Kisah WNI yang Pindah Jadi Warga Negara Singapura (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah WNI yang Pindah Jadi Warga Negara Singapura - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Beasiswa itu berupa hibah biaya pendidikan atau tuition grant untuk studi sarjana selama maksimal empat tahun. Namun ada syaratnya: setelah penerima beasiswa harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun.

"Nah biasanya anak anak yang pindah jadi warga negara Singapura itu adalah mereka yang sudah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Singapura baik itu fasilitas pendidikan maupun fasilitas publik yang lain seperti misalnya transportasi publik, kesehatan, dan sebagainya,” kata Prof. Sulfikar.

"Belum lagi kita bicara tentang kondisi kota yang jauh lebih baik dari kota-kota manapun di Indonesia ya; polusinya itu sangat rendah ya kemudian transportasi publiknya yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Jadi nyaman lah.”

Faktor tambahan yang membuat banyak orang berpindah kewarganegaraan, menurut Prof. Sulfikar, adalah paspor Singapura yang merupakan salah satu paspor paling sakti di dunia. Paspor Singapura menempati peringkat ke lima dalam daftar Passport Index dan dapat masuk ke 127 negara tanpa visa.

"Sementara kita pakai paspor Indonesia ke mana-mana itu, aduh, diperlakukan sangat tidak enak ketika kita minta visa,” kata Prof. Sulfikar.

Bagaimanapun, berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa kawan yang sudah berpindah warga negara, Prof. Sulfikar mengatakan para WNI yang jadi WN Singapura sesungguhnya tidak pernah benci atau kecewa dengan Indonesia. Prof. Sulfikar mengamati, apapun yang terjadi dengan Indonesia, mereka tetap merasa itu adalah bagian dari identitas mereka sebagai orang Indonesia yang tinggal di Singapura.

"Tapi mereka melihat bahwa mungkin pekerjaan mereka itu tidak terlalu dihargai kalau mereka tetap ada di Indonesia; khususnya teman-teman yang ada di dunia akademik ya, atau di dunia pendidikan. Lalu kemudian ada alasan-alasan yang bersifat personal yang tentu saja sangat kompleks,” dia menjelaskan.

Waspada brain drain

Dirjen Imigrasi Silmy Hakim mengatakan kepindahan sejumlah WNI ke Singapura karena ingin mendapatkan kesempatan dan kehidupan yang lebih baik adalah wajar.

Namun jumlahnya yang cukup banyak, serta fakta kebanyakan dari mereka sedang di usia produktif, patut menjadi alarm akan kemungkinan pelarian modal manusia atau brain drain di Indonesia.

Istilah tersebut merujuk pada perpindahan orang-orang pintar dan terdidik ke luar negeri sehingga negara asalnya kehilangan otak yang terampil.

"Ini fenomenanya kan yang pindah itu adalah orang-orang produktif memiliki keahlian, expertise, dan talenta-talenta baik ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya ada di Indonesia? Itu kan menjadi PR bersama,” ujarnya.

Duta besar Indonesia di Singapura, Suryopratomo, mengatakan angka 1.000 WNI per tahun sebenarnya terbilang sedikit dibandingkan jumlah WNI di Singapura yang sekitar 250.000 termasuk 5.000 mahasiswa dan 160.000 pekerja domestik.

Dia memperkirakan angka 1.000 WNI per tahun itu juga mencakup para pengusaha dan warga lanjut usia (lansia) yang memutuskan untuk tinggal di Singapura setelah pandemi Covid-19.

Menurut dia, banyak WNI lansia terutama merasa lebih nyaman tinggal di Singapura karena sistem kesehatan dan lingkungan yang lebih baik.

"Banyak orang yang pertama waktu Covid itu memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura karena mereka merasa lebih aman hidupnya kalau nanti terjadi pandemi lain,” kata Suryopratomo.

Bagaimanapun, Suryopratomo tidak memungkiri bahwa brain drain tampaknya benar-benar terjadi. Untuk mencegah itu, imbuhnya, Indonesia perlu menawarkan kehidupan yang lebih menyenangkan, lebih nyaman, lebih menantang, serta lebih banyak ruang untuk maju.

"Kita tahu bahwa ternyata memang brain drain itu terjadi. Nah pertanyaannya adalah kita menyalahkan siapa? Menyalahkan orang dianggap tidak punya nasionalisme? Karena orang bukan cuma sekedar butuh uang, tapi dia butuh aktualisasi diri sebagai manusia dan itu kalau dia punya pekerjaan,” ujarnya.

Septian merasa pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan upaya untuk mencegah brain drain dengan berbagai program seperti beasiswa LPDP, yang mensyaratkan penerimanya untuk pulang dan bekerja di Indonesia selama dua kali masa studi ditambah satu tahun (2n+1).

"Zaman dahulu, banyak mahasiswa Indonesia tidak punya banyak opsi ketika ingin ke luar negeri karena itu opsi dari Singapura ini cukup atraktif,” ujarnya.

Dan dia mengamati bahwa setidaknya di kalangan mahasiswa juniornya, jumlah orang yang pindah kewarganegaraan tidak sebanyak di angkatannya.

"Pemerintah sudah menyadari mereka harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan talenta mereka. Dulu enggak ada, jadi banyak brain drain.”

Related

News 5717632353534071757

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item