Masalah Keperawanan dan Nasib Perempuan di Tunisia
https://www.naviri.org/2021/07/masalah-keperawanan-dan-nasib-perempuan.html
Naviri Magazine - Bagi sebagian besar masyarakat di banyak negara, keperawanan seorang perempuan adalah sesuatu yang penting, bahkan menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai seorang perempuan. Kenyataan semacam itu pula yang terjadi di Tunisia.
Di sana, setiap pria menginginkan perempuan yang masih perawan saat menikah. Masyarakat Tunisia ingin anak-anak perempuan mereka dalam keadaan perawan ketika menikah.
Masalah mulai terjadi ketika ada perempuan-perempuan yang kebetulan telah kehilangan keperawanan mereka sebelum menikah. Hal itu bisa menjadi masalah, tidak saja bagi si perempuan, namun juga bagi keluarganya. Latar belakang itu pula tampaknya yang menjadikan ada banyak perempuan Tunisia yang terpaksa melakukan operasi mengembalikan keperawanan.
Yasmine (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu perempuan yang memilih melakukan operasi semacam itu. Yasmine mengaku dirinya akan menjalani hymenoplasty, suatu prosedur medis yang bakal mengembalikan keperawanannya, melalui pembedahan. Dua bulan lagi Yasmine akan menikah, dan perempuan berusia 28 tahun itu cemas kalau calon suaminya mengetahui dia tak lagi perawan, kendati dia telah menjalani hymenoplasty.
"Saya menganggap ini sebagai penipuan, dan saya sangat khawatir," ujarnya. "Suatu hari mungkin saja saya keceplosan saat ngobrol dengan suami. Atau mungkin suami saya punya... kecurigaan."
Kerisauan Yasmine beralasan. Dia mendengar bahwa ada perempuan muda di Tunisia yang bercerai sesaat setelah menikah, karena suaminya curiga pasangannya sudah tidak perawan lagi.
Yasmien dilahirkan di keluarga liberal dan tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun. Dia cemas tunangannya akan membatalkan pernikahan jika dia mengetahui kisah seksualnya di masa lalu.
"Saya pernah affair satu kali dengan seorang pria. Saat itu, saya tidak membayangkan betapa berat tekanan di lingkungan saya dan apa konsekuensinya. Jadi, sekarang saya takut. Jika saya mengungkapkannya ke tunangan, saya yakin pernikahan kami akan dibatalkan," paparnya.
Agar bisa kembali perawan dengan cara hymenoplasty, Yasmine harus membayar hampir 400 dollar atau sekitar Rp 5,3 juta. Demi prosedur selama 30 menit itu, dia telah menabung selama beberapa bulan, dan merahasiakannya dari keluarga dan tunangannya.
Sang dokter yang akan melakukan prosedur hymenoplasty adalah seorang spesialis ginekologi, yang disebut dokter Rachid. Rata-rata dia melakoni dua prosedur serupa dalam sepekan.
Rachid mengaku, 99 persen pasiennya didorong oleh rasa takut bahwa mereka akan membawa aib kepada keluarga dan kerabat. Kebanyakan pasien, seperti Yasmine, ingin merahasiakan kenyataan bahwa mereka tak lagi perawan. Akan tetapi, faktanya, selaput dara bisa robek oleh beragam sebab, seperti penggunaan tampon.
Bagaimanapun, para perempuan risau mereka akan dituduh telah melakukan hubungan seks sebelum menikah.
"Dokter spesialis ginekologi bisa memperbaiki selaput dara. Ini bukan sesuatu yang luar biasa. Namun, di sini beberapa dokter menolak melakukannya,” kata dokter Rachid. “Saya pribadi melakukannya karena saya tidak sepakat dengan mereka yang menganggap keperawanan adalah hal yang disanjung-sanjung.”
Rachid menambahkan, "Itu sangat menganggu saya. Sikap semacam itu adalah perwujudan dari budaya masyarakat yang didominasi pria, lalu dibungkus dengan prinsip-prinsip agama. Saya jujur ketika saya mengatakan sikap semacam itu adalah dominasi pria, dan saya melancarkan perang untuk melawannya."
Tunisia dipandang sebagai pemimpin hak-hak perempuan di Afrika Utara, namun agama dan tradisi di sini menggariskan bahwa perempuan harus tetap perawan sampai tiba saatnya menikah. Ada pula pasal dalam undang-undang di Tunisia yang khusus mengatur perceraian, apabila seorang perempuan ternyata tidak perawan saat pertama menikah.
Seorang sosiolog di sana mengatakan, pada masyarakat Tunisia, yang sebenarnya masyarakat terbuka, kita menjadi orang-orang munafik.
“Ada semacam kekolotan sosial yang dominan sejak lama yang sulit dibenarkan, karena kita mengklaim hidup di masyarakat modern. Namun, tidak banyak kemodernan jika menyangkut seksualitas dan kebebasan perempuan," tutur sosiolog Tunisia, Samia Elloumi.