Kisah dan Pengakuan Orang-orang yang Dituduh PKI Pada 1965 (Bagian 1)


(Deborah Sumini, kelahiran 1946, warga Pati, Jateng, mahasiswa Institut Pertanian dan Gerakan Tani, Bogor, ditangkap pada 1965)

Saya berusia 18 tahun ketika menuntut ilmu di Institut Pertanian dan Gerakan Tani di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Ini memang yayasan milik PKI.

Saya baru tiga bulan di sana. Saya ketika itu tidak tahu ada peristiwa G30S. Saya masih ingat, kampus kami kemudian didemo oleh KAPPI dan KAMI. Ada spanduk 'ganyang Aidit' segala.

Kami kemudian dipulangkan. Apabila situasi pulih, kami akan dipanggil lagi. Saya mengira situasi gejolak itu tidak akan berlangsung lama.

Saya lantas pulang. Di sepanjang jalan, banyak papan nama PKI diturunkan, rumah-rumah dirusak, mulai Bogor sampai Pati, Jawa Tengah, tempat saya tinggal.

Di rumah, 8 Oktober 1965, kakak sulung saya tidak ada, sudah 'diambil'. Situasi sangat genting. Lemari di kamar sudah diobrak-abrik. Buku-buku milik kami sudah diambil.

Setelah menyelamatkan diri dan sempat tinggal di rumah teman, saya dilaporkan oleh seseorang. Makanya, pada pukul 12 malam, rumah tempat saya tinggal digeruduk oleh polisi, Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Marhaen. Rumah didobrak, saya dipukuli dan tidak sadarkan diri.

Di kantor Polres Pati, saya disiksa. Setiap saat, siang atau malam, saya 'dibon'. Para penyiksa itu selalu mengajukan pertanyaan tetap: 'Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jendral' atau 'Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jendral' atau 'Ini penari Harum Bunga'.

Karena saya tidak melakukannya sehingga saya tidak mengakuinya, saya kemudian disiksa. Penyiksanya sampai sepuluh orang. Kaki saya diletakkan di bawah kaki meja. Kemudian meja itu diinjak mereka.

Dalam kondisi tidak sadar, saya kemudian ditelanjangi. Terus tubuh saya dicolok dengan puntung rokok dan dialiri listrik. Saya baru tahu saya ditelanjangi, setelah terbangun dan mengetahui pakaian saya sudah diganti. Saya tidak bisa membayangkan...

Semua ini berlangsung sampai sekitar lima bulan. Tanggal 30 April 1966, saya dipindah ke LP khusus perempuan di Bulu, Semarang, Jateng.

Di sini kondisinya tidak manusiawi. Ruangan yang seharusnya didiami 25 orang diisi sampai 56 orang. Jadi kalau tidur dalam posisi miring, kami miring semua. 'Ayo saatnya mlumah (telentang) atau saatnya miring,' begitulah kami menghibur diri.

Saya belajar menjahit, tetapi sebagian masyarakat selalu memberi stigma 'saya bekas Gerwani, eks tapol, PKI, atau pengkhianat yang membunuh jendral'.

Dan anak saya juga kena getahnya. Salah-satu anak saya yang nilai rata-ratanya 9 dan 10, tidak mendapat ranking di sekolah. Belakangan saya tahu, itu terjadi karena anak saya merupakan anak eks tapol.

Dan ketika anak saya yang berprestasi diajak gurunya ke SMA Nusantara di Magelang, dia akhirnya gagal diterima, walaupun saya yakin dia mampu. Saya yakin dia digugurkan karena orang tuanya eks tapol. Anak saya hampir frustasi karena masalah ini.

Mengapa anak saya yang tidak tahu-menahu dikait-kaitkan dengan apa yang saya alami. Inilah yang sekarang saya minta kepada pemerintah: saya tidak tahu-menahu soal G30S, saya tidak salah, kenapa saya diperlakukan sedemikian rupa.

Semoga rencana atau wacana permintaan maaf oleh Presiden Jokowi itu bisa dijabarkan atau diimplementasikan.

'Saya menangis bila ingat keluarga saya berantakan'

(Supardi, 75 tahun, eks tapol pulau Buru, bekas seniman Lekra, calon relawan konfrontasi dengan Malaysia pada 1964)

Pada usia 25 tahun, saya ditahan karena kebetulan komandan relawan 'ganyang Malaysia' adalah anggota PKI asal Situbondo, Jatim. Saya dipaksa mengaku mengetahui latar peristiwa G30S, tetapi saya jawab tidak tahu karena memang tidak mengetahuinya.

Saat ditahan di Polres Pati dan Baperki, saya dituduh anggota Pemuda Rakyat (organisasi kepemudaan PKI), dan saya menyatakan itu tidak benar. Jawaban ini membuat saya disiksa. Pokoknya saya dipaksa mengaku anggota PKI.

Pada September 1971, saya dibawa ke Pulau Buru dan mendekam delapan tahun. Saya tidak bisa melupakan segala siksaan yang saya alami di pulau itu, walaupun sudah setengah abad lalu. Seperti kejadian kemarin saja.

Saya masih ingat para pengawal mengatakan para tapol itu bukan manusia.

Ketika disiksa, saya tidak pernah menangis, tetapi saya kadang menangis kalau teringat keluarga. Bapak saya juga ditahan saat itu, sementara ibu tinggal di rumah. Adik saya ikut membantu ibu saya untuk mencari ubi ke Gunung Muria untuk makanan saya dan bapak selama ditahan.

Keluarga saya berantakan. Rumah dijual. Semua ipar saya juga ditahan.

Setelah dibebaskan dari pulau Buru pada Agustus 1979, saya tidak punya apa-apa. Rumah nyaris roboh. Saya akhirnya menikahi janda yang memiliki dua anak, yang suaminya dibunuh setelah peristiwa G30 1965. Saya menumpang hidup.

Di desa tempat saya tinggal, saya dihormati. Tapi di luar kampung, saya selalu terkena stigma. KTP saya ada tulisan ET (eks tapol). Saya selalu dicurigai seolah-olah hendak menghidupkan PKI.

Andaikata Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada korban 1965, itu belum berarti masalahnya selesai, sebelum ada kejelasan tentang rehabilitasi nama baik saya. Juga kenapa orang tidak bersalah ditahan.

Saya juga menuntut proses hukum terhadap pelaku agar semuanya menjadi jelas. Kalau rekonsiliasi tanpa penyelesaian hukum, itu bukan rekonsiliasi.

Selama ini, saya memaafkan para pelaku kekerasan terhadap saya. Para pelaku juga merupakan korban, karena dipaksa untuk membunuh orang-orang yang dituduh PKI.

Baca lanjutannya: Kisah dan Pengakuan Orang-orang yang Dituduh PKI Pada 1965 (Bagian 2)

Related

Indonesia 6799017958512751297

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item