Kisah dan Pengakuan Orang-orang yang Dituduh PKI Pada 1965 (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah dan Pengakuan Orang-orang yang Dituduh PKI Pada 1965 - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

'Bisa tidur nyenyak, itu impian saya'

(Sampan Purba, 75 tahun, eks tapol pulau Buru, guru di Kabupaten Sragen, Jateng, ditangkap pada 1965)

Pada awal November 1965, saya menyaksikan dengan perasaan mengerikan saat terjadi penangkapan umum terhadap para pimpinan PKI di Sragen.

Tetapi enam hari kemudian, di sebuah pagi, saya justru ditangkap. Sekitar satu regu aparat militer dan puluhan Pemuda Marhaen berpakaian serba hitam mendatangi rumah saya.

Mereka bertanya: mana senjatamu! Saya jawab: saya tidak punya senjata, karena saya guru. Lalu saya tanya: saya mau dibawa kemana? Mereka balik menjawab ketus: Nggak usah tanya, saya tempeleng kamu!

Ketika saya ditangkap, saya punya dua anak. Anak pertama berusia dua tahun dan yang kedua masih bayi.

Saat saya ditahan di penjara Sragen, saya ingat, setiap malam ada orang-orang yang dibawa keluar atau istilahnya 'dibon'. Ada yang dikembalikan dalam kondisi sakit parah, tapi ada yang tidak kembali alias sudah 'dihabisi'.

Tiap jam tujuh malam, terdengar dering telepon, kemudian ada suara-suara agar pihak penjara menyiapkan orang-orang yang hendak dibawa keluar tersebut. Lalu tentara datang dan orang itu kemudian dibawa.

Saya dan orang-orang yang ditahan dipaksa kerja paksa, mulai membuat jalan hingga saluran air bendungan. Tiap hari kami berangkat pukul enam pagi dan tiba kembali pukul tiga dini hari.

Saat itu, saya selalu mengimpikan bisa tidur nyenyak, karena praktis kami tidak bisa tidur nyenyak.

Pada awal Oktober 1970, saya akhirnya dibawa ke pulau Buru dan ditempatkan di unit lima. Kami dipaksa menanam padi, kita membikin nasi sendiri.

Ada peristiwa mengerikan yang tidak bisa saya lupakan. Suatu hari ada informasi seorang tentara tewas.

Kami para tapol kira-kira 500 orang kemudian dikumpulkan dan dipukuli dengan kayu sejak pukul tiga sore sampai sembilan malam. Satu regu tentara melakukan pemukulan dan jika mereka letih diganti regu lainnya.

Saya berusaha memilih tempat yang aman agar tidak kena pukulan. Apabila kayu itu rusak, maka dicari kayu lainnya untuk memukul kami.

Ketika siksaan itu berakhir pukul sembilan malam, saya mendengar ada 12 tapol yang tewas. Mereka kemudian dikubur dalam satu liang.

Pada 1978, saya dipulangkan dari pulau Buru. Istri sudah minta cerai. Saya tidak bekerja, dan akhirnya saya meneruskan keahlian sebagai dalang wayang kulit. Saya bisa melakukannya walaupun saat itu eks tapol dilarang menjadi dalang.

Dalam KTP saya ada tulisan ET (eks tapol), tapi kemudian saya tutupi potret diri saya. Jadi tidak kelihatan. Aman.

'Saya masih berstatus tahanan kota sampai sekarang'

(Sudjijato, bekas anggota TNI angkatan darat, berpangkat sersan dua, ditangkap pada 1967 setelah kembali dari operasi Dwikora di Kalimantan)

Saya setuju dan menunggu pembuktian rencana permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada eks tapol 1965. Tetapi permintaan maaf itu harus ditindaklanjuti dengan pengungkapan kebenaran kasus ini dan harus ada pengembalian nama baik bagi korban. Setelah itu barulah digelar rekonsiliasi.

Soal pengembalian nama baik itu sangat penting buat saya, karena saya dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses hukum pada 1967 setelah saya kembali dari operasi Dwikora di Kalimantan.

Saya dipenjara di Pekalongan, Jateng, selama tujuh tahun. Dan setelah dibebaskan pada 1974, saya dikenai tahanan rumah dan wajib lapor selama satu tahun. Setelah itu, suratnya diganti menjadi tahanan kota. Sampai sekarang surat tentang status tahanan kota terhadap diri saya belum dicabut.

Pada tanggal 16 Mei 2015 lalu, saya mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, Kepala staf Angkatan Darat dan Pangdam setempat, untuk mempertanyakan nasib kami sebagai pejuang Angkatan Darat yang disengsarakan.

Saya masih ingat, setelah kembali bertugas dari operasi Dwikora dalam konfrontasi dengan Malaysia di Kalimantan, ada perintah agar senjata dimasukkan gudang dan saya dimasukkan ke penjara.

Sulit menerima logika sangkaan yang diberikan kepada saya. Lagi pula, saat peristiwa G30S, saya masih bertugas di Kalimantan.

Tetapi saya masih ingat, Pangdam Diponegoro saat itu memerintahkan agar kesatuan saya untuk menandatangani 'berdiri di belakang' Presiden Sukarno tanpa reserve. Saya langsung tanda tangan, karena itu perintah Pangdam Diponegoro pada waktu itu.

Ketika saya dipenjara, saya berpisah dengan istri. Dia meminta cerai. Ya, sudah. Semua sudah remuk. Terus terang saja, semua akhirnya rusak. Dan ini memang sengaja dirusak.

Soalnya, anggota militer yang dijebloskan ke penjara Pekalongan, hampir 90 persen akhirnya menjadi duda, karena istri-istrinya minta cerai semua. Anak-anaknya bubar semua. Ini saya terus terang.

Mengapa saya akhirnya bisa bertahan hidup? Mental saya kuat, sehingga membuat saya optimis sampai sekarang, sehingga dapat bertemu Anda. Saya juga bisa menjaga kesehatan.

Memang setelah saya dibebaskan, ada stigma terhadap diri saya karena dianggap 'orang PKI'. Tapi saya bisa bekerja walaupun tidak boleh keluar kota. Saya saat itu bekerja pada usaha pembuatan batik dan memiliki 16 karyawan. Ini artinya ada orang yang mau bekerja di tempat saya.

Ya, KTP saya memang ada tulisan ET (eks tapol) yang kemudian dihilangkan setelah Pak Harto meninggal dunia.

Related

Indonesia 1281100591202475930

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item