Mengapa Bantuan IMF dan World Bank Sering Gagal dan Justru Menyengsarakan? (Bagian 1)



Naviri Magazine
- Banyak negara terutama dari Eropa telah porak-poranda satu tahun sebelum Perang Dunia II berakhir. Karena khawatir potensi kerusakan lebih masif, pada Juli 1944 sebanyak 730 orang dari 44 negara berkumpul dalam United Nations Monetary and Financial Conference untuk membicarakan upaya-upaya memperbaiki keadaan dunia pasca-perang, terutama dalam urusan ekonomi. 

Dalam konferensi yang diselenggarakan di Mount Washington Hotel, Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, para delegasi menilai perlu ada institusi yang menaungi kerja sama perbaikan dan penguatan ekonomi dunia, sekaligus untuk mencegah bencana seperti Depresi Besar yang terjadi pada dekade 1930-an terulang. 

Maka lahirlah dua lembaga penting: Pertama, International Monetary Fund (IMF). 

IMF dicanangkan bakal jadi lembaga pengatur nilai tukar dan transaksi internasional, agar berbagai negara dapat berbisnis dengan lebih mudah. Kemudian, pada hari-hari terakhir konferensi, ekonom masyhur dari Inggris, John Maynard Keynes, mengusulkan pembentukan komisi yang bertugas membantu memperbaiki negara-negara yang hancur akibat perang dan negara-negara miskin. 

Maka lahirlah institusi kedua, the International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau yang kelak berganti nama menjadi World Bank. 

Puluhan tahun setelah perang usai, IMF dan World Bank mulai bertransformasi, terutama setelah menguatnya gelombang neoliberalisme pada akhir dekade 1970-an. IMF tidak hanya berperan sebagai “anjing penjaga” kondisi moneter dunia, namun aktif beroperasi sebagai rentenir bagi negara-negara yang memiliki masalah keuangan, pailit, atau dilanda krisis. 

Sementara World Bank mulai mengarahkan perhatian pada pembangunan di negara berkembang melalui pendanaan proyek infrastruktur seperti dam, jaringan jalan, dan pembangkit listrik. 

Gagal Sejak dalam Pikiran 

Namun visi yang tampak positif ini bukan tanpa cela. Kritik terus bermunculan. Salah satunya datang dari ekonom pemenang Hadiah Nobel 2001, Joseph E. Stiglitz. Dalam buku Globalization and Its Discontents (2002), Stiglitz menobatkan IMF sebagai biang kerok kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang. 

Bukan hanya menghasilkan kegagalan, ia juga menuding, dalam beberapa kasus, IMF justru memperparah kondisi ekonomi negara yang diintervensi. Ketika menawarkan pinjaman, IMF akan menyodorkan syarat-syarat yang harus dipenuhi negara peminjam. 

Syarat yang dikenal dengan nama program penyesuaian struktural/structural adjustment programs (SAPs) ini biasanya berupa resep reformasi ekonomi neoliberal yang bersumber dari Konsensus Washington, yaitu: pengetatan anggaran, suku bunga tinggi, liberalisasi perdagangan, privatisasi perusahaan negara, dan keterbukaan pasar modal. 

Resep ini diterapkan secara universal (one-size-fits-all approach) atau pukul rata tanpa memperhatikan kondisi aktual negara yang hendak diberi pinjaman. 

Di Etiopia pada 1997, misalnya, IMF memaksakan serangkaian kebijakan anti-inflasi, padahal ketika itu negara tersebut jauh dari ancaman inflasi, hanya karena kebijakan ini berhasil di negara lain seperti Argentina. 

Stiglitz menuding saran-saran yang sering dipaksakan kepada negara-negara berkembang muncul karena kuatnya dominasi finansial Barat dalam tubuh institusi tersebut. Ini tidak mengherankan, mengingat secara politik memang negara-negara Barat ditambah Jepang memiliki suara lebih kuat dalam penentuan keputusan, apalagi AS dengan hak vetonya. 

IMF acap kali abai terhadap masukan dari negara-negara yang dilabeli sebagai “dunia ketiga” dan sepenuhnya menggantungkan perumusan kebijakan pada para pakar Barat. Dengan demikian, rancangan kebijakan bantuan mereka sering kali terlalu mengawang, dan jauh dari realitas di negara yang menjadi target bantuan. 

“Mentalitas kolonial—'The white man’s burden'—dan anggapan bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk negara-negara berkembang bertahan dalam tubuh IMF,” terang Stiglitz. 

Tak heran jika kemudian kebijakan seperti ini sering kali menorehkan hasil yang kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi dan justru memperlebar kesenjangan. 

Aib terbesar datang dari krisis Asia Timur 1997, liberalisasi Rusia pasca-Perang Dingin, atau krisis Yunani yang terjadi sejak 2009. Kritik Stiglitz diperkuat dengan temuan Bernhard Reisberg, Thomas Stubbs, dan Alexander Kentikelenis dalam studi berjudul berjudul “Unimplementable by design? Understanding (non-)compliance with International Monetary Fund policy conditionality” (dalam Governance, Vol. 1, 2021). 

Mereka menyimpulkan bahwa SAPs mustahil untuk diterapkan, diperoleh dari penyelidikan terhadap 763 program IMF selama 1980 sampai 2015. Ditemukan sebanyak 512 program mandek dan 291 di antaranya tidak berlanjut sama sekali atau gagal. 

Selama ini kegagalan kebijakan reformasi IMF sering kali dianggap terjadi karena buruknya komitmen pemerintah negara peminjam, persoalan domestik, hingga masalah geopolitik. Reisberg dkk. tidak menafikan alasan-alasan itu. Namun studinya menemukan faktor serius lain. Mereka berargumen bahwa sebenarnya kegagalan telah secara inheren terdapat dalam rancangan kebijakan. 

“Kami menemukan bahwa setiap syarat/kondisi tambahan meningkatkan kemungkinan kegagalan program setidaknya 1,1%—efek moderat mengingat tingkat kegagalan rata-rata 58,6%,” tulis Reisberg dkk. “Tetapi, program biasanya mencakup 22 syarat/kondisi seperti itu, yang berarti meningkatkan probabilitas kegagalan.” 

Reisberg dkk. menyebutkan syarat-syarat yang menyebabkan program IMF berpeluang gagal biasanya berkutat pada pemaksaan liberalisasi ekonomi, misalnya privatisasi BUMN dan barang publik, seperti pendidikan dan kesehatan. 

“Kami berargumen bahwa program-program IMF mungkin sudah tidak dapat diterapkan sejak dalam rancangan,” terang Reisber dkk. “Kami memperlihatkan bahwa IMF terlalu menyisipkan banyak syarat/kondisi.” 

Baca lanjutannya: Mengapa Bantuan IMF dan World Bank Sering Gagal dan Justru Menyengsarakan? (Bagian 2)

Related

International 2772612505562394140

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item