Sejarah Perjalanan Astra, Perusahaan Otomotif Raksasa dari Indonesia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2021/07/sejarah-perjalanan-astra-perusahaan_01690844350.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Perjalanan Astra, Perusahaan Otomotif Raksasa dari Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Setelah terjungkalnya orde lama dan Demokrasi Terpimpin, dunia usaha mulai bangkit lagi. Banyak pelarian di era Sukarno, seperti Profesor Soemitro Djojohadikusumo, pulang dan dipekerjakan di pemerintahan baru.
“Soemitro berkawan baik dan sering dibantu oleh Kian Tie, yang menetap di Malaysia sejak 1961. Di Indonesia, ibunda sang Profesor sering dibantu oleh William, sebuah tindakan berisiko di era Sukarno,” catat buku Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya.
Perekonomian perlahan membaik bagi William. Tahun 1966, Astra menjadi importir 80 ribu ton aspal dari Marubeni Jepang untuk membangun jalan. Ia bahkan mendapat pinjaman dana dari USAID sebesar $2,9 juta. Dengan dana itu, William boleh mengimpor apapun, termasuk truk dari Amerika.
“William menggunakan dana tersebut untuk mengimpor 800 unit truk merek Chevrolet buatan General Motor Co. dan menjualnya kepada Pemerintah,” tulis Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi (2000).
Sayangnya, William tak bisa mengimpor lebih banyak lagi truk-truk dari General Motor. Apalagi dia pernah dianggap melanggar dan tidak memahami ketentuan USAID yang melarang jadi pemasok ke pemerintahan.
Tak mampu dapat truk dari Amerika, tahun 1969, William pun menoleh ke Jepang. “Hidung bisnis William yang tajam segera mengendus-endus peluang lain. Truk-truk bermerek Toyota segera terbayang di kepalanya,” tulis Amir Husin Daulay dalam William Soeryadjaya, Kejayaan dan Kejatuhannya (1993).
Kebetulan, Hideo Kamio—yang pernah jadi manager di Gaya Motor waktu zaman Jepang—bersikeras truk-truk Toyota yang akan masuk Indonesia harus dirakit di Gaya Motor.
Orang-orang Toyota itu pun diarahkan Suhartoyo dari Kementerian Perdagangan. “Kalau Anda mau Gaya Motor, ya harus berhubungan dengan Astra dan owner-nya. Anda harus melepas dulu MoU dengan perusahaan lain dan join dengan Astra untuk jadi agen tunggal,” kata Suhartoyo seperti dikutip dalam Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya.
Kala itu, Gaya Motor sudah dipegang oleh William. “PT Gaya Motor, bukan lagi PN Gaya Motor) dengan akte notaris Eliza Pondag tanggal 25 Februari 1969. Di mana Tjian Kian Liong (William Soeryadjaya) sebagai Presiden,” tulis Amir Husin.
Jadilah Toyota sebagai mitra penting dari Astra. Truk-truk Toyota membanjiri areal proyek-proyek maupun kawasan industri Indonesia. Tak hanya truk saja. Sejak 1971, setelah Amerika tidak memproduksi truk dan jip dengan stir kanan, Astra akhirnya menguasai pasar truk dan jeep Indonesia. Astra berjaya.
Tak hanya merek Toyota, belakangan juga Honda, Isuzu, Daihatsu dan lainnya. Bisnis William pun merambah ke bidang lain, tak hanya dunia otomotif bersama Astra.
Ketika William makin tua, dua anaknya, Edward dan Edwin juga terjun ke dunia bisnis. Anak William, Edward, mendirikan Bank Summa—dalam grup bisnis keluarga Surjadjaja. Namun, bank tersebut bermasalah dan keuangannya tidak sehat. Pada 14 Desember 1992, bank itu pun dilikuidasi pemerintah.
Kredit macet bank Summa kala itu mencapai Rp1,2 triliun. Menurut Kees Bartens dalam Pengantar Etika Bisnis (2000), “masalah kredit macet akibat mismanagement anggota keluarganya […] William Surjadjaja terpaksa harus membantu dengan melepaskan semua sahamnya di Astra.”
Melepas Astra yang dibangunnya tentu bukan hal mudah bagi William yang sudah menjelang senja usianya. Namun, ia tak punya pilihan lain. Nama baik keluarga harus dijaga dengan tanggung jawab. Demi mengembalikan dana nasabah, Astra akhirnya dilepas.
Saat ini, sebanyak 51,11 persen saham Astra International dikuasai oleh Jardine Cycle & Carriage Limited, sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura. Sisa saham Astra dimiliki oleh masyarakat. Nama William memang sudah tak lagi tercantum dalam daftar pemilik Astra. Namun, siapa pun pasti akan mengingat bahwa Astra adalah buah keringat William Seryadjaya.