Drama di Balik Online Shop, dari yang Lucu Sampai Menyebalkan
https://www.naviri.org/2022/01/drama-di-balik-online-shop-dari-yang.html
Naviri Magazine - Olshop adalah istilah orang Indonesia untuk menyebut online shop atau belanja online. Seperti kita tahu, saat ini telah banyak bertebaran toko online atau marketplace yang berfungsi seperti pasar atau toko, namun di dunia maya. Karena itu pula, masyarakat Indonesia pun mulai aktif berbelanja di internet.
Karena mungkin karena belum terbiasa, atau baru sekali berbelanja online, masih ada orang-orang yang tampaknya bingung atau gagap. Kebingungan itu kadang menghadirkan “drama” tak terduga antara si pembeli dengan si penjual.
Banyak lelucon yang muncul dari interaksi penjual dan pembeli di toko online, yang sebenarnya mencerminkan tantangan yang harus dipecahkan oleh industri e-commerce di Indonesia.
Drama antara penjual dan pembeli online tak henti-hentinya menjadi bahan pembahasan di media sosial dan ada saja kelucuan-kelucuan yang muncul dari interaksi penjual dan pembeli di toko online.
Curhat akun toko online Melmee Olshop di Facebook, misalnya, sampai disebar 17.000 kali. Penjual dituduh menipu, karena meskipun barang sudah sampai di tangan pembeli, tapi resi tidak dikirimkan.
"Kan baju mbak sudah sampai, mau nipu apa lagi aku mbak?" tanya penjual.
Ribuan komentar menanggapi curhat ini di Facebook dan Twitter, salah satunya adalah komentar yang juga sambil mengeluh bahwa barang pesanannya tak kunjung sampai.
Protes soal resi ini hanya salah satu dari banyak drama yang muncul dari interaksi belanja online. Ada beberapa akun di media sosial yang mendokumentasikan drama toko online, yang sering disebut olshop, antara lain akun @drama.olshop di Instagram yang diikuti 430.000 orang.
Edward Kilian Suwignyo, Direktur Sales dan Marketing Elevenia, menilai bahwa meskipun masih banyak kegagapan, kefasihan berbelanja online saat ini sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu.
Edward pernah menjabat sebagai Head of Marketing di Multiply Indonesia, salah satu pionir e-commerce di Indonesia. "Dulu tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengajak orang mencoba belanja online untuk pertama kalinya."
Multiply, yang sudah tutup pada 2013, dikenal sebagai salah satu pelaku e-commerce yang gencar memberikan edukasi untuk berbelanja online, saat belanja online masih belum menjadi kebiasaan.
Edward mengenang masa-masa tujuh tahun lalu, sekitar tahun 2011, saat layanan pelanggan Multiply sibuk menjelaskan kepada orang-orang yang menelepon hanya untuk bertanya, mana yang harus diklik?
Ada juga pelanggan yang menelepon saat sudah berada di depan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), untuk bertanya mana yang harus dipencet?
"Zaman dulu pembeli masih bingung, milihnya gimana, barangnya seperti apa? Penjual juga sama bingungnya, misalnya memasang barang lalu ditinggal, tidak tahu bahwa ada yang mau beli," kata Edward.
Untuk menarik masyarakat berbelanja online pertama kalinya, strategi yang dilakukan adalah dengan cara mengimingi-imingi mereka dengan diskon. "Kami memanfaatkan tipikal orang Indonesia yang sangat sensitif terhadap harga untuk mempercepat adopsi orang belanja online," kata Edward.
Kini, tantangan di dunia e-commerce sudah sangat berbeda. Dari ribuan drama online yang terekam di akun @drama.olshop, ada beberapa isu yang sebenarnya menjadi penyebab "masalah" antara penjual dan pembeli di toko online. Yang paling sering muncul adalah ketidakpercayaan antara penjual dan pembeli, pembayaran, layanan, dan infrastrukturnya.
Kepercayaan dan kredibilitas, tambah Edward, sangat tergantung pada penjual toko online. "Sekarang isu ketidakpercayaan antara penjual dan pembeli masih ada, tapi sudah banyak orang yang menyadari keberadaan rekening perantara dan payment gateway untuk membantu keamanan."