Fakta Mencengangkan: Di Zaman Prasejarah, Antartika Ternyata Memiliki Hutan Lebat
https://www.naviri.org/2021/07/fakta-mencengangkan-di-zaman-prasejarah.html
Naviri Magazine - Antartika adalah daratan es beku seluas 6 mil persegi, yang menyimpan sebagian besar air di bumi. Karena daratan es, di Antartika pun tidak ada hal lain selain es. Yang hidup atau tinggal di sana hanyalah hewan-hewan yang memang dapat beradaptasi dengan iklim yang dingin, sementara para ilmuwan berdatangan ke sana sewaktu-waktu untuk melakukan penelitian.
Yang mengejutkan, di zaman prasejarah dulu, ternyata Antartika memiliki hutan lebat. Kenyataan itu mengejutkan, mengingat Antartika yang kita kenal sekarang adalah daratan es tanpa pohon-pohonan.
Keberadaan hutan lebat di Antartika pada zaman prasejarah diketahui, setelah sekelompok ilmuwan menemukan fragmen fosil pohon berusia 260 juta tahun di Antartika. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa benua yang kini dipenuhi dengan es itu pernah memiliki hutan yang subur, sebelum dinosaurus pertama menginjakkan kakinya di Bumi.
"Orang-orang telah mengetahui tentang fosil di Antartika sejak ekspedisi Robert Falcon Scott tahun 1910-12," kata Erik Gulbranson, asisten profesor di University of Wisconsin - Milwaukee (UWM), Amerika Serikat. "Namun, sebagian besar Antartika masih belum dijelajahi. Terkadang, Anda mungkin menjadi orang pertama yang mendaki gunung tertentu (di sana)."
Pada akhir periode Permian, 251 juta tahun yang lalu, kepunahan masssal terbesar terjadi dalam sejarah. Bumi pun dengan cepat beralih dari rumah es ke rumah kaca. Akibat bencana tersebut, lebih dari 90 persen spesies di Bumi lenyap, termasuk hutan di kutub.
Banyak ilmuwan percaya bahwa peningkatan besar gas rumah kaca di atmosfer seperti karbon dioksida dan metana, yang menyebabkan kepunahan Permian-Triassic. Kemungkinan selama sekitar 2 juta tahun, letusan gunung berapi di Siberia melepaskan banyak ton gas rumah kaca ke atmosfer.
John Isbell, profesor di UWM, sebelumnya telah mempelajari deposit glasial Permian Antartika, untuk menentukan bagaimana iklim berubah.
Periset pun mencari tahu bagaimana iklim berubah selama periode ini. Memahami pergeseran suhu global akan memungkinkan para ilmuwan untuk membangun gambaran yang lebih baik tentang apa yang terjadi di planet kita sebelum kepunahan massal yang bersejarah.
Untuk lebih memahami peristiwa kepunahan ini, para periset dari University of Wisconsin-Milwaukee melakukan ekspedisi ke sebuah pegunungan di Antartika untuk mencari sampel tanaman.
Selama ekspedisi mereka, tim menemukan 13 buah pohon fosil yang berumur lebih dari 260 juta tahun.
"Hutan ini adalah sekilas kehidupan sebelum kepunahan, yang bisa membantu kita memahami apa yang menyebabkan kejadian tersebut," kata Gulbranson, yang ikut mendaki pegunungan Transantartic, pada pernyataan resminya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, hutan prasejarah memiliki keragaman spesies yang cukup rendah jika dibandingkan dengan hutan yang ada di zaman sekarang. "Kelompok tanaman ini pasti mampu bertahan dan berkembang di berbagai lingkungan," lanjut Gulbranson.
Bahkan di iklim yang lebih hangat, tanaman tersebut akan mengalami kegelapan karena lintang Antartika. Namun, tanaman-tanaman itu tidak bertahan dalam kepunahan massal Great Dying.
Setelah bencana tersebut, Antartika kemudian bergabung dengan superkontinen Gondwana bersama negara lainnya, antara lain Afrika, Australia, India, Amerika Selatan, dan Semenanjung Arab. Tempat itu diyakini jauh lebih hangat dan lembap, yang ditumbuhi berbagai tanaman seperti lumut dan pakis yang menutupi bentang alam.
Pada akhir November, Gulbranson kembali ke lokasi tersebut, dan dia berencana untuk tinggal di sana hingga Januari 2018. Selama waktu itu, dia akan mempelajari tanaman lebih lanjut untuk mengetahui secara tepat bagaimana tanaman menanggapi perubahan lingkungan yang tiba-tiba.
"Catatan geologis menunjukkan kepada kami awal, tengah, dan akhir perubahan iklim," katanya. Dengan studi lebih lanjut, kita akan dapat lebih memahami bagaimana gas rumah kaca dan perubahan iklim mempengaruhi kehidupan di Bumi." pungkas Gulbranson.