Sejumlah Persiapan bagi Duda-Perjaka dan Perawan-Janda Sebelum Akad Nikah (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2021/11/sejumlah-persiapan-bagi-duda-perjaka.html
Naviri Magazine - Kita mungkin sering melihat, sebelum prosesi akad nikah dimulai, penghulu atau petugas KUA terlebih dulu memeriksa kelengkapan berkas dan syarat-syarat lain kedua calon mempelai.
Sebagian orang mungkin mengira bahwa itu sekadar seremonial belaka atau dipandang sebagai tugas penghulu atau pencatat nikah semata, agar terkesan lebih prosedural.
Pemeriksaan kelengkapan berkas dan persyaratan calon mempelai merupakan satu keharusan. Sebab, mewujudkan pernikahan yang sah, baik secara syariat maupun secara Undang-Undang Pernikahan, bukan saja tanggung jawab penghulu atau pejabat pemerintah terkait, melainkan juga semua pihak, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun masyarakat sekitar.
Sesungguhnya, pemeriksaan yang dilakukan penghulu atau petugas KUA tidak hanya berkas, tetapi juga beberapa hal lainnya yang bersifat non-berkas. Sayangnya, beberapa pertanyaan yang sifatnya non-berkas terkadang dianggap terlalu pribadi, sehingga petugas pun merasa enggan mempertanyakannya.
Padahal, terkadang hal-hal yang bersifat pribadi tadi masih erat kaitannya dengan keabsahan pernikahan.
Al-Habib Muhammad bin Salim telah menyebutkan beberapa hal penting yang harus diverifikasi oleh penghulu kepada orang-orang yang terlibat dalam akad. Di sisi lain, orang-orang yang terlibat dalam akad pun harus mempersiapkannya sedari awal. Tujuannya agar pernikahan yang telah direncanakan tidak gagal hanya karena tidak memenuhi persyaratan.
Lebih lanjut, Al-Habib Muhammad bin Salim merinci beberapa hal tersebut. Pertama, pertanyaan apakah si calon mempelai perempuan perawan atau janda? Sebagaimana diketahui, perawan adalah perempuan yang belum hilang keperawanannya karena senggama.
Menurut satu pendapat, sekali pun keperawanannya hilang bukan karena senggama dan bukan pula disengaja, seperti terjatuh atau karena tajamnya darah haid, tetap disebut perawan. Sedangkan janda adalah perempuan yang telah hilang keperawanannya karena senggama, baik senggama yang dihalalkan maupun yang diharamkan.
Jika calon mempelai perempuan adalah perawan, maka ayah atau kakeknya—tidak berlaku bagi wali yang lain—boleh memaksa anak yang ada di bawah kewaliannya untuk dinikahkan walau belum baligh sekalipun. Sehingga dua baris wali ini disebut wali mujbir. Namun tentu, ini sekadar kebolehan. Sebab, pernikahan di usia dini sangat berisiko.
Pemerintah sendiri menganjurkan usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan UU No. 16/2019 tentang perubahan usia minimal pernikahan yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun.
Kendati pernikahan di bawah umur ini diteruskan oleh ayah atau kakek si anak perempuan, namun tetap harus memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu calon suaminya harus sekufu, calon suaminya harus mampu membayar tunai mahar mitsil atau mahar yang senilai dengan mahar yang diterima saudara perempuan anak tersebut, tidak ada permusuhan antara calon suami dengan si anak perempuan, baik permusuhan secara zahir maupun secara batin, juga tidak ada permusuhan zahir antara si anak perempuan dengan walinya.
Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. Selain pernikahan anak di bawah umur, persyaratan ini juga berlaku bagi anak perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya.
Jika wali anak perempuan itu bukan ayah atau kakeknya, maka wali yang lain tidak boleh menikahkan anak perawan tadi kecuali setelah baligh, dan meminta izin darinya. Sedangkan izinnya cukup dengan diam. Bahkan, walau sudah baligh pun, si wali dianjurkan meminta izin.
Selanjutnya, jika calon mempelai adalah seorang janda, maka penghulu mestinya menanyakan penyebab jandanya, apakah cerai mati atau cerai hidup. Jika cerai mati, maka harus ditanyakan waktu kematiannya agar diketahui masa berakhir iddahnya. Cerai mati bisa juga dibuktikan dengan akte kematian.
Sekadar gambaran, iddah wafat berakhir dengan melahirkan apabila si perempuan sedang hamil. Sedangkan perempuan yang tidak hamil, iddah wafatnya berakhir setelah 4 bulan sepuluh hari, sebagaimana dalam ayat, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Surat Al-Baqarah ayat 234).
Baca lanjutannya: Sejumlah Persiapan bagi Duda-Perjaka dan Perawan-Janda Sebelum Akad Nikah (Bagian 2)