Menengok Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2023/07/menengok-kasus-kerangkeng-manusia-di.html
Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-angin ditetapkan sebagai tersangka kasus kerangkeng manusia, Selasa (05/04). Kapolda Sumatra Utara Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak mengungkapkan, Terbiit dikenakan pasal berlapis terkait kasus kerangkeng manusia di rumahnya itu.
Dia dipersangkakan melanggar Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terbit juga dikenakan Pasal 333 KUHP, Pasal 351, Pasal 352 dan Pasal 353 penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia serta Pasal 170 KUHP.
Dengan demikian, ada sembilan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia di rumah Terbit. Terbit juga terjerat kasus dugaan suap kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, dan tengah ditahan KPK sebagai tersangka.
Sebelumnya, Polda Sumatra Utara menetapkan delapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin. Namun mereka tidak langsung ditahan.
Mereka yang jadi tersangka berinisial HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG, dan PS berdasarkan hasil gelar perkara, ungkap Kabid Humas Polda Sumatra Utara, Hadi Wahyudi di Medan, Selasa (22/3), seperti dikutip kantor berita Antara. Mereka sebelumnya adalah saksi dalam kasus tersebut dan segera akan dipanggil kembali oleh penyidik untuk dimintai keterangan.
Para tersangka yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam proses tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ada sebanyak 7 orang, berinisial HS, IS, TS, RG, JS, DP dan HG.
"Pasal yang dipersangkakan, Pasal 7 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman 15 tahun ditambah sepertiga ancaman pokok," kata Hadi.
Kemudian, tersangka penampung korban TPPO ada dua orang berinisial SP dan TS. Keduanya dikenakan Pasal 2 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Khusus tersangka inisial TS dikenakan dua pasal tersebut.
Para tersangka, lanjut Hadi, tidak langsung ditahan meski ancaman hukuman mereka maksimal 15 tahun penjara. Biasanya, dengan alasan objektif, polisi langsung menahan tersangka bila ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara.
"Penetapan itu hasil gelar perkara. Dulu yang bersangkutan sudah diinterogasi kapasitas sebagai saksi," kata Hadi.
Setelah penetapan tersangka tersebut, Polda Sumut baru akan memanggil kembali mereka untuk diperiksa sebagai tersangka. Kemudian, penyidik menurut Hadi, baru akan melengkapi dokumen surat perintah penangkapan dan penahanan.
Pengusutan oleh polisi disebut 'berjalan lambat'
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatra Utara sebelumnya mengatakan pengusutan kasus dugaan kekerasan dan perbudakan di kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat "berjalan lambat".
Pegiat Kontras, Adinda Zahra Noviyanti, mengatakan lambatnya penanganan kasus ini, salah satunya, dipicu oleh adanya dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri dalam kekerasan di kerangkeng itu.
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, yang menyatakan "tarik menarik kekuatan politik lokal" yang dimiliki Bupati Langkat non-aktif, Terbit Rencana Perangin-angin, turut berpengaruh dalam kasus ini.
"Bahwa ada oknum-oknum yang selama ini terlibat, baik TNI-Polri, ormas, dan kekuatan lokal itu sedikit banyak mempengaruhi proses jalannya hukum dalam kasus ini," kata Maneger.
LPSK menduga "ada lebih banyak" oknum TNI-Polri yang diduga terlibat selama kerangkeng manusia itu beroperasi sejak 2010, yang juga harus diusut secara tuntas. Sedangkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan anggota TNI-Polri diduga turut terlibat melakukan kekerasan.
Komnas HAM juga menyebut Bupati Terbit sebagai "aktor oligarki lokal", sehingga aparat penegak hukum "mengabaikan" perbudakan dan penganiayaan di kerangkeng itu selama belasan tahun.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan telah memberikan nama 19 orang, termasuk anggota TNI-Polri, yang diduga menjadi pelaku kekerasan.
Namun, polisi belum menetapkan satu pun tersangka hingga Minggu (13/3) sejak kerangkeng manusia itu ditemukan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menggeledah rumah Bupati Terbit pada 19 Januari 2022.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, membantah anggapan bahwa penanganan kasus ini berjalan lambat. Dia juga membantah adanya dugaan bahwa proses penyidikan terpengaruh oleh keterlibatan anggota TNI-Polri maupun kekuatan politik yang dimiliki Bupati Terbit.
"Enggak ada itu. Penyidik bekerja profesional dan sesuai fakta. Anggota yang terlibat tidak akan ragu ditindak," kata Hadi.
Mengapa kasus ini dianggap berjalan lambat?
Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumatera Utara mengatakan polisi semestinya sudah memiliki alat bukti yang cukup, berdasarkan temuan di lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Tetapi, hingga hampir dua bulan sejak kerangkeng manusia itu pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka. Padahal Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan yang menunjukkan bahwa "kekerasan, perbudakan, kerja paksa, hingga praktik perdagangan orang betul terjadi" di kerangkeng itu.
"Alat bukti juga sudah disita juga sama kepolisian, jadi kami merasa sebetulnya kepolisian sudah punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini," kata Adinda.
Kontras mengatakan dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambatnya penanganan kasus ini.
"Pada banyak kasus yang Kontras tangani, ketika kasusnya melibatkan personil TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus itu," kata Adinda.
Dalam kasus ini, dia mendesak Polri transparan dalam mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.
"Jangan sampai itu jadi bahan pertanyaan besar, kenapa akhirnya dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang punya kuasa, dalam hal ini kasus kerangkeng Lahat, proses penetapan tersangkanya sangat lambat," ujar dia.
Baca lanjutannya: Menengok Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat (Bagian 2)