Kisah dan Kronologi Kerusuhan Tasikmalaya 1996 (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah dan Kronologi Kerusuhan Tasikmalaya 1996 - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Suasana berubah panas. Dalam situasi seperti itu, pada 26 Desember 1996, para santri menggalang aksi solidaritas di Masjid Agung Tasikmalaya. Mereka berdoa untuk kesembuhan Ustaz Farid dan para santri yang terluka. Ribuan orang berkumpul. Massa bukan hanya dari Tasikmalaya, tapi juga dari daerah sekitar seperti Garut, Ciamis, dan Majalengka. 

“Pemda tak bisa melarang. Hanya ada kesepakatan. Dalam acara itu para santri mengenakan tanda janur kuning di lengan agar tak disusupi oknum liar,” tulis Gatra. 

Suasana menjadi keruh karena beredar isu Ustaz Farid dikabarkan meninggal dunia. Hujatan-hujatan terhadap polisi terdengar. “Saya berharap semua tenang. Semua oknum pelaku pasti ditindak tegas,” ujar Kolonel M. Yasin, Danrem Tarumanegara. 

Namun, massa bukannya tenang, melainkan bergerak menuju ke kantor Polres Kota Tasikmalaya. Mereka ditemui Letkol Suherman, yang menyampaikan permintaan maaf sambil berjanji akan segera menindak anak buahnya. Perkataan Kapolres itu berhasil meredakan emosi massa. Giliran bupati yang menenangkan massa. Namun, itu tak ampuh. Kantor Kapolres dilempari batu. 

Hari semakin siang dan tiba azan zuhur. Itu sejenak menghentikan pergerakan massa. Setelah salat, massa kembali bergerak ke arah pusat kota. Ribuan santri, yang telah berbaur dengan warga, semakin tak terkendali. Amarah tumpah. Kerusuhan pecah. Perusakan, penjarahan, dan pembakaran melumpuhkan kota. 

“Mula-mula mereka merusak rambu-rambu jalan dan pot-pot bunga. Berikutnya sasaran amuk meluas. Puluhan toko—termasuk Matahari, Ramayana, dan Yogya—dirusak, dijarah, dan sebagian dibakar. Mobil yang sedang parkir di pinggir jalan digulingkan, kemudian disulut dengan api dan terbakar,” tulis Tempo.

Kerusuhan mengarah kepada sentimen agama dan ras. Sejumlah gereja dan sekolah Kristen dibakar. Pertokoan milik orang-orang Tionghoa diserang. Untuk melindungi harta benda, sejumlah warga menempelkan poster dengan tulisan: “Ini toko Muslim”, “Toko ini jangan dibakar, di belakangnya ada masjid”, “Mobil milik Muslim”, dan lain-lain. 

Annisa Mardiani, dalam makalah bertajuk “Kerusuhan Sosial di Tasikmalaya 1996”, yang dipublikasikan Universitas Indonesia, mencatat sejumlah korban dan kerugian akibat kerusuhan tersebut. Total kerugian ditaksir mencapai Rp85 miliar. Amuk massa itu mengakibatkan 4 orang meninggal terkena serangan jantung, terbakar, jatuh dari mobil dan terlindas, serta satu orang tak diketahui penyebabnya. 

'Ketimpangan Ekonomi dan Kecurigaan terhadap Pemerintah' 

Huru-hara yang menyerang sejumlah gereja dan pertokoan milik orang-orang Tionghoa, menurut K.H. Ilyas Ruhiyat, Rais Am PBNU waktu itu, selain dipicu kasus penganiayaan sejumlah polisi terhadap ustaz dan santri, juga karena kesenjangan sosial serta sentimen rasial dan agama. 

“Banyak yang susah mencari kerja. Mau jadi pegawai susah. Begitu juga masalah tanah yang digusur karena dipakai proyek tertentu. Pedagang yang sering tergusur dari tempat kerjanya karena penertiban. Ini yang membikin mereka makin menggelora. Dadanya sudah penuh sesak dengan berbagai kekecewaan dan ketidakpuasan,” ujarnya sebagaimana dikutip Gatra. 

Amuk massa di Tasikmalaya terjadi dua tahun sebelum reformasi menggusur Soeharto. Saat itu penguasa Orde Baru mulai mendeteksi sinyal bahaya bagi kedudukannya. Dua bulan sebelum kerusuhan Tasikmalaya, amuk massa terjadi di Situbondo, yang dipicu oleh kasus penodaan agama Islam. Sejumlah kalangan menyebut huru-hara di dua basis NU itu adalah ulah rezim Orde Baru untuk menggembosi dan memecah belah umat, khususnya kaum nahdliyin lewat operasi yang bernama Naga Hijau. 

“Ada kecenderungan gerakan massa seperti sudah terencana, sehingga faktor pemicu awal hanya dijadikan momentum untuk melakukan perusakan terhadap sasaran-sasaran utama yang sudah ditentukan sebelumnya,” ujar Laode Ida, sosiolog dari Universitas Indonesia. 

Dalam catatan Zed Abidien dan Abdul Manan dalam majalah D&R (edisi 25 Januari 1997), operasi Naga Hijau yang semula desas-desus menjadi berita nyata saat dilontarkan oleh K.H. Hasyim Muzadi selaku Ketua PWNU Jawa Timur. Menurutnya, ada lima pancingan yang berusaha mengaduk-aduk warga NU dalam rangkaian operasi Naga Hijau, termasuk kerusuhan di Tasikmalaya dan Situbondo. 

Munawir Aziz, wakil sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama, menjelaskan latar sejumlah kekerasan itu lantaran rezim Orde Baru gagal mengintervensi NU lewat Muktamar Cipasung 1994. Abu Hasan, yang didukung Orde Baru, gagal mengalahkan Gus Dur yang akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. 

“Peristiwa ini menjadi latar belakang dari rangkaian kekerasan, teror, dan kerusuhan di beberapa kawasan,” tulisnya dalam Jawa Pos. 

Sementara Presiden Soeharto menyebut sejumlah kerusuhan itu adalah "usaha pihak-pihak tertentu" yang menginginkan kondisi instabilitas. Soeharto berhalusinasi bahwa amuk massa itu sama seperti strategi komunis di Cina. 

“Mao Zedong menggunakan teori kota-desa. Dengan teori itu, mereka mengacau desa, kemudian mengacau kota; atau menguasai desa, kemudian baru menguasai kota dan merebut kekuasaan,” ujar Soeharto, lalu menambahkan bahwa kaum santri selalu waspada dan "tidak membesar-besarkan masalah kesenjangan sosial" di bawah pemerintahannya. 

Related

Indonesia 8840093168670512023

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item