Polemik Hukuman Tembak Mati untuk Begal di Medan (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Polemik Hukuman Tembak Mati untuk Begal di Medan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Bukan Kebijakan Pemerintah yang Baik 

Research And Policy Analyst Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menilai, upaya mendukung tembak begal menandakan kegagalan pemerintah daerah. Ia menilai, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan lain jika ingin menyelesaikan masalah keamanan daripada tembak mati begal. 

“Pernyataan itu aku nilai sikap putus asa kepala daerah. Masih ada instrumen lain yang bisa dilakukan untuk cepat dan tangkal kejahatan," kata Riko. 

Riko menuturkan, strategi penanganan kejahatan lewat tembak mati belum pernah dilakukan kepala daerah. Ia menambahkan, "Kepala daerah dukung sikap tembak di tempat. Berbeda dengan dukung tembak mati.” 

Riko mengingatkan, pertahanan dan keamanan adalah wewenang absolut pemerintah pusat sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah, dalam kacamata Riko, seharusnya cukup berkoordinasi dengan Polda maupun Polres sesuai tingkat masing-masing untuk membahas upaya peningkatan keamanan daerah. 

Penanganan kejahatan pun bukan parameter keberhasilan kepala daerah, melainkan aparat keamanan, yakni kepolisian. Bagi Riko, penguatan basis keamanan komunitas bisa menjadi solusi penyelesaian masalah keamanan daripada tembak mati begal. Di sisi lain, pemerintah daerah bisa mengembangkan sistem keamanan secara terintegrasi dengan memanfaatkan CCTV maupun hotline layanan keamanan selain penguatan koordinasi dengan pemerintah daerah. 

”Lagi pula penanganan kejahatan tidak selalu berorientasi penegakan hukum juga pada pencegahan," kata Riko. 

Analis pertahanan dan keamanan sekaligus Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, dukungan Bobby terhadap tindak tembak mati penjahat bukan solusi dalam menciptakan keamanan. Ia khawatir aksi tersebut malah memicu ketakutan dan simbol pemerintah yang putus asa dalam memberikan rasa aman pada publik. 

“Praktik seperti ini hanya akan menghadirkan kepanikan dan ketakutan sesaat. Dukungan pada aksi tembak mati ini menunjukkan masyarakat sudah 'gedek', tapi pemerintah termasuk kepolisian sudah hampir putus asa mengatasi kejahatan jalanan," kata Fahmi. 

Ia menambahkan, "aksi tembak mati bagi pelaku kejahatan [jalanan] adalah sebentuk hukuman putus asa. Artinya, pemerintah dan kepolisian setempat gagal mengelola keamanan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerahnya dan mencegah kejahatan dari akarnya, yaitu ketidaktertiban sosial.” 

Fahmi mengatakan, keberanian pelaku kejahatan muncul jika aparat mulai kehabisan energi dalam menciptakan keamanan. Ia mengingatkan Indonesia sudah melakukan hal serupa lewat aksi model penembakan misterius atau dikenal dengan "petrus". Sejumlah negara seperti El Salvador dan Filipina juga melakukannya beberapa waktu lalu. 

Dalam kacamata Fahmi, Bobby mungkin lupa bahwa Polri bukan pengadil. Dalam sistem hukum yang berlaku, perannya adalah menangkap orang-orang yang diduga menjadi pelaku kejahatan, supaya bisa dibawa ke pengadilan. Semua tindakan hukum harus didasari asas praduga tidak bersalah. Hakim, kata Fahmi, yang memastikan para terduga pelaku itu bersalah atau tidak. 

“Jika hakim meyakini bahwa mereka telah terbukti bersalah, hukuman pidana dijatuhkan. Jika tidak bersalah, mereka harus dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya. Nah, bagaimana jika korban aksi tembak mati itu ternyata tidak bersalah?” kata Fahmi. 

Di sisi lain, aksi tembak mati menandakan pemerintah tidak bisa melakukan perbaikan tata kelola di wilayah. Ia mengingatkan salah satu indikator kualitas hidup masyarakat dapat dilihat dari kenyamanan warga. Hal ini berkaitan dengan ketertiban sosial sebagai salah satu tolok ukur di luar aspek lain seperti sanitasi maupun ancaman kebakaran. 

Ketidaktertiban sosial seperti mabuk, madat dan judi, kerap disandingkan dengan Faktor Korelatif Kriminogen dan menjadi pemicu kejahatan jalanan, di mana pelaku dan korbannya pun tidak pilih-pilih. Bisa orang-orang terdekat, bisa orang tak dikenal. 

"Sedihnya, aparatur daerah dan kepolisian nyaris tak punya pemahaman sosio-kultural yang cukup untuk memfasilitasi disepakatinya ambang batas ketidaktertiban sosial di satu wilayah," tutur Fahmi. 

Fahmi mengingatkan pentingnya memahami keberadaan hukum pidana. Hukum pidana adalah upaya pembinaan agar pelaku kejahatan menyadari kesalahan, memperbaiki perilaku dan tidak mengulangi ketika kembali ke publik. 

Tembak mati tidak bisa memberikan efek jera, melainkan hanya menekan angka kejahatan selama pemerintah berupaya serius untuk menghilangkan ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan. Hal tersebut, kata Fahmi, juga berarti soal pengelolaan harapan, bukan rasa takut. Aksi tembak mati memang bisa membuat pelaku tak mampu mengulangi perbuatannya. Namun kecil sekali kemungkinan untuk dapat mengurangi kemunculan pelaku kejahatan baru. 

“Kejahatan jalanan itu berkelindan dengan masalah ketidaktertiban sosial dan disparitas layanan dasar pemerintah. Selama ketidaktertiban sosial dan layanan dasar tak dibereskan, ancaman kejahatan jalanan akan selalu hadir. Siapapun yang berada dalam spektrum ketidaktertiban sosial, jika tak menjadi pelaku, ya akan berpotensi menjadi korban kejahatan," kata Fahmi. 

Related

News 5787273060998079889

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item