. Tapi dia meyakini jumlah kasus yang sebenarnya terjadi ada lebih banyak dari itu.

Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi mengatakan bahwa kawin tangkap “bukan budaya turun-temurun”, melainkan praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.

"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' Begitu di Sumba Timur. Kalau di Sumba Barat, 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' Itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans.

Mengapa praktik kawin tangkap masih langgeng?

Menurut Martha, kawin tangkap masih langgeng karena "masih banyak yang menganggapnya sebagai tradisi".

“Ini masih dilihat sebagai, ‘Ah ini biasa saja, ini sudah tradisi, calonnya memang sudah anak om atau anak tante’. Selalu dibawa ke jalur adat, selalu dibawa ke jalur tradisi. Padahal ini pidana,” kata Martha.

Pada 2020 lalu, para bupati di Pulau Sumba sempat meneken kesepahaman untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba, setelah kasus yang menimpa seorang perempuan mengemuka.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, turut menghadiri penandatanganan kesepakatan itu. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.

Namun, Martha menilai kesepakatan itu belum mampu benar-benar menghapus praktik kawin tangkap. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya kasus yang menimpa D.

Hal senada juga disampaikan oleh Aprissa Taranau dari PERUATI. Namun sejak ada konsekuensi hukum atas praktik ini, banyak kawin tangkap dilakukan secara diam-diam dan tak terungkap di media.

“Sebenarnya masih terjadi, tapi hanya karena ditutup-tutupi. Masih setiap tahun pasti terjadi,” kata dia. “Kami hanya ingin menagih janji pemerintah yang sudah mengadakan kesepakatan. Mana realisasinya ketika ini terjadi di depan mata?" 

Langgengnya praktik ini, kata Aprissa, membuat banyak perempuan Sumba merasa was-was karena sewaktu-waktu dapat menjadi korban dan rentan menjadi korban kekerasan.

“Di mana lagi ruang aman untuk perempuan? Di rumah bukan ruang aman karena keluarga juga bisa jadi pelaku kekerasan terhadap anaknya," ujar Aprissa.

Banyak korban pada akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan. Aprissa mengatakan para korban mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan seksual.

"Susah sekali melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap ini, apalagi kalau daya dukung keluarga sangat kurang," tuturnya.

Oleh sebab itu, dia menuntut para perlaku ditindak secara pidana agar timbul efek jera. Tradisi, kata dia, tidak boleh menjadi dalih atas praktik kekerasan berbasis gender ini.

“Kalau kita melihat perspektif korban, kita akan tahu dan tidak akan berpikir ke arah sana [bahwa ini tradisi]. Ini adalah kejahatan kemanusiaan," kata Aprissa. "Kami akan terus bersuara bahwa ini tidak bisa lagi dilakukan."

Related

News 3887958523268626893

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item