Kisah Kebangkitan Jepang, dan Hancurnya Industri Mobil Inggris dan Amerika (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Kebangkitan Jepang, dan Hancurnya Industri Mobil Inggris dan Amerika - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

The Big Three yang terdiri dari Ford, General Motors, dan Chrysler berusaha menjawab tantangan dari pabrikan mobil Jepang dan Jerman tersebut. Ford mulai memproduksi Pinto dengam mesin yang kecil, namun produk ini gagal karena masalah tangki bensin yang membuatnya rawan meledak jika ditabrak dari belakang. 

General Motors (GM) melalui Chevrolet Vega juga mengalami kegagalan karena mobil ini mudah berkarat dan mesin berbahan alumuniumnya bermasalah. Demikian dengan Chrysler yang gagal dengan Plymouth Volaré and Dodge Aspen karena pengembangan kedua mobil ini terlalu terburu-buru, sehingga menjadi mobil yang paling sering di-recall: 8 kali dalam kurun waktu satu tahun!

Inggris, meski industri mobil mereka jatuh di era yang sama dengan Amerika, memiliki cerita yang agak berbeda.

Pada 1973, pemerintah Inggris memutuskan untuk bergabung ke European Economic Community (EEC). Keputusan ini memungkinkan Inggris untuk menjual mobil mereka ke seluruh penjuru negara yang tergabung ke dalam EEC secara bebas dan juga berlaku sebaliknya. Terlihat menguntungkan bagi Inggris yang merupakan negara pengekspor mobil, namun hal ini justru menghancurkan industri mobil mereka.

Kualitas mobil mereka kalah bersaing dengan mobil-mobil dari Jerman seperti BMW dan Mercedes. Di era 70-an, mobil-mobil Inggris dibuat dengan sangat buruk sehingga pembeli dan dealer mobil harus membangun ulang mobil yang mereka beli. 

Hal ini utamanya terjadi akibat ulah para petinggi perusahaan mobil Inggris yang inkompeten dalam memimpin perusahaan. Mereka yang membawa industri ini menuju kehancuran, membuat keputusan yang tidak masuk akal. 

Salah satunya adalah keputusan membangun pabrik di daerah yang tidak punya tradisi teknik dan terbatasnya tenaga kerja terampil. Maksud ide tersebut sebetulnya baik, yaitu untuk meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah yang kekurangan, namun justru berakibat mobil-mobil dirakit oleh para amatir.

Kondisi ini dipersulit oleh relasi yang buruk antara perusahaan otomotif dan serikat pekerja. Di masa 60-an dan 70-an, pabrik-pabrik mobil setiap harinya menjadi medan pertempuran. Para buruh dan pihak manajemen sibuk bertarung. 

Di sisi lain, para pesaing mereka di Jerman justru semakin kuat dalam produksi karena terjaganya hubungan antara kelas buruh dengan pihak manajemen dan serikat pekerja. Buruh pabrik mobil di Inggris lebih sering menghabiskan waktu berdemo dibandingkan memproduksi mobil.

Kemunduran yang Tak Tertahankan

Kekacauan di era 70-an tersebut menuntun Amerika dan Inggris menuju kemunduran di industri mobil.

Dari ratusan merek mobil yang pernah ada di Amerika, tak banyak yang kini masih beroperasi. Tiga Besar masih bertahan, namun dengan kondisi yang pincang. General Motors dan Chrysler pada 2009 mengajukan kebangkrutan. General Motors akhirnya selamat setelah mendapat suntikan dana dari Eropa dan pemerintah Amerika. Chrysler kini menjelma menjadi Fiat Chrysler Automobiles, setelah 20% sahamnya dibeli oleh Fiat, perusahaan otomotif besar asal Italia. 

Hanya Ford saja dari The Big Three yang tidak mengajukan kebangkrutan. Namun mereka juga mendapatkan suntikan dana  5,9 triliun dollar dari pemerintah dalam bentuk pinjaman rendah biaya untuk meningkatkan kualitas pabrik dan menghasilkan teknologi mobil yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar.

Inggris lebih tragis. Merek-merek mobil yang sebelumnya menjadi ciri khas Inggris kini telah dimiliki oleh negara lain. Lotus telah tiga kali berganti pemilik dan kini menjadi anak perusahaan Proton, perusahaan mobil asal Malaysia. Land Rover dan Jaguar kini dimiliki oleh Tata Group, perusahaan besar asal India. 

Setelah sempat menjadi bagian dari Opel Group, kini Vauxhall dimiliki oleh General Motors. Bentley, perusahaan mobil yang terkenal dengan mobil-mobil mewah, kini merupakan bagian dari Volkswagen Group, Jerman. Rolls Royce, perusahaan mobil mewah asal Inggris lainnya, kini berada di bawah BMW, pun halnya dengan Mini.

Dalam salah satu episode acara James May’s Car of The People, jurnalis otomotif James May pernah berujar: “To win at cars, first you must lose at war.” Ya, jawara di Perang Dunia II justru menjadi yang merana di industri mobil. 

Related

Business 5750110156907494231

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item