Kisah Ngeri di Balik Kiamat Nuklir yang Tak Jadi Datang (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2022/10/kisah-ngeri-di-balik-kiamat-nuklir-yang.html
Naviri Magazine - Bayangkan suatu hari Anda menerima pesan di ponsel yang dikirim pemerintah setempat secara resmi, dan pesan itu memberitahu bahwa tempat tinggal Anda akan segera hancur karena mendapat serangan nuklir. Apa yang akan Anda lakukan?
Semua orang yang tinggal di lingkungan Anda mendapat pesan serupa, dan semua orang tahu pesan itu benar-benar resmi dari pemerintah. Jadi, ketika pesan gawat itu datang, dan semua orang menyadari bahwa tempat tinggal mereka akan segera hancur akibat nuklir, mereka pun panik, berlarian, saling berusaha menyelamatkan diri, dan bersiap menghadapi kiamat yang tak lama lagi terjadi.
Kisah ngeri itulah yang terjadi di Hawaii, tempat yang dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk. Siang hari, 13 Januari 2018, masyarat di sana mendapat pesan di ponsel masing-masing, dengan isi mengerikan:
“BALLISTIC MISSILE THREAT INBOUND TO HAWAII. SEEK IMMEDIATE SHELTER. THIS IS NOT A DRILL.”
(“RUDAL BALISTIK TENGAH MENUJU HAWAII. SEGERA CARI TEMPAT BERLINDUNG. INI BUKAN LATIHAN.”)
Hawaii adalah salah satu kepulauan yang tergabung dengan Amerika Serikat. Beberapa waktu sebelumnya, AS memang tengah garang-garangnya bertukar ancaman dengan Korea Utara. Bahkan, tak sampai dua minggu sebelumnya, presiden mereka waktu itu, Donald Trump, mengejek musuhnya itu sebagai negara kurang gizi, dan pamer kalau dia juga punya “tombol” nuklir yang bisa dipencet kapan saja.
“Aku juga punya tombol nuklir. Malah, punyaku lebih besar dan kuat ketimbang dia punya, dan tombolku benar-benar bisa dipakai!” tulis Trump, pada 2018 silam.
Maka, ketika Hawaii Emergency Management Agency (HI-EMA) mengeluarkan peringatan bahwa sebuah rudal tengah menuju mereka, masyarakat Hawaii langsung percaya. Dan pasrah.
Lagi pula, hampir semua orang di Hawaii tahu kalau rudal balistik berhulu ledak nuklir cuma butuh maksimal 20 menit untuk sampai, meledak, dan menghancurkan hidup mereka.
“Aku hanya bisa mulai minum-minum dan berjalan ke luar dengan santai,” kata Joshua Keoki, warga Mililani, Hawaii, menerangkan apa yang ia lakukan usai menerima pengumuman bahwa tempat tinggalnya menjadi target rudal balistik.
Keoki tetap tenang. Terlampau tenang, malah. Ketimbang mencari perlindungan ke ruang bawah tanah, ia memilih untuk pulang ke rumah dari tempat kerjanya, dan membuka sebotol Hibiki 21, merek wiski yang kerap menerima penghargaan dan tak alang kepalang mahalnya.
“Apa sih yang bisa kita lakukan pada situasi seperti ini? Kita tidak benar-benar bisa melakukan apa pun, jadi ya aku manfaatkan saja sebaik mungkin (sisa waktuku),” katanya, dikutip dari The Guardian.
Akan tetapi, tak semua orang setenang Keoki ketika menghadapi hari akhir. “Semuanya panik,” kata Ashly Trask, salah satu penduduk yang tinggal di Pulau Kauai.
Saat Trask membawa keluarganya ke sebuah taman botani yang memiliki ruang bawah tanah sebagai shelter di kala badai, ia melihat orang-orang di jalanan berpelukan, menangis, dan terlihat terguncang. Hatinya hancur saat saudaranya di pulau lain, yang tak memiliki shelter, menghubunginya.
“Mereka menelepon sambil menangis. Mereka tahu tidak akan sempat menyeberang ke pulau kami dan menuju shelter,” kata Trask.
Bayangan tentang ledakan karena bom berbentuk jamur, di kepalanya, sangatlah mungkin terjadi. “Oh, (kemungkinan mati) ini benar-benar nyata.”
Setidaknya demikian, sampai 38 menit setelahnya. Kiamat batal datang.
Semua berawal di pergantian shift, dari petugas-petugas yang berjaga malam menuju petugas yang berjaga pagi pukul 08.00, Sabtu 13 Januari 2018. Beberapa menit sebelum, pukul 08.00 waktu setempat, supervisor shift malam memberi tahu ke supervisor shift pagi, ia akan melaksanakan latihan kesiapan menghadapi rudal balistik.
“Namun ada miskomunikasi,” ucap James Wiley, kuasa hukum Federal Communications Commission (FCC) yang melaporkan kekacauan yang akan dimulai tersebut, 30 Januari 2018.
“Supervisor shift pagi mengira tes akan dilakukan pada petugas jaga malam. Ia tidak tahu, ternyata yang menangani tes tersebut adalah shift pagi, anggota timnya,” lanjut Wiley.
Maka, sebelum pukul 08.05, saat perintah tes diumumkan, ia tidak memberi tahu ke timnya bahwa akan ada tes. Kekacauan pun dimulai.
Baca lanjutannya: Kisah Ngeri di Balik Kiamat Nuklir yang Tak Jadi Datang (Bagian 2)