Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita Palsu? Ini Penjelasan Ilmiahnya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita Palsu? Ini Penjelasan Ilmiahnya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Riset pun dilakukan terhadap 1.000 orang AS yang dibagi dalam tiga kelompok. Yang pertama, mereka yang membaca pesan bahwa vaksin tidak menyebabkan flu. Yang kedua, mereka yang membaca tentang bahaya flu dari vaksin, dan yang ketiga adalah mereka yang tidak menerima informasi tambahan. 

Hasilnya, sekitar 43 persen masih mengatakan bahwa mereka berpikir vaksin flu dapat menyebabkan flu. Sedangkan yang membaca pesan CDC adalah kelompok terkecil. Di antara orang yang peduli dengan efek samping vaksin, membaca pesan CDC malah membuat mereka makin jauh dari fakta, dan semakin menganggap bahwa vaksin flu bisa membuat seorang terjangkit flu.

Menghindari dan Melawan Backfire Effect

Backfire effect memang menyeramkan, namun bukan berarti tidak ada jalan lain untuk mengabarkan kebenaran. Pada 2016, Ethan Porter dari George Washington University, dan Thomas Wood dari Ohio State University, meluncurkan penelitian mutakhir mereka mengenai backfire effect yang bertentangan dengan temuan Nyhan dan Reifler.

Dalam penelitiannya, Porter dan Wood menunjukkan koreksi yang disampaikan politikus dalam 36 topik berbeda kepada 8.100 responden. Hasilnya, hanya 1 dari 36 topik yang mengarah kepada backfire effect, yakni topik mengenai senjata pemusnah massal.

Menurut Porter, Perang Irak merupakan suatu isu yang menimbulkan perasaan mendalam dalam benak masyarakat AS. Isu itu bertahan dalam jangka waktu lama, dan memang didorong pemerintahan yang partisan di tengah terbelahnya posisi politik. 

Menurut Porter, berdasarkan hasil penelitiannya, masyarakat pada umumnya memerhatikan informasi faktual, bahkan ketika informasi itu dianggap berlawanan dengan komitmen ideologis mereka.

"Yang ditunjukkan oleh penelitian kami adalah: orang-orang menerima informasi. Namun kami tidak memiliki bukti bahwa hal itu berpengaruh terhadap sikap politik mereka,” ujar Porter, seperti dilansir Poynter.

Namun, di sisi lain, Wood mengatakan masih akan ada pemilih yang memiliki preferensi kebijakan ganjil, meskipun bertentangan dengan keadaan faktual. Menurutnya, para pemeriksa-data (fact-checker) bisa melakukan intervensi dengan membeberkan data-data faktual kepada mereka, walaupun mungkin akan bertentangan dengan preferensi politik mereka sebelumnya.

"Jadi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan petugas pemeriksa fakta dalam meningkatkan kesadaran faktual," ujar Wood.

Proses itu pun mungkin berlangsung bertahap. Michael Shermer dalam “Is Truth an Outdated Concept?” mengatakan backfire effect bisa mencapai titik balik ketika bukti lain muncul dalam jumlah berlimpah, dan terutama ketika fakta berlawanan itu bisa diterima oleh orang yang meyakini kebenaran berbeda sebelumnya. 

Proses ini juga perlu dibantu dengan mengenalkan bias-bias pemikiran dan kesalahan logika (logical fallacies) kepada masyarakat luas.

Pada Desember 2017, Facebook mencabut penerapan fitur "red flag" dan merilis fitur "related article", yakni penyematan artikel media lain yang tepercaya. Artikel itu nantinya akan memberi konteks yang lebih luas dari suatu peristiwa yang disampaikan dalam berita yang dianggap kurang meyakinkan.

"Riset akademik terhadap koreksi informasi yang salah, menunjukkan bahwa fitur seperti red flag di sebuah berita malah memperkuat kepercayaan terhadap informasi yang salah. Itu jelas berlawanan dengan efek yang kita tuju," ujar Tessa Lyons, Manajer Produk Facebook.

Sedangkan Sara Gorman, dalam “Governments Would Get More Done If They Bullied People Less”, juga menyarankan pengampu kebijakan untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan aturan-aturan baru yang menyentuh isu kontroversial dan sensitif, semisal vaksin flu. 

Gorman mengatakan video adalah medium yang lebih baik untuk menyampaikan pesan tandingan kepada orang-orang yang menganut pemahaman salah, semisal mereka yang percaya vaksin bisa menyebabkan autisme. 

"Ini hanya satu dari sekian banyak cara untuk mengantarkan konten yang berpotensi menghasilkan kontroversi," tulis Gorman, seperti dilansir Quartz.

Related

Science 6354607615554200551

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item