China Jadi Negara Penghasil Jurnal Ilmiah Terbanyak di Dunia
https://www.naviri.org/2021/07/china-jadi-negara-penghasil-jurnal.html
Naviri Magazine - Selama ini, China terkenal sebagai negara yang mampu menghasilkan banyak barang berkualitas murah atau KW. Nyaris barang apa pun yang populer di dunia akan dapat ditemukan versi murahnya dari China.
Karena kenyataan itu pula, kesan tentang China pun kebanyakan minor atau negatif. China dianggap sebagai negara yang hanya mampu meniru, tapi tidak bisa mencipta atau menghasilkan kreasi sendiri.
Kini, kesan itu mungkin akan berubah, setelah China dinobatkan sebagai negara yang mampu menghasilkan jurnal ilmiah terbanyak di dunia.
Selama ini, meski mungkin tak banyak diketahui, China sebenarnya termasuk terdepan dalam ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti dari banyaknya jurnal ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan China. Selama ini, mereka telah menghasilkan jurnal ilmiah dengan jumlah tak terhitung banyaknya, meski kalah dengan Amerika Serikat yang mampu menghasilkan jurnal ilmiah lebih banyak.
Tetapi, sekarang, China mampu mengungguli Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya, China mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara penghasil publikasi ilmiah terbesar di dunia. Data ini dihimpun National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat.
NSF melaporkan bahwa AS sedang bersaing ketat dengan China dan negara-negara maju lainnya untuk meningkatkan investasi mereka di bidang sains dan teknologi.
Meski dikalahkan oleh China sebagai produsen jurnal ilmiah terbesar, AS tetap menjadi sumber artikel sains dan teknologi terbesar di dunia. Faktor yang menjadikan AS sebagai pusat ilmu pengetahuan di dunia dihitung dari banyaknya peneliti terkenal yang dihasilkan, serta banyaknya pelajar internasional yang datang untuk menimba ilmu dan menghasilkan penemuan berharga.
“Amerika Serikat tetap menjadi pemimpin dunia dalam hal sains dan teknologi, tapi dunia sudah berubah,” kata Maria Zuber, ahli geofisika di Massachussetts Institute of Technology di Cambridge, Amerika Serikat, dilansir Scientific American.
Sementara negara lain meningkatkan kinerja sains mereka, AS justru mengalami penurunan jumlah aktivitas ilmiah, kata Zuber yang juga menjabat di National Science Board, badan pengawas dari NSF.
China menghasilkan 426 ribu studi ilmiah pada 2016, atau sebanyak 18,6 persen dari total dokumen di Scopus. Scopus adalah sumber data milik perusahaan informasi dan analisis, Elsevier. Pada tahun yang sama, Amerika Serikat menghasilkan 409 ribu studi.
Tak hanya China yang membuat kejutan, India juga membuat kejutan dengan menyalip Jepang dalam jumlah studi yang dipublikasikan sepanjang 2016.
Apabila melihat negara mana yang studi ilmiahnya yang paling banyak dikutip, AS berada di peringkat ketiga. Di atasnya, Swiss berada di urutan pertama, dan Swedia kedua. Uni Eropa berada di urutan keempat, sementara China kelima.
AS terhitung masih menghasilkan lebih banyak lulusan doktor di bidang sains dan teknologi, dan tetap menjadi tujuan utama pelajar internasional untuk mendapatkan gelar perguruan tinggi. Namun, tren pelajar ke AS sebenarnya mengalami penurunan, dari 25 persen jumlah siswa internasional pada tahun 2009 menjadi 19 persen pada tahun 2014.
Untuk dana yang dialirkan kepada research and development (R&D), Amerika menyumbangkan 26 persen dari total di seluruh dunia, yaitu sebanyak 500 miliar dolar AS. Di urutan kedua, China menyumbangkan 400 miliar dolar AS.
China mengalami kenaikan sumbangan untuk R&D, sementara AS tidak mengalami perubahan.
Dalam jurnal Science and Engineering NSF, Mark Muro, peneliti senior di Brookings Institution, mengatakan adanya kekhawatiran pada perkembangan sains di AS. Selain karena dana untuk sains yang banyak salah sasaran, peneliti dari kaum minoritas dan perempuan pun masih sangat sedikit.
“Kapasitas inovasi suatu negara akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan kesejahteraan,” kata Muro. “(Data ini) adalah pengingat yang berharga mengapa kita harus peduli pada indikator (perkembangan sains).”