Mengapa Bantuan IMF dan World Bank Sering Gagal dan Justru Menyengsarakan? (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Bantuan IMF dan World Bank Sering Gagal dan Justru Menyengsarakan? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Mesin Anti-Politik 

Kembaran IMF, World Bank, menunjukkan watak serupa. Laporan “Evicted and Abandoned: The World Bank’s Broken Promise to the Poor”, dikerjakan oleh lebih dari 50 jurnalis dari 21 negara yang bergabung dalam International Consortium of Investigative Journalists, menyimpulkan proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh World Bank di negara-negara berkembang ternyata malah menyengsarakan banyak kaum miskin, alih-alih melindungi dan menyejahterakan mereka. 

Selama satu dekade terakhir, proyek-proyek yang didanai World Bank telah menelantarkan baik secara fisik dan ekonomis 3,4 juta orang di seluruh dunia, terutama lewat penggusuran dan perampasan ruang hidup. Belum lagi temuan terkait proyek-proyek yang berisiko tinggi untuk lingkungan, menyudutkan masyarakat adat, sarat pelanggaran HAM, melibatkan kekerasan berbasis gender, dan eksploitasi terhadap buruh. 

“Dari 2009 hingga 2013, World Bank menyuntik 50 miliar dolar AS ke dalam proyek-proyek dengan tingkat risiko sosial atau lingkungan yang dampaknya permanen, juga belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis ICIJ dalam laman resminya. “Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan rentang lima tahun sebelumnya.” 

Program pengentasan kemiskinan World Bank juga mulai diragukan efektivitasnya. Bahkan, sebagaimana dikutip dari laporan Bretton Woods Project, dua per tiga tingkat kemiskinan ekstrem di dunia yang diturunkan selama 25 tahun terakhir bukan dihasilkan dari resep neoliberal World Bank atau IMF, tapi oleh Cina yang kukuh dengan kebijakan ekonominya sendiri. 

Cina tidak melonggarkan kontrol negara terhadap sistem perbankan dan mata uang serta perusahaan, sebagaimana disarankan oleh Konsensus Washington lewat IMF dan World Bank. Malahan, negara-negara miskin dan berkembang yang mengikuti penyesuaian struktural ala IMF dan World Bank mengalami penurunan pertumbuhan. 

Selama periode neoliberal menguat (1980-1999), pendapatan per kapita negara berkembang merosot dari 3% menuju 1,5%. Ironisnya, pada 2016 IMF bahkan secara “resmi” mengakui neoliberalisme telah gagal, meskipun residunya masih bertahan. 

Penyebab kegagalan semacam ini dijelaskan secara apik oleh James Ferguson lewat karya etnografi klasiknya The Anti-Politics Machine (1994), yang berdasarkan pada penelitian terhadap proyek pembangunan Thaba-Tseka di Kerajaan Lesotho selama 1975-1984. 

Rancangan pembangunan World Bank ini didominasi oleh bayangan pembangunan yang bias Barat dan jauh dari kenyataan sehari-hari masyarakat. Selain itu, menurutnya para perancang program juga enggan melihat persoalan struktural dan politis sebagai akar permasalahan, dan lebih memilih solusi seragam. 

Menurut World Bank, masyarakat masih miskin karena sistem ternak di perdesaan tidak terintegrasi dengan pasar, dan masih dikelola secara komunal. Maka solusi yang diberikan ajaib: perbaiki kualitas ternak, berikan pemahaman soal properti pribadi, berikan akses kepada pasar, privatisasi lahan dan perkenalkan tanaman industri. Hampir semuanya berujung kepada kegagalan jika bukan memperburuk keadaan. 

Ternak kualitas unggul yang didatangkan dari indukan Barat ternyata tidak tahan kering dan memerlukan pakan mahal. Privatisasi sumber daya dan lahan malah memecah jaringan sosial yang ada. Lalu, pengenalan tanaman industri justru memerlukan ongkos perawatan yang mahal serta berbagai macam pupuk kimia. 

Yang paling krusial adalah World Bank tidak pernah berusaha memahami fakta antropologis tentang mengapa orang-orang di perdesaan Lesotho memang tidak mau menjual ternaknya ke pasar sejak awal. Menurut Ferguson, mereka memelihara ternak sebagai cara untuk mengakali kondisi sosial-ekonomi yang serba terbatas. 

Ternak dibiakkan sebagai investasi yang diharapkan dapat dinikmati saat pensiun kelak, sebab mayoritas suami/lelaki bekerja sebagai buruh migran di pertambangan Afrika Selatan yang berisiko tinggi tanpa jaminan apa-apa. 

Mereka memang tidak pernah mendudukkan ternak sebagai komoditas. Peternakan di desa-desa Lesotho tidak diniatkan untuk terintegrasi dengan pasar, namun sebagai cara mengakali kondisi rentan akibat sistem buruh migran yang ada, atau lebih luas lagi akibat kebijakan apartheid yang mendominasi Afrika Selatan pada masa itu. 

Para perancang proyek pembangunan World Bank menutup mata atas persoalan itu. Berbagai masalah direduksi hanya pada persoalan akses terhadap pasar. 

Logika serupa diterapkan dalam proyek-proyek lain di banyak negara berkembang. Selain tak tepat sasaran, sering kali program pembangunan World Bank yang selalu berorientasi pasar menjadi sumber keuntungan perusahaan-perusahaan swasta alias segelintir orang saja. 

Misalnya Revolusi Hijau yang dipromosikan di negara berkembang sejak dekade 1960-an. Proyek tersebut di satu sisi malah mengancam keragaman pangan lokal, merampas tanah petani, menciptakan ketergantungan pada bahan kimia, dan degradasi lingkungan; di sisi lain ia menjadi ladang keuntungan korporasi seperti Monsanto atau Dow and Dupont. 

Demikianlah mengapa proyek-proyek lembaga keuangan internasional tersebut akan cenderung gagal dan malah menyengsarakan orang banyak.

Related

International 9022787083390894556

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item