Kawin Tangkap, Antara Tradisi dan Kejahatan Kemanusiaan (Bagian 1)


Sejumlah aktivis perempuan mengutuk terulangnya praktik kawin tangkap yang menimpa perempuan berinisial D di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (7/9). Mereka mendesak agar "kekerasan berdalih tradisi" ini dihapuskan.

Berdasarkan video rekaman yang beredar di media sosial dan telah dikonfirmasi, korban D tampak tiba-tiba ditangkap sekelompok laki-laki lalu dibawa menggunakan mobil pikap.

Praktik itu dikenal sebagai "kawin tangkap", yang menurut sejumlah aktivis perempuan di Sumba masih kerap dianggap sebagai tradisi.

"Sebagai perempuan Sumba, saya menganggap ini sebagai kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh lagi dilakukan. Perempuan dianggap sebagai barang, objek, yang tidak punya hak untuk dirinya sendiri," kata Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI), Aprissa Tanau.

Polisi telah menetapkan empat orang tersangka terkait kasus kawin tangkap tersebut. Sebelumnya, polisi mengatakan bahwa menurut hasil pemeriksaan sementara peristiwa itu terjadi setelah ada pembicaraan dari keluarga terduga pelaku dan keluarga korban. Namun, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali.

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, mendorong agar kasus ini diselesaikan secara pidana. Dia mengatakan praktik itu adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, kasus semacam ini juga dapat diproses menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Namun, menurutnya, tantangan terbesar untuk benar-benar menghapuskan praktik ini adalah menghilangkan anggapan kawin tangkap sebagai “praktik budaya”.

Bagaimana kronologi penculikan D?

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Sumba Barat Daya, AKP Rio Panggabean mengatakan peristiwa itu terjadi pada Kamis (07/09) pagi sekitar pukul 10.00 WITA.

Saat D baru saja kembali dari pasar, ia diberitahu pamannya bahwa terjadi keributan di belakang rumah budaya yang berjarak beberapa kilometer dari tempat tinggal D.

D kemudian pergi dengan pamannya ke pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Sumba Daya Barat. Pamannya kemudian turun dari kendaraan untuk membeli rokok.

Setelah menunggu beberapa menit, segerombolan laki-laki yang terdiri dari 20 orang langsung menyekap D dan membawanya ke rumah milik terduga pelaku di Erunaga, Desa Weekura, Sumba Barat Daya.

”Dia [korban] dinaikkan ke mobil pikap dan dibawa ke rumah untuk membicarakan adat,” kata AKP Rio Panggabean.

Setelah video yang direkam warga itu viral di media sosial, polisi langsung memanggil korban, keluarga korban, dan para terduga pelaku untuk dimintai keterangan terkait peristiwa itu.

Perempuan berinisial 'D' yang menjadi korban penculikan dengan dalih 'kawin tangkap' mengaku tidak mengenal terduga pelaku dalam keterangannya kepada polisi

”Setelah kami mendalami keterangan para saksi, memang sebelumnya sudah ada pembicaraan adat dari keluarga korban kepada keluarga terduga pelaku,” ujar Rio.

Namun, menurut Rio, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali. "Kalau dari keterangan korban dia tidak mau dijodohkan seperti ini. Dipaksa begitu," kata Rio.

Rio mengatakan, ada unsur pidana dari peristiwa ini karena "telah merampas kemerdekaan" korban yang diculik secara paksa. Polisi akan mengenakan delik perampasan kemerdekaan berdasarkan KUHP, sekaligus Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam mengusut kasus ini.

Pada hari Sabtu (09/09), Rio mengabarkan bahwa Polres Sumba Barat Daya sudah menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Yohanes Bili Tangggu (29 tahun), Lede Ngongo alias Ama Lius, Lede Ngongo alias Ama Sili, dan Heribertus Tanggu (25 tahun). Keempatnya berasal dari Desa Weekura, Kecamatan Wewewa Barat.

Meski polisi mengatakan bahwa telah ada pembicaraan adat sebelum peristiwa itu terjadi, perwakilan dari keluarga ayah korban mengatakan sebaliknya. Tante korban dari pihak ayah, Lusia Wini Bulu, mengaku sama sekali tidak mengetahui rencana terduga pelaku untuk menculik dan menikahi keponakannya. 

Menurut Luisa, yang menyetujui rencana kawin tangkap itu adalah ibu dan paman korban. Lusia menyatakan dirinya menolak untuk berdamai dengan pihak terduga pelaku, apapun alasannya.

“Perbuatan itu keji dan jelas tidak bermartabat. Kami sepakat meminta [terduga] pelakunya di proses sesuai hukum,” kata Lusia.

Sementara, ayah korban, Timotius Malo, mengatakan lewat sambungan telepon bahwa dia tidak menyetujui pernikahan antara anaknya dengan terduga pelaku.

Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumahnya. Namun, berdasarkan pantauan wartawan di lapangan pada Jumat (08/09) sore, rumah korban dikelilingi oleh massa yang menghalangi akses ke rumah korban.

Baca lanjutannya: Kawin Tangkap, Antara Tradisi dan Kejahatan Kemanusiaan (Bagian 2)

Related

News 1225527912864095040

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item