Anti-Natalisme, Kesadaran Mengurangi Kelahiran Manusia (Bagian 1)


Raphael Samuel adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun asal Mumbai, India, yang menyesal karena telah dilahirkan. Sebab itu, Samuel berniat menuntut orangtuanya, karena telah "melahirkannya" tanpa persetujuan darinya. 

Ajaib sekali, kan? 

Hidup Samuel sebetulnya baik-baik saja, bahkan terbilang "luar biasa"—menurut pengakuannya sendiri. Namun demikian, Samuel masih tak dapat benar-benar memahami mengapa di dunia ini ia harus menjalani kehidupan penuh pergolakan. Mulai sejak di sekolah hingga bersusah payah membangun karier. 

"Saya mencintai orangtua saya, dan kami memiliki hubungan yang hebat, tetapi mereka memiliki saya hanya untuk kesenangan mereka. Hidup saya luar biasa, tetapi saya tidak melihat mengapa saya harus menjalani kehidupan ini. Padahal saya tak meminta semua itu saat dilahirkan oleh ibu. Artinya, ini adalah kesalahan,” ucap Samuel seperti dilansir Times of India. 

Samuel adalah seorang penganut anti-natalisme. Mengacu pada forum Reddit, /r/antinatalism, kaum anti-natalis adalah mereka yang "memberi cap negatif pada proses kelahiran manusia. 

Keyakinan itu muncul karena mereka percaya bahwa dunia ini sudah kelewat penuh dengan penderitaan. Karenanya, mereka berpandangan bahwa membiarkan seorang anak lahir dan memaksanya hidup dalam dunia yang sudah rusak ini merupakan tindakan imoral. 

"Saya ingin memberi tahu semua anak bahwa mereka tidak berutang apapun kepada orangtua mereka. Orang-orang India lainnya harus tahu bahwa itu adalah pilihan untuk tidak memiliki anak, dan untuk bertanya kepada orangtua Anda mengapa mereka melahirkan Anda.” 

Di laman Facebook Samuel, Anda akan melihat berbagai statusnya yang berisi informasi seputar anti-natalisme. Ia cukup rutin membagikan pesan-pesan berbau anti-prokreasi untuk “menyadarkan” teman-temannya di Facebook. Atau simak videonya di Youtube yang berjudul ‘Why Am I Suing My Parents?’. 

Beberapa pesan tersebut mencakup: “Bukankah memaksa anak mendapatkan pekerjaan yang layak sama saja seperti penculikan atau perbudakan?” Atau: “Orangtua kalian memilih menjadikan kalian sebagai mainan, dibanding memiliki seekor anjing atau mainan sungguhan. Kalian tidak berutang apapun kepada mereka.” 

Tinjauan Filsafat dalam Anti-Natalisme 

Jika ditafsirkan secara ekstrem, mayoritas kaum anti-natalis dapat dianggap mendukung pemusnahan manusia. Sebab pada prinsipnya, mereka menilai eksistensi sebagai suatu hal yang buruk. 

Pandangan mengenai problematika eksistensi sejatinya tidak baru-baru amat, terutama dalam spektrum filsafat. Camus menganggap bahwa kehidupan manusia adalah absurditas tak berujung tanpa tujuan akhir dan berarti. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggunakan alegori Sisyphus untuk menggambarkan absurditas tersebut. 

Sebagaimana diceritakan dalam mitologi Yunani kuno, Sisyphus dikutuk oleh Zeus untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit untuk kemudian menggelinding kembali ke bawah.
 
Bagi Camus, alegori tersebut membuhulkan sebuah faktum: kesia-siaan kondisi umat manusia jika dilihat dari perspektif semesta. Sebab, jika semua manusia pada akhirnya akan sirna, begitu juga dengan semesta, lantas apa makna segala projek kehidupan yang selama ini telah dikerjakan? 

Ketidakbermaknaan hidup inilah yang terus menerus dibayangkan Camus dan kerap disimpulkan oleh banyak orang sebagai anjuran untuk bunuh diri. Pandangan lebih konkret mengenai eksistensi juga menjadi fondasi filsafat pesimisme Arthur Schopenhauer. Menurutnya, eksistensi adalah suatu hal yang buruk dan penuh kekejaman. 

Dalam On the Vanity and Suffering of Life, ia menggemakan pandangannya dengan lebih suram: “Life is a business that does not cover the costs.” Hidup merupakan bisnis yang tidak menutup biaya. 

Schopenhauer memandang, derita yang ada dalam kehidupan manusia melampaui kebahagiaan, dan apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu pun berarti tidak lebih dari lepasnya rasa sakit. Yang lebih buruk lagi, dunia ini fana alias hanya sementara, maka segala proyek dan tujuan akhirnya akan pudar dimakan waktu. 

Sebab itulah, Schopenhauer menilai semua penderitaan karena kehendak buta (blind will) manusia itu sendiri. Pun begitu, fondasi filsafat Schopenhauer tidaklah independen. Ia banyak terpengaruh oleh beberapa pemikir penting sebelumnya seperti Immnanuel Kant, Plato, dan Siddharta Gautama (Buddha). 

Baca lanjutannya: Anti-Natalisme, Kesadaran Mengurangi Kelahiran Manusia (Bagian 2)

Related

International 1639092668477279989

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item