Terlalu Asyik di Dunia Maya, Sampai Lupa Realitas Dunia Nyata


Kebanyakan online dapat mengubah pandangan seseorang tentang dunia. Mereka akhirnya suka meributkan hal-hal sepele yang kerap tidak masuk akal.

Pemain lama di platform media sosial mana pun pasti menyadari ekosistemnya sudah banyak berubah belakangan ini. Sayangnya, alih-alih bertambah bagus, konten yang kita konsumsi di aplikasi pilihan semakin tak berbobot. 

Istilah untuk orang yang terpaku pada kehidupan dunia maya sudah muncul sejak 2010-an, tapi julukannya kala itu masih “extremely online”. Menurut artikel The Daily Dot istilah tersebut diduga populer berkat sebuah twit random pada 2014. 

“[Extremely online] menggambarkan orang-orang yang tahu, atau bahkan terobsesi untuk mengetahui, semua hal yang ramai dibicarakan [di internet],” tulis jurnalis Jay Hathaway yang mengulik tren baru ini.

Istilahnya berkembang menjadi “terminally online” pada pertengahan 2010-an, sejalan dengan mengganasnya perilaku pengguna internet di dunia Barat. Mereka jadi gampang marah, pendendam, dan postingannya tidak dapat dipercaya.

Pada saat skandal Cambridge Analytica terkuak, kasus kebocoran data ini bukan cuma menumbuhkan rasa tidak aman berselancar di internet, tetapi juga memengaruhi cara kita berinteraksi di media online. Semua orang mengangkat isu ini, dan terobsesi dengan penggunaan internet pribadi. Mark Zuckerberg menjadi musuh seluruh umat manusia.

Jejaring sosial tambah kacau pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016. Kebetulan, pria itu cukup aktif di Twitter. Trump merupakan sosok berpengaruh pertama yang berkicau tanpa filter. Ia ngetwit sesuka hatinya, tak peduli dia mesti menjaga profesionalitas. 

Bagi para pendukungnya, yang mayoritas menganut ideologi sayap kanan, Trump adalah simbol transparansi dan kejujuran, yang kemudian memicu sikap masa bodoh di internet. Semakin banyak orang blak-blakan mengutarakan isi kepala mereka. Dari sinilah, opini sekecil apa pun berpotensi menjadi sumber keributan.

Tingkah netizen kian menjadi-jadi kala munculnya berbagai platform baru yang memungkinkan orang untuk online setiap saat. Sekarang, istilah “Chronically Online” memenuhi feed kita, dari Instagram hingga TikTok. 

Sebagai generasi yang melek internet, Gen Z mengadopsi istilahnya untuk menggambarkan hubungan kita yang berubah di dunia maya. Internet bukan lagi tempat mencari hiburan, tapi kita telanjur terjebak di dalamnya. Kita perlu berhati-hati memposting sesuatu jika tidak ingin jadi lalapan mereka yang kebanyakan online.

Paparan budaya internet yang berlebihan diyakini telah mengacaukan cara seseorang memandang dunia. Maka tidak heran bila ada orang yang panas melihat perempuan menunjukkan kasih sayangnya pada sang suami, lalu menuduhnya melanggengkan patriarki.

Setiap orang tentu berhak menyampaikan pendapat, apalagi di zaman sekarang kita terpapar segala jenis informasi di internet. Namun, jika tidak dibarengi pemahaman dan kemampuan literasi mendalam, paparan itu akan membuat kita bingung dan terpisah dari realitas yang ada. Dengan dirancangnya algoritma yang memprioritaskan kontroversi, cara kita memandang dunia ikut terbalik.

Sebagian besar pertikaian yang melintas di linimasa cenderung bukanlah permasalahan nyata. Tapi kini, debat tidak jelas telah meramaikan obrolan kita sehari-hari.

Related

Internet 1627089054123338259

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item