Sejarah Pulau Kanibal di Siberia, Fakta Tragis yang Ditutup-tutupi Uni Soviet (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2021/07/sejarah-pulau-kanibal-di-siberia-fakta.html
Naviri Magazine - Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang yang dibuang ke Siberia diturunkan dari tongkang ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Sungai Ob. Di bawah pengawasan para penjaga, apa yang disebut “elemen masyarakat Soviet yang berbahaya secara sosial” ini sedang menunggu untuk dikirim ke kamp kerja khusus lebih jauh ke timur.
Selama hampir sebulan, mereka dibiarkan begitu saja di sebidang tanah kecil tanpa makanan. Akhirnya, beberapa dari mereka tak bisa menahan diri dan mulai memakan sesama manusia.
Tak Pandang Bulu
Ini semua bermula ketika pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk menerapkan kembali sistem paspor yang sebelumnya telah dihapus pasca-Revolusi 1917. Saat itu, pemimpin Bolshevik menghapus paspor sebagai alat untuk mengendalikan mobilisasi masyarakat di dalam negeri. Dengan demikian, warga Soviet dapat tinggal dan bekerja di mana pun mereka mau.
Pada kenyataannya, masyarakat petani, setelah merasakan dampak kebijakan ekonomi Soviet (perang melawan petani kaya dan kepemilikan pribadi, penerapan pertanian kolektif, dll.), berbondong-bondong pindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Urbanisasi besar-besaran ini ternyata mengakibatkan kelangkaan tempat tinggal bagi kaum proletar, pilar utama rezim yang berkuasa.
Kaum pekerja menjadi sasaran utama yang akan diberikan paspor mulai akhir 1932. Sementara itu, para petani tidak memiliki hak untuk memiliki paspor sampai 1974.
Bersamaan dengan pengenalan sistem paspor, kota-kota besar melakukan “operasi pembersihan” untuk mengusir mereka yang tidak memiliki dokumen yang mengesahkan hak untuk menetap di sana.
Selain petani, pembersihan dan penangkapan tersebut menargetkan semua unsur “anti-Soviet” dan “masyarakat yang tidak masuk dalam kelas sosial mana pun”. Ini termasuk lintah darat, gelandangan, pengemis, tunawisma, pelacur, mantan pendeta, dan kategori populasi lainnya yang tidak terlibat dalam pekerjaan yang bermanfaat secara sosial.
Properti mereka (jika ada) disita dan mereka dikirim ke permukiman khusus di Siberia dan dipekerjakan untuk kebaikan negara.
Pemimpin negara percaya kebijakan semacam itu ibarat sambil menyelam minum air. Di satu sisi, ia membersihkan kota dari unsur-unsur asing dan musuh negara. Di sisi lain, wilayah Siberia yang sebelumnya sepi kini mulai dihuni.
Polisi dan petugas keamanan OGPU begitu bersemangat dalam operasi penggerebekan paspor. Mereka sering kali menahan orang-orang di jalan, termasuk mereka yang punya paspor, tetapi tidak membawanya saat itu. Daftar “pelanggar” dapat mencakup pelajar yang sedang dalam perjalanan mengunjungi kerabat atau sopir bus yang keluar untuk membeli rokok.
Suatu kali, kepala departemen kepolisian Moskow dan kedua putra jaksa Kota Tomsk bahkan ditangkap. Sang ayah berhasil menyelamatkan mereka dengan cepat, tetapi tidak semua orang yang tertangkap memiliki kerabat berpangkat tinggi untuk membantu mereka.
Para “pelanggar rezim paspor” tidak menjalani pemeriksaan menyeluruh. Mereka segera dinyatakan bersalah dan dikirim ke kamp kerja paksa di timur negara itu. Situasi ini makin diperburuk oleh fakta bahwa mereka dibuang ke Siberia bersama para penjahat demi meringankan beban penjara yang sudah penuh sesak di bagian Eropa negara itu.
Pulau Kematian
Kisah malang yang terjadi pada salah satu kelompok pertama orang-orang yang dibuang itu dikenal sebagai tragedi Nazino.
Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang diangkut dari kapal tongkang ke sebuah pulau kecil terpencil di Sungai Ob dekat Desa Nazino di Siberia. Mereka seharusnya tinggal di sana hanya sementara waktu sambil menunggu akomodasi di kamp tujuan, yang ternyata tak siap menerima begitu banyak penghuni baru, disiapkan.
Orang-orang buangan ini mengenakan pakaian yang sama sejak polisi menahan mereka di jalan-jalan Moskow dan Leningrad (Sankt Peterburg). Mereka tidak memiliki tempat tidur atau alat apa pun untuk membuat tempat tinggal sementara.
Pada hari kedua, angin bertiup kencang, kemudian suhu turun di bawah nol dan kemudian hujan mulai turun. Tak berdaya melawan alam, para tahanan hanya bisa duduk di sekitar api unggun atau berkeliaran di sekitar pulau untuk mencari kulit kayu dan lumut karena tak ada seorang pun yang menyuguhi mereka makanan.
Baru pada hari keempat, mereka dibawakan tepung gandum, tetapi porsinya hanya beberapa ratus gram per orang. Setelah menerima jatah yang sedikit itu, orang-orang langsung menyerbu sungai. Mereka menggunakan topi, alas kaki, jaket, dan celana panjang sebagai wadah untuk membuat semacam bubur.
Tak lama kemudian, ratusan orang di antara mereka tewas. Lapar dan kedinginan, mereka tertidur di dekat api unggun dan terbakar hidup-hidup atau mati kelelahan. Beberapa juga menjadi korban kebrutalan beberapa penjaga yang memukuli tahanan dengan popor senapan mereka. Sementara itu, para tahanan tak mungkin melarikan diri dari “pulau kematian” karena pulau itu dikelilingi oleh kru senapan mesin yang siap menembak siapa pun yang mencoba melarikan diri.
Baca lanjutannya: Sejarah Pulau Kanibal di Siberia, Fakta Tragis yang Ditutup-tutupi Uni Soviet (Bagian 2)