Mengenal Fenomena Social Climber, Upaya Ingin Terlihat Kaya dan Punya Status Sosial Tinggi
https://www.naviri.org/2021/07/mengenal-fenomena-social-climber-upaya.html
Naviri Magazine - Kehidupan manusia terkait dengan status sosial, diakui atau tidak. Orang-orang kaya, terkenal, atau memiliki pengaruh, menempati status sosial lebih tinggi dibanding orang-orang yang tidak kaya, tidak terkenal, atau tidak memiliki pengaruh.
Rata-rata orang ingin menempati status sosial yang tinggi, dan untuk itu pun mereka berusaha memperbaiki diri serta membangun kehidupan mereka agar lebih baik. Namun, ada pula orang-orang yang ingin menempati status sosial lebih tinggi, dengan cara yang instan atau bahkan salah. Dari situlah lalu muncul social climber.
Social climber adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang menggunakan segala daya dan upaya untuk bisa diterima orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Berbeda dengan orang-orang yang menjalani kehidupan dengan proses demi proses, para social climber tidak mau melewati proses. Mereka ingin segalanya instan, dan untuk itu mereka akan melakukan berbagai cara. Dalam hal ini, yang sering mereka gunakan adalah penampilan atau gaya hidup.
Orang-orang yang benar-benar sukses menganggap kemewahan atau popularitas sebagai “hadiah” dari kerja keras yang mereka lakukan, dalam arti mereka tidak menjadikannya sebagai tujuan.
Sedangkan bagi social climber, tampak sukses dan tampak mewah justru menjadi tujuan mereka. Akibatnya, mereka tidak mau melewati proses apalagi bekerja keras, tapi mau langsung tampak sukses dan mewah, plus populer.
Gejala social climber bisa muncul di mana saja, dan bisa menghinggapi siapa saja. Tidak menutup kemungkinan, kita pun dihinggapi gejala serupa. Sebagai contoh, kalau kita menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan, maka kemungkinan kita telah mengalami gejala social climber, meski mungkin dalam skala ringan.
Smartphone bisa dijadikan contoh mudah. Jika kita menginginkan smartphone mahal, canggih, dan terkenal, padahal yang kita butuhkan hanya sekadar menelepon dan berkirim pesan yang bisa dilakukan smartphone biasa, maka kita sudah terkena gejala social climber.
Karenanya, gejala social climber bisa dikenali secara mudah, salah satunya adalah jika kita menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Kenapa ada orang-orang yang menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan, dan mereka bersedia membayar mahal demi hal itu? Jawabannya jelas, demi terlihat keren, dan menarik perhatian lingkungan sekitar.
Gejala inilah yang lalu melahirkan orang-orang yang sampai melakukan segala daya demi “bisa terlihat keren”. Karena bagi orang-orang tersebut, fasilitas—hal-hal artifisial yang melekat pada diri mereka—berbanding lurus dengan kepercayaan diri. Tanpa itu, mereka pun kehilangan rasa percaya diri.
Dengan latar belakang semacam itu, kita pun maklum kalau ada orang-orang yang terlihat mengenakan barang-barang mahal, padahal gaji atau penghasilan mereka tidak mencukupi.
Atau, ada pula orang-orang yang tampak sering bepergian ke luar negeri, dan mengunggah foto-fotonya di media sosial, padahal kehidupan mereka masih kembang-kempis dan pas-pasan. Sebagian dari mereka bahkan akhirnya terjerat utang yang sulit mereka bayar, demi membiayai gaya hidup yang mahal.
Berutang demi tampak keren, itulah perilaku jelas para social climber, orang-orang yang ingin tampak keren dan kaya, padahal kondisi aslinya jauh berbeda. Itu tentu bukan gaya hidup yang bagus, karena justru akan merusak diri sendiri. Apalagi jika perilaku “demi tampak keren” itu sampai mendorong melakukan tindakan kriminal demi mendapatkan uang dan demi bisa membeli barang-barang mahal.
Bagaimana pun, orang yang mendapatkan fasilitas atau kekayaan melalui kerja keras justru cenderung kalem dan rendah diri. Meski mereka menempati status sosial tinggi, mereka tidak berusaha mengeksploitasinya. Sebaliknya, para social climber justru menunjukkan perilaku sebaliknya. Mereka butuh terlihat kaya dan senang mencari perhatian, karena ingin dianggap keren. Hasilnya, perilaku semacam itu justru bisa membuat mereka tampak sebaliknya.