Sejarah Toko Buku Gunung Agung, Berdiri Sejak Awal Kemerdekaan, Kini Harus Tutup


Toko Buku Gunung Agung dikabarkan bakal menutup seluruh sisa toko atau outlet mereka pada 2023. Informasi itu dibenarkan oleh Direksi PT Gunung Agung Tiga Belas. 

"Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar," demikian keterangan tertulis direksi. 

Penutupan Toko Buku Gunung Agung langsung menjadi topik perbincangan warganet di Indonesia. Berdasarkan pantauan, Minggu (21/5/2023) pukul 15.10 WIB, tanda pagar Gugung Agung menduduki trending topik pertama di Twitter. Warganet mengaku ikut kehilangan atas kabar penutupan toko buku legendaris di Indonesia itu. Pasalnya, toko buku yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia itu menyimpan banyak kenangan. 

"Tahun 80an, hanya ada 2 toko buku besar di Jogja: Gunung Agung dan Gramedia. Lupa tahun berapa, pernah diajak alm. bapak melihat pameran keris, senjata pusaka lainnya dan lukisan yg diadakan H Masagung. Ada lukisan Nyi Roro Kidul dan Roro Jonggrang, merinding saat melihat," tulis sebuah akun. 

"Nemenin alm. Bapak beli alat-alat lukis. Gunung Agung perintilan art-nya lebih bagus daripada toko-toko lain. Banyak yang brand luar dan kualitasnya oke punya. Kami dulu seringnya ke Gunung Agung yang di Senen," ucap warganet lain.  

Toko Buku Gunung Agung memang memiliki sejarah yang panjang. Toko buku ini tercatat sebagai salah satu penerbitan swasta yang berdiri pada awal kemerdekaan Indonesia. 

Sejarah Toko Buku Gunung Agung 

Dilansir dari laman Gunung Agung, Toko Buku Gunung Agung berdiri pada 1953. Pendirinya adalah Tjio Wie Tay yang juga dikenal sebagai Haji Masagung. Mulanya Tjio Wie Tay membentuk kongsi dagang dengan Lie Tay San dan The Kie Hoat bernama Thay San Kongsie pada 1945. 

Saat itu barang yang diperdagangkan adalah rokok. Namun, dilansir dari buku Sejarah Perbukuan (2022), pasca kemerdekaan Indonesia, permintaan buku-buku di Indonesia sangat tinggi. Peluang ini dilihat oleh Thay San Kongsie yang kemudian membuka toko buku impor dan majalah. Kios mereka cukup sederhana dan berlokasi di Jakarta. 

Namun, toko buku Tay San Kongsie lebih baik dibandingkan toko buku asing. Keuntungan buku lebih besar daripada penjualan rokok dan bir yang awalnya ditekuni Tay San Kongsie. Kongsi ini pun menutup usaha rokok dan bir, lalu beralih fokus ke toko buku. 

Pada 1951, Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Rumah itu ditata dan dibuat percetakan kecil pada bagian belakang. 

Berkembang menjadi firma 

Seiring perkembangan bisnis yang semakin besar dan kompleks di awal tahun pasca kemerdekaan, Tjio Wie Tay mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung pada 1953. Ide ini ditolak oleh Lie Tay San sehingga ia mundur dari kongsi tersebut. Lalu, berdirilah Firma Gunung Agung yang ditandai dengan perhelatan pameran buku di Jakarta pada 8 September 1953. 

Berangkat dari modal Rp 500.000 

Dengan modal Rp 500.000, Gunung Agung mampu memamerkan 10.000 buku, jumlah yang sangat fantastis pada masa itu. Pameran tersebut menjadi momentum awal bisnis Toko Buku Gunung Agung pada 1953. 

Setahun kemudian, Tjio Wie Tay kembali memprakarsasi pameran buku lebih megah bernama Pekan Buku Indonesia 1954. Pada pameran buku ini pula Gunung Agung memulai tradisi penyusunan bibliografi (daftar buku lengkap) dalam bentuk katalog. Bahkan, Gunung Agung membentuk tim khusus bernama Bibliografi Buku Indonesia yang dipimpin oleh Ali Amran yang juga menjadi kepala bagian Penerbit PT Gunung Agung. 

Perkenalan dengan Sukarno-Hatta 

Melalui Pekan Buku Indonesia 1954, Tjoe Wie Tay berkenalan dengan pemimpin Indonesia saat itu, yakni Sukarno dan Hatta. Dari perkenalan ini, Gunung Agung dipercaya untuk menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa tahun 1954. 

Bisnis Gunung Agung kemudian semakin membesar yang ditandai dengan pendirian gedung berlantai tiga di Jalan Kwitang Nomor 6. Gedung ini diresmikan langsung oleh Bung Karno pada 1963. Pada tahun yang sama, Tjoe Wie Tay mengubah namanya menjadi Masagung. 

Salah satu hal bersejarah terkait buku oleh Gunung Agung ialah penerbitan buku autobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams, seorang jurnalis Amerika Serikat. Buku itu berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Penerbitan buku tentang Sukarno dilanjutkan oleh Gunung Agung, sehingga dikenal sebagai penerbit buku autobiografi/biografi tokoh-tokoh bangsa Indonesia. 

Berdiri selama 70 tahun 

Selama 70 tahun berdiri, Toko Buku Gunung Agung telah merasakan manis pahitnya dunia bisnis. Gunung Agung berhasil berhasil menjadi toko buku rantai ritel terkemuka di Indonesia yang menyediakan kelengkapan produk buku dan alat tulis berkualitas tinggi, dengan harga bersaing yang dibarengi layanan prima. 

Perusahaan memperluas lini produknya dengan alat tulis, kebutuhan sekolah, barang mewah, barang olahraga, alat musik, otomatisasi/peralatan kantor, dan produk teknologi tinggi. Sebanyak 14 toko dibuka di 10 kota besar di Pulau Jawa. Di Jabodetabek sendiri, ada sebanyak 20 Toko Buku Gunung Agung. 

Setelah masa kejayaan, Toko Buku Gunung Agung mengalami masa pahit terutama ketika pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia pada 2020 lalu. Saat itu, Toko Buku Gunung Agung harus menutup beberapa toko mereka yang berlokasi di Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. 

Penutupan beberapa toko dilakukan tidak hanya akibat pandemi Covid-19, melainkan untuk menjaga kelangsungan usaha dan mengatasi kerugian usaha akibat biaya operasiomal yang besar.

Related

Business 2641513408241514166

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item